17. Bagaskara Senior

2000 Kata
Acara makan-makan itu akhirnya selesai juga. Mereka semua keluar dari dalam resto. Kilara berdiri diantara teman-temannya sementara Tarendra berdiri di sebelah Karnaka. "Kalian pulangnya gimana?" Karnaka bertanya sambil menatap orang-orang yang ada bersama dengannya saat ini. Bagas dengan cepat angkat suara, "Aman, Pak. Kita bawa kendaraan masing-masing, kok. Putri sama Kilara nanti barengan sama Bimo" Bimo mengangguk membenarkan. Karnaka dengan sigap merangkul Tarendra dan mengajak pria itu pulang bersama dan anehnya Tarendra menurut tanpa ada perlawanan. Keduanya berpamitan pada Kilara dan teman-temannya lalu Karnaka menggiring Tarendra berjalan ke arah parkiran. "Lo parkir mobil lo dimana, Ren?" Karnaka bertanya sambil terus merangkul Tarendra. Tarendra menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Karnaka yang ada di sebelahnya, "Elo bareng gue? emang gak bawa mobil?" "Gue udah suruh supir ambil tadi karena gue liat ada elo. Gue barengan elo aja." Karnaka menjawab dengan santai namun tiba-tiba Karnaka berhenti melangkah sambil menoleh ke arah Tarendra dengan wajah panik, "Elo inget kita harus pulang ke rumah Opa Salim hari ini, kan?" Tarendra mendengus. Hal yang paling ia benci adalah saat ia harus pulang ke rumah besar dimana ada Opa dan Omanya di sana. Jika ia dan Karnaka sudah diminta datang ke sana artinya akan ada pembahasan mengenai perusahaan milik keluarga Bagaskara dan itu hal yang paling membosankan bagi Tarendra. Tarendra dengan santai menggerakan bahunya agar rangkulan Karnaka terlepas. Pria itu berjalan ke arah mobilnya dan tepat di depan mobil BMW itu Tarendra berdiri dan mengambil kunci keyless mobil yang ia berada di kantung saku celananya dan melemparkannya pada Karnaka membuat pria itu dengan refleks langsung menangkapnya, "Lo yang nyetir." Karnaka mendengus, "Siap, Paduka." Karnaka menyetir dan Tarendra duduk di kursi kemudi. Karnaka dan Tarendra sama-sama diam selama perjalanan hingga akhirnya saat lampu merah, Karnaka angkat suara, "Nanti pasti akan ada pembahasan soal regenerasi Track dan gue harap elo enggak lupa ucapan gue kemaren, Ren." Tarendra hanya diam. Karnaka menghela nafas pelan ketika tidak ada respon apapun dari Tarendra setelah beberapa menit berlalu. "Bukannya bokap lo bakal seneng banget kalo elo jadi penerus Track?" Tarendra akhirnya angkat suara. "Gue bukan bokap gue, Ren. Gue bukan orang yang bisa duduk diem di kantor kayak elo. Gue enggak nyaman berhadapan dengan peraturan-peraturan. Otak gue bisa karatan." Karnaka berucap dengan nada frustrasi. Tarendra tersenyum sinis, "Bokap lo bakal kecewa banget kalo denger ucapan lo, Ka." Karnaka mendengus, "Udah. Dia udah tau..." Karnaka menjeda kalimatnya, "Bokap ngamuk." Tarendra tersenyum tipis. Memang semua orang yang lahir dengan previllage yang dibawa dari keluarga mereka tidak semuanya mau memiliki previllage itu. Tarendra dan Karnaka adalah dua dari sekian juta anak yang memiliki previllage bawaan dari keluarga mereka. Previllage yang mereka miliki justru membuat mereka tidak bisa melakukan apa yang mereka inginkan dan itu membuat mereka frustrasi sendiri. Mobil yang Karnaka kendarai masuk ke dalam sebuah kawasan perumahan elit di area Pondok Indah. Karnaka mengarahkan laju mobilnya menuju sebuah rumah yang sangat besar dan memiliki pagar rumah yang begitu megah. Karnaka memarkirkan mobil Tarendra tepat di sebelah mobilnya yang sudah sampai lebih dulu di sana. Tarendra dan Karnaka keluar dari dalam mobil dan keduanya melangkahkan kaki mereka memasuki rumah yang lebih pantas disebut istana karena ukurannya yang begitu besar. Rumah bergaya amerika itu di d******i oleh cat warna putih dan segala perabotan yang ada dibuat secantik mungkin mendukung gaya amerika yang diusung oleh sang arsitek yang tidak lain adalah Salim Bagaskara. "Akhirnya dua cucu kesayanganku tiba. Sini duduk disebelah, Opa. Banyak yang ingin Opa bahas dengan kalian." Tarendra dan Karnaka masuk ke dalam ruang keluarga dan langsung disabut oleh suara Salim Bagaskara, sang Bagaskara Senior yang memulai tonggak kesuksesan Bagaskara Group. Dari Opa Salim semua belajar bahwa tidak ada kesuksesan yang lahir dari kerja santai, tidak ada kesuksesan yang muncul tanpa diwarnai kegagalan dan tidak ada kesuksesan yang lahir tanpa adanya pengorbanan. Tarendra dan Karnaka memeluk Opa Salim dan Oma Rensia lalu duduk di sebelah orang tua mereka masing-masing. Tarendra dan Karnaka berhasil menjadi siswa yang berprestasi karena dorongan Opa Salim. Opa Salim sedari dulu mendorong anak cucunya untuk bekerja keras karena kalau bukan kita yang bekerja keras maka siapa lagi? Kita memiliki hidup kita sendiri dan di masa depan, pada akhirnya diri kita sendiri yang bisa kita andalkan. Dulu saat masih kecil, Tarendra masih bingung dengan maksud Opanya tapi seiring berjalannya waktu dan dirinya beranjak dewasa, perlahan Tarendra paham bahwa kerja kerasnya membawa dirinya sendiri ke sesuatu yang lebih baik dan kini Tarendra mampu melakukan apapun yang ia mau termasuk mendirikan usahanya sendiri. "Opa tidak keberatan dengan perusahaan yang kamu dirikan bersama teman kamu itu. Kamu bisa jadikan perusahaan itu sebagai tempat bermain kamu," Opa Salim memberikan isyarat tanda kutip dengan kedua jari tangannya sambil menatap Tarendra, "Tapi rumah kamu pulang akan selalu Bagaskara Group. Entah Track atau lini mana pun intinya rumah kamu adalah Bagaskara karena kamu seorang Bagaskara, Rendra." Masalahnya bagi Tarendra perusahaan yang ia dirikan dengan Antonio bukanlah tempat bermain. Ia ingin menjadikan Demonio Architeam sebagai kerajaannya. "Opa dan yang lainnya sudah makan malam?" Karnaka berusaha mengalihkan perhatian Opa Salim. "Sudah. Kamu bilang kalian ada makan dengan anak buah kalian jadi Opa sudah makan malam lebih dulu. Opa tidak kuat menunggu kalian yang entah jam berapa pulang ke rumah ini." Karnaka mengangguk, "Apa menu makan malam di rumah? Kenapa aku jadi lapar lagi..." Opa Salim tertawa, "Usaha yang bagus, Karnaka. Opa mau bicara dulu soal Track sebelum kamu makan lagi." Karnaka ikut-ikutan tertawa untuk menyembunyikan rasa kesalnya sementara Tarendra malah memandang datar Karnaka. Karnaka dan Tarendra sama-sama tidak mau terikat dalam Track dengan alasan mereka masing-masing namun Karnaka selalu menggunakan cara yang konyol untuk menghindar. Setidaknya begitu yang Tarendra pikir. Kini di ruang keluarga itu seluruh keluarga inti Bagaskara sudah berkumpul duduk di sofa mewah yang di susun berbentuk letter U menghadap sebuah televisi berukuran besar. Opa Salim duduk di sebelah Oma Rensia. Harun Bagaskara duduk bersebelahan dengan istrinya, Citra lalu ada adik-adik Tarendra, Tasya dan Gavriel yang duduk berjejer dengan kedua orang tua mereka. Riyadi Bagaskara duduk disebelah istrinya, Rosi. Karnaka dan Tarendra duduk di sebelah orang tua mereka masing-masing. "Opa mau melakukan regenarasi dan kali ini siap atau tidak siap kalian harus menerima keputusan Opa." Opa Salim berbicara dengan nada serius sambil mengitarkan tatapannya ke satu per satu anak, menatu serta cucunya. "Keputusan Opa ini adalah mutlak dan siapapun yang nantinya Opa pilih menempati sebuah posisi maka Opa memilihnya denga pertimbangan yang matang berdasarkan kemampuan dan kapasitasnya." Opa Salim menjeda kalimatnya menatap Karnaka, "Kamu belajar untuk terbiasa dengan pekerjaan yang berhubungan dengan operasioal, Karnaka." Opa Salim berucap dengan nada tegas tidak ingin dibantah lalu merubah pandangannya pada Tarendra, "Kamu juga harus fokus pada Track dan mulai kurangi fokus pada perusahaan main-main kamu itu." Tarendra sudah hendak menjawab namun Papa Harun dengan cepat menangkup tangan Tarendra dan mengenggamnya erat sambil menoleh pada Tarendra memberi isyarat tidak melalui tatapan matanya. Tarendra yang mengerti arti dari tatapan mata Papanya pun diam. "Opa bekerja keras selama ini untuk kesejahteraan keluarga kita dan juga para karyawan kita yang bergantung hidup pada kita. Kalau bukan cucu-cucu Opa, siapa lagi yang akan meneruskan kerja keras Opa selama ini." Opa Salim berucap dengan nada lembut sambil menatap cucu-cucunya satu per satu secara bergantian. Papa Harun dan Om Riyadi mendominasi percakapan dengan Opa Salim. Sesekali Karnaka atau Tarendra ikut masuk dalam percakapan sementara yang lainnya hanya diam mendengarkan. Pembicaraan selesai saat Oma Rensia mengajak Opa Salim untuk beristirahat dan kedua keluarga itu pun pergi meninggalkan rumah utama keluarga Bagaskara menuju kediaman mereka masing-masing yang letaknya tidak jauh dari rumah milik Opa Salim. Karnaka dan Tarendra pulang menaiki mobil mereka masing-masing menuju kediaman orang tua mereka dan kedua adik Tarendra ikut menaiki mobil Tarendra. "Aku mulai malas mendatangi rumah Opa karena pembahasannya selalu soal bisnis," Tasya cemberut sambil duduk di kursi penumpang bagian belakang sementara Gavriel duduk di kursi penumpang bagian depan bersebelahan dengan Tarendra. "Tapi Opa kan memang selalu begitu. Opa tidak ingin usahanya selama ini akhirnya sia-sia." Gavriel berkomentar. Tarendra sendiri hanya diam fokus mengemudi. Pria itu terlalu sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Tarendra terlalu mengenal Salim Bagaskara karena Opanya itu sering bersama dengannya dan Opa Salim tadi memberikan sebuah ultimatum keras pada Tarendra. Pria itu harus fokus pada Track. *** "Apa kamu tidak terlalu keras pada Tarendra?" Oma Rensia berucap sambil memandangi Opa Salim yang sedang duduk di tempat tidur sambil membaca buku. Opa Salim menutup buku yang ia baca dan melepas kaca mata bacanya. "Tarendra adalah seorang Bagaskara. Dia yang harus meneruskan seluruh kerja kerasku. Harun dan Riyadi sudah terlalu tua dan lebih baik meneruskannya langsung pada Tarendra." Opa Salim berucap dengan nada serius. "Tapi Tarendra tidak memiliki minat pada Bagaskara–" "Karnaka pun sama. Karnaka sadar akan posisinya maka dari itu dia sejak dulu menjauh dari Bagaskara dan pria itu sudah nyaman dengan posisinya di lapangan. Aku sendiri tidak mungkin melepaskan seluruh kerja kerasku pada seorang yang bukan Bagaskara." "Karnaka juga cucu kita, Mas." Oma Rensia tidak suka dengan cara suaminya membedakan Karnaka. Opa Salim mengangguk, "Karnaka cucu kita. Aku menyayangi Karnaka sama seperti aku menyayangi Tarendra tapi kenyataan tidak akan bisa dihapuskan, sayang. Karnaka tidak memiliki darah Bagaskara." Oma Rensia menghela nafas panjang perlahan. Opa Salim meletakkan buku dan kaca matanya pada nakas yang terletak di sebelahnya, "Aku sudah memberi keringanan pada Tarendra untuk melakukan apapun yang anak itu mau. Aku tidak keberatan ia memiliki perusahaan lain selain Bagaskara. Aku sadar sebagai seorang laki-laki, ada ego yang tidak bisa aku abaikan. Tapi Tarendra harus sadar dia adalah seorang Bagaskara yang sudah memiliki sebuah takdir yang sudah aku persiapkan sejak lama." Oma Rensia hanya bisa diam. Wanita berusia lanjut itu sadar kalau suaminya tidak pernah main-main dengan apa yang pria itu putuskan dan sebenarnya wajar jika pria itu menginginkan keluarganya meneruskan segala kerja kerasnya selama ini tapi masalahnya wanita berusia lanjut itu tidak tega melihat Tarendra. Tarendra akan memikul beban berat yang diturunkan oleh suaminya itu. Sementara itu Opa Salim seakan mengerti apa yang dipikirkan oleh istrinya. Pria berusia lanjut itu berdiri dari posisinya dan duduk di sebelah istrinya yang kini duduk di sofa dalam kamar mereka. Opa Salim mengenggam tangan istrinya dan menepuknya perlahan, "Tidak usah khawatir berlebihan soal Tarendra dan Karnaka. Mereka lebih dari cukup memegang Bagaskara." Oma Rensia menatap suaminya dengan tatapan ragu dan Opa Salim tersenyum lembut, "Baik Tarendra mau pun Karnaka adalah seorang Bagaskara. Mereka jelas memiliki kemampuan yang cukup untuk memegang perusahaan Bagaskara tapi aku tentu akan mendahulukan Tarendra karena dia memang memiliki darah Bagaskara sedangkan Karnaka tidak." *** "Ren... Ikut Papa. Papa mau bicara." Tarendra menghela nafas panjang. Ternyata pembahasan soal Bagaskara belum selesai. Tarendra pun berjalan mengikuti Papanya yang sudah berjalan ke arah ruang kerja di dalam rumah mereka. Papa Harun dan Tarendra duduk berhadapan di sofa dalam ruang kerja. "Kamu sadar dengan ultimatum Opa tadi kan, Ren?" Papa Harun bertanya dengan nada serius. Tarendra menghela nafas panjang dan mengangguk. "Papa tidak akan menyebut perusahaan yang kamu buat sebagai tempat bermain karena Papa tau kamu serius membangun Demonio Architeam bersama dengan Antonio tapi apa yang Opa kamu ucapkan barusan bukan hal main-main yang bisa kamu abaikan." "Rendra tau, Pa. Tapi aku bener-bener enggak tertarik dengan Bagaskara. Aku ingin memulai kerja kerasku sendiri." Papa Harun menghela nafas pendek dan menyenderkan punggungnya ke sofa, "Kamu pikir perusahaan jual beli sewa alat berat yang Opa punya itu siapa yang memulainya?" Tarendra hanya terdiam mendengar pertanyaan Papanya sambil menatap Papanya lekat-lekat. Papa Harun mengalihkan pandangannya dan menatap langit-langit ruang kerjanya dengan tatapan menerawang. "Papa memulai itu sendiri tapi pada akhirnya Papa menyatukannya dengan Bagaskara karena Papa sadar kalau kerja keras Opa kamu harus ada yang melanjutkan. Menerima tongkat estafet memang melukai ego kita tapi kita bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya bebeda." Papa Harun merubah arah pandangnya menatap putra sulungnya dengan tatapan hangat. "Terkadang kita harus bisa berdamai dengan kenyataan bahwa apa yang kita inginkan tidak bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mungkin harus ada sedikit modifikasi tapi mungkin modifikasi itu pada akhirnya berakhir baik asal kita bisa melihat dengan cara yang berbeda." Tarendra hanya diam mendengarkan ucapan Papanya. Intinya ia harus menerima apa yang sudah digariskan. Begitu, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN