Eps. 1 Hijrah Ke Kota
"Levin, Ibu harus berangkat dulu. Nanti di akhir pekan Ibu akan pulang kemari untuk menjemputmu. Kamu yang nurut sama nenek, ya?" Seorang wanita berpamitan pada seorang anak lelaki kecil berusia dua tahun yang terlihat hampir menangis.
Anak kecil bermata bulat kecokelatan itu menggeleng sambil mengalungkan tangannya pada leher ibunya, tak ingin berpisah.
"Levin, ibu harus berangkat sekarang karena besok harus mulai bekerja di kota. Bila Ibu libur, Ibu janji akan pulang dan mengajakmu bermain atau memberikan mainan apa saja yang kamu minta." Joy tersenyum tipis meski dalam hati ingin menangis harus berpisah dari buah hatinya untuk mengadu nasib ke kota.
Joy Ivana Clarita, saat ini tinggal di sebuah tempat kecil. UMK di tempat ini kecil yang memaksanya harus mencari pekerjaan dengan upah yang lebih besar untuk menghidupi keluarga kecilnya ini. Wanita singke parent berusia 26 tahun ini hidup dan bekerja dengan gaji apa adanya di tempat ini. Beberapa waktu yang lalu dia mendapatkan panggilan kerja namun ada di luar kota, di Surabaya.
Joy menegakkan tubuh, membawa koper dan tas berisikan baju dan perlengkapan lain yang dibutuhkan.
Levin yang tak rela ditinggal ibunya pergi bergelayut di kaki Joy untuk menahan kepergiannya. Mata bulatnya berair. "Ibu, jangan pergi biarkan aku ikut denganmu."
Joy hanya bisa diam menahan deraian air mata yang hampir luruh bila ibunya tak menggendong Levin.
"Sayang, biarkan Ibu berangkat ya? Ibumu akan terlambat nanti." Nenek membawa Levin menjauh dari Joy. "Cepat pergi, sebelum aku tak bisa menenangkan Levin."
Joy masuk dan mencari tempat duduk yang kosong. Dia menemukan kursi yang kosong ada di belakang sopir, sedangkan kursi lainnya penuh. Dia pun duduk di dekat jendela dengan mata berkaca yang kini meleleh. Sejenak dia usap titik air mata yang merembes di pipinya. Rasa pedih masih tersisa di sana, namun suara bising jalanan meredam semua itu.
"Turun mana, Mbak?" tanya kondektur bus.
Tak ada respons. Pikiran Joy melayang.
Mengingat Levin kembali membuatnya bersedih, mengingat kejadian tiga tahun silam. Dimana malam tak terlupakan dalam hidupnya masih menghantuinya hingga detik ini. Malam yang menjadi titik awal kehadiran Levin hadir di dunia.
Malam itu menjadi saksi kebodohan dirinya. Waktu itu Joy yang mabuk setelah perayaan kelulusan ditinggalkan oleh temannya yang ada urusan.
Kemudian ada seorang lelaki asing mabuk yang duduk di sampingnya. Karena suatu hal, Joy membantu pria itu kembali ke kamar yang ada di hotel.
Dalam keadaan sama-sama mabuk, kejadian buruk itu pun terjadi tanpa Joy bisa melawan kala pria yang jalan sempoyongan itu menariknya ke kamar, menindihnya hingga terjadilah hal yang tak diinginkan.
Joy kehilangan mahkota paling berharganya dalam hidup.
Setelah kejadian, saking malunya Joy langsung melarikan diri dan menghindar dari ibukota hanya untuk membesarkan Levin.
"Mbak, mau turun mana?" Suara kondektur bus kembali bergema, menarik kesadaran Joy.
Lamunan Joy seketika buyar.
"Rumah Sakit Omnia, Pak."
Kondektur bus kemudian memberikan tiket pada Joy. Setelah menerima tiket, Joy menyandarkan kembali punggungnya pada kursi yang terasa keras bantalannya.
Tiga jam menempuh perjalanan akhirnya Joy tiba dia terminal kota Surabaya. Dia tertidur, beruntung suara ramai penumpang membangunkannya. Bila tidak mungkin dia sampai ke tempat lain.
Melihat kursi penumpang mulai kosong, dia pun segera turun dari bus. Dia keluar dari terminal menuju ke jalan raya. Dari informasi yang dibacanya Rumah Sakit Omnia terletak di sekitar terminal, kisaran satu kilo.
Banyak gedung pencakar langit di sepanjang jalan yang dia lewati. Sepasang netranya terus menjelajah mencari rumah sakit tempatnya bekerja hingga dia menemukan sebuah bangunan tinggi, luas di seberang jalan.
"Jadi di sini rumah sakit itu," gumamnya mendongakkan kepala menatap bangunan berlantai tujuh ini.
Joy yang penasaran dengan tempatnya bekerja kemudian menyeberang jalan dengan susah payah. Kendaraan yang lewat padat, tidak seperti di tempatnya. Jadi butuh waktu untuk menyeberang.
Tiba di depan rumah sakit, Joy masih berdiri menjulang menatap bangunan di hadapannya. Harusnya dia masuk, tapi itulah Joy. Dia belum punya kepercayaan diri untuk masuk ke sana, terlebih tidak mengenakan seragam.
Di sekitar tempat Joy berdiri ramai, banyak orang lalu lalang masuk. Pasien dan pekerja di rumah sakit ini bolak-balik melewati pintu masuk.
Dari arah belakang sana ada seorang pria yang masuk ke tempat parkir. Pria itu berpostur tinggi dengan wajah serius mengenakan jubah putih panjang. Dengan langkah panjangnya berjalan tergesa-gesa menuju ke pintu masuk setelah turun dari mobil. Entah siapa dia, yang jelas pria itu tak sengaja menubruk Joy.
Hiss! Joy berdesis mendapatkan rasa nyeri di bahu belakang. Siapa yang jalan tergesa-gesa tanpa melihat hingga menabraknya begini?
Joy berbalik untuk melihat siapa yang telah menubruknya. Seorang dokter melemparkan tatapan tajam padanya. Tatapan mereka sejenak beradu.
Joy masih berdesis sembari memegang bahu kirinya yang terasa nyeri akibat di tubruk pria tadi. Dia diam, menunggu pria itu bicara untuk minta maaf padanya. Tapi respons yang didapatkan sungguh berbeda dari yang diharapkan.
"Kamu menghalangi jalan. Aku sedang terburu-buru. Aku sudah ditunggu di dalam sana. Berikan keputusan, masuk atau pergi. Jangan menghalangi jalan seperti ini." Setiap kata yang keluar dari bibir manis pria ini begitu pedas, tajam dan menyengat telinga.
Joy ternganga melihat wajah pria asing tersebut setelah mengamati garis wajahnya. Wajah pria itu entah kenapa ada kemiripan dengan Levin.
Terdengar suara memanggil dari dalam. "Dokter Daffin, Anda sudah ditunggu."
Beberapa detik mata mereka beradu, pria dengan rambut cokelat ikal dan mata cokelat gelap itu segera menarik pandangan dari Joy. Bahkan dia pergi begitu saja. Lagi, pria itu kembali membentur bahu Joy, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Daffin Enzi Danantya, seorang dokter bedah berusia 33 tahun. Dia dokter bertangan dingin. Namun, bukan tangannya saja dingin tapi sikapnya juga dingin.
"Hey! Jangan pergi!" panggil Joy berteriak sembari berdesis karena merasakan nyeri kembali pada bagian bahu.
Sayang, pria tadi menoleh saja tidak dan menghilang dari pandangan Joy dalam sekejap mata. "Siapa dia? Dokter?Sikapnya buruk sekali! Dia bahkan tidak minta maaf padaku. Semoga saja besok aku tidak bertemu dengannya," decih Joy kesal pada pria yang menurutnya tak punya hati juga sopan santun itu.
Joy memutuskan untuk pergi dari rumah sakit ini dan mencari tempat tinggal. Moodnya hancur setelah bertemu pria tadi untuk melihat-lihat rumah sakit. Mungkin nanti dia bisa melihatnya lagi. Sekarang, dia harus gegas mencari tempat kost dan sejenisnya.
Langkah Joy pun terhenti kala melihat sebuah jam tangan pria berbahan kulit tergeletak di ujung kakinya. "Jam tangan milik siapa ini?"
Joy tidak tahu milik siapa itu. Pada strap kulitnya tercetak sebuah nama. "Daffin?"