Eps. 3 Kembalikan Jamku!

1026 Kata
"Nggak ada apa-apa, Dok." Berat bagi Joy untuk memanggil Daffin dengan sebutan terhormat pada pria tak tahu sopan santun model dia. Sungguh, dia tak menyangka saja rupanya Daffin seorang dokter bedah di rumah sakit ini. Sementara tatapan mata Daffin masih memindai Joy dengan tatapan dingin dan tajam terus menghujam. "Kamu ... jadi serahkan hasil tesnya padaku tidak?" "Ya, Dok." Dengan tersentak Joy maju kembali kemudian menaruh berkas yang ada di tangannya ke meja. "Kamu laboran baru?" Suara Daffin yang dingin membuat Joy gemetar, sadar pada posisinya. "Iya, Dok. Baru masuk hari ini," jawab Joy mencoba untuk tenang meski sebenarnya hatinya tak karuan. "Lain kali jangan berdiri di tengah jalan, menghalangi jalan yang lain." "Ya, Dok." Joy mengangguk dengan tertunduk, tak berani menatap muka Daffin. Khawatir bila pria itu mencoba mencari kesalahan dirinya di hari pertama kerja. Jangan sampai itu terjadi. Mau makan apa nanti dia nanti dan Levin? Entah kenapa Daffin masih menatapnya, Joy merasa tak nyaman saja dengan tatapan itu. Membuatnya cepat-cepat ingin pergi dari ruangan ini. "Permisi." Saat Joy menarik tangannya setelah melepaskan berkas hasil tes darah, lengan panjangnya tersingkap naik. Bagian tangan kiri sampai memperlihatkan jam tangan yang melingkar di sana. Seketika Daffin kembali mengunci pandangannya pada pergelangan tangan kiri Joy. Tentu dia bisa mengenali langsung milik siapa itu? Tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali barang miliknya. Daffin Enzi Danantya, dokter bedah dengan jam terbang tinggi. Banyak pasien yang selamat di meja operasi berkat dia. Dia seorang dokter bedah bertahan dingin, yang membuat kepribadian priai itu juga dingin terutama pada wanita. Hampir dia tak punya gairah melihat wanita, siapapun itu. Bukan tanpa alasan dia tidak tertarik pada wanita. Bukan karena dia tidak normal, tertarik pada sesama jenis, bukan! Tapi ada satu hal yang membuatnya mengubur rasa suka pada wanita, sebuah alasan medis. "Jam di tanganmu itu milik siapa?" Deg! Jantung Joy menghentak tak karuan sekarang. Dia berniat pergi agar jam yang dipakainya ini tidak ketahuan. Dia takut saja dengan perangai Daffin. Takutnya pria itu mengira dirinya mengambil jam tangan itu, padahal dia menemukan. Dia berniat untuk mengembalikan dengan cara lain, sayang sudah ketahuan duluan. Sekarang bagaimana? "Ini ... ini aku menemukannya di depan rumah sakit --" Penjelasan Joy belum selesai namun Daffin sudah memotongnya. "Jadi, kamu bermaksud memiliki barang yang kamu temukan? Bagaimana bila pemiliknya mencari itu?" Suara Daffin terdengar berat mengejar. Padahal saat ini Daffin juga memakai jam tangan di pergelangan tangan kanan. Pria ini sendiri dalam kesehariannya memakai dua jam tangan, di kiri dan kanan. Dia selalu tepat waktu dalam hal apapun. Sebagai dokter bedah, banyak pasien bedah yang harus ditangani dan itu menuntutnya sangat perhatian dengan waktu. "Bukan ... bukan begitu, Dok. Aku ..." Apa yang ditakutkan Joy kejadian juga. "Bila menemukan barang asing sebaiknya segera dikembalikan kepada pemiliknya. Jam itu adalah milikku. Mungkin kemarin terjatuh sewaktu kita bertabrakan. Aku sudah mencarinya ke mana-mana namun tidak ketemu. Rupanya jam itu ada bersama kamu." Setiap kata yang diucapkan Daffin terdengar menusuk. Bahkan Joy seolah tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Dia bukan ingin memiliki jam tangan itu tapi menyimpannya untuk dikembalikan setelah mengetahui siapa pemiliknya. Daffin mengulurkan tangan terbuka ke arah Joy. "Aku membutuhkan jam tangan itu. Kembalikan barang yang memang milikku." "Nggak, aku nggak bermaksud memilikinya, sungguh." Joy langsung melepas jam tangan dari pergelangan tangan kiri lalu menaruhnya dengan gemetar di atas telapak tangan Daffin. Setelahnya tanpa kata Daffin mengibaskan tangan. Joy pun segera pergi meski penjelasannya tak diterima." Astaga! Aku berurusan dengan beruang kutub di sini. Semoga aku nggak terseret masalah dengannya. Joy kembali ke ruang laborat dengan tubuh masih gemetar. "Bagaimana? Sudah?" tanya seorang laboran. "Sudah, tapi horor sekali tadi." "Ya, nggak usah diambil hati. Perangainya memang begitu. Tapi dia sebenarnya baik." Joy tak berani berkomentar sepatah kata pun. Takutnya bila dia berkomentar negatif, itu akan menjadi bumerang baginya, sedangkan dia masih baru di sini, belum tahu bagaimana karakter rekan kerjanya. "Joy, bila sudah selesai tolong bantu kami mengerjakan ini." Rekan Joy memberikan beberapa wadah penampung urine untuk dites. "Ya, baik." Joy tanpa menolak langsung mengambil itu dan melakukan tes. Pekerjaan tak ada habisnya di rumah sakit ini. Satu pekerjaan selesai disambung lagi dengan pekerjaan baru. Dan itu pun belum berhenti bila belum jam istirahat. Semua break dan akan dilanjutkan nanti setelaj jam istirahat usai. Rekan kerja Joy menghampiri. "Kamu istirahat makan dimana?" "Belum tahu, mungkin beli di luar." "Jangan beli di luar lebih baik kamu ikut kita saja ke kantin rumah sakit ini. Di sana menu makannya lengkap." Karena tidak tahu tempat makan di luar rumah sakit ini di mana, Joy pun ikut saja pergi ke kantin, daripada buang waktu untuk mencari tempat makan. Bahkan Joy ikut saja dan menurut pada tempat duduk yang dipilih oleh temannya. Menu makan pun juga disamakan oleh temannya. Saat teman Joy makan sembari mengobrol, Joy lebih banyak diam dan fokus makan. Netranya kemudian bergulir tak sengaja menyapu kursi yang ada dua deret di depannya. Di kursi itu duduk Daffin. Pria bermata cokelat itu duduk dengan dua rekan dokter lainnya. Selagi dua dokter lainnya bicara Daffin hanya diam mendengarkan saja. Joy menatap mata Daffin. Melihat pria itu mengingatkannya kembali pada Levin. Selain rindu pada putranya, hal itu membuatnya teringat pada nasib Levin yang besar tanpa ayahnya. Joy membesarkan Levin meski dia belum menikah. Dia membesarkan Levin seorang diri bahkan tanpa tahu siapa ayah anak itu. Dia jadi teringat kejadian tiga tahun lalu. Tepat setelah Joy lulus kuliah yang bertepatan dengan diterimanya dia bekerja, teman sekelas mengajaknya makan di sebuah hotel. Padahal dia tidak suka minum, namun beberapa temannya memaksanya minum hingga dia agak mabuk. Namun karena kesibukan masing-masing temannya itu meninggalkan Joy sendirian di sana. Saat Joy mabuk, duduk juga seorang pria mabuk di sampingnya. Tentu dia tidak ingat dengan jelas nama maupun wajah pria itu. Dia masih ingat bagaimana dirinya dinikmati dengan rakus malam itu hingga tubuhnya terasa sakit semua, meninggalkan pilu juga bekas luka mendalam sampai sekarang. Karena itu tak ada lelaki yang mendekati dirinya. Mereka menatap dan melihatnya dengan jijik, juga menganggapnya sebagai wanita nakal. Joy tiba-tiba berkeringat dingin dan pucat. Mengingat masa lalu itu rasanya berat sekali baginya dan membuatnya terguncang hebat. "Joy, ada apa denganmu?" pekik rekannya melihat Joy yang tiba-tiba ambruk di meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN