Altha langsung merebut ponselnya dari tangan Mazida. Ia yang ganti bicara pada Arman. “Man, gue sudah memperingatkan. Kalo sampe lo macem-macem, habis lo.” Arman terpingkal-pingkal. “Datanglah ke sini makanya. Ajak bini lo ke sini. Buru! Gue tunggu. Pengantin baru harusnya silaturahmi pada yang lebih senior. Eh, salah. Bukan pengantin baru, tapi pengantin lama yang baru terkuak.” “Kampret lo!” Panggilan dimatikan dari seberang. “Teman sebiji aja bawaannya bikin istigfar tiap hari. Kalo ada yang lain, gue buang lo sejak lama,” gerutu Altha. Mazida tersenyum. Ia bisa mengerti arti sebuah persahabatan. Seperti dirinya dengan Rini. Meskipun sering bicara kasar satu sama lain, sebenarnya saling menyayangi. “Ayo kita balik kontrakan dulu. Setelah itu kita ke rumah Arman. Dia ngundang kita

