Gia tersenyum lembut. “Enggak, Rom. Aku nggak lihat dari jumlahnya. Yang penting kamu kasih dengan niat baik dan penuh tanggung jawab.”
Romy tersenyum lega, rasa haru jelas di wajahnya. “Terima kasih, Gia. Aku janji, aku akan kasih yang terbaik. Buat kamu, buat keluarga kamu, buat masa depan kita.”
Gia menunduk sedikit, menahan senyum malu. “Aku percaya, Rom.”
Beberapa menit kemudian, Romy berpamitan pada Farid. Gia mengantarnya sampai ke teras. Udara malam mulai turun, membawa kesejukan yang menenangkan. Romy menatap Gia sekali lagi sebelum turun dari tangga.
“Doain aku, ya, Gi. Biar semua dimudahkan,” katanya lembut.
Gia tersenyum. “Insyaallah, Rom. Aku juga akan mulai siapin semuanya.”
Romy mengangguk, menatap Gia sekali lagi sebelum melangkah menuju motornya. Saat mesin menyala dan lampu motor menyorot jalan, Gia masih berdiri di teras—menatap punggung Romy yang perlahan menjauh.
Hatinya bergetar halus. Ada rasa hangat, harapan baru, dan doa yang tak henti berputar dalam diam.
“Semoga ini memang jalan yang Engkau pilihkan untukku, Ya Allah,” bisiknya pelan.
Waktu berlalu cepat sejak lamaran itu. Dalam kesibukan yang tampak biasa, hidup Gia dan Romy diam-diam berputar menuju sesuatu yang besar — pernikahan mereka.
Gia tetap bekerja di kantornya, menata ruang, warna, dan cahaya seperti biasa. Namun di sela-sela desain ruang kantor klien, pikirannya juga sibuk menata “ruang” baru dalam hidupnya — ruang bernama rumah tangga. Ia memesan undangan, berdiskusi dengan vendor gaun, dan memastikan semua berjalan sesuai waktu.
Setiap sore, Gia sering mampir ke tempat usaha Romy. Gerobak sederhana yang dulu berdiri di pinggir jalan kini telah berubah menjadi kedai kecil dengan papan nama bergaya minimalis bertuliskan Romy’s Fried & Grill. Aroma ayam goreng khas itu kini menjadi ikon di lingkungan sekitar.
Romy sendiri bekerja tanpa lelah. Ia datang subuh-subuh, menyiapkan bumbu, mengatur karyawan, memastikan kualitas tetap sama. Usahanya semakin maju pesat — apalagi setelah viral di media sosial karena konsep tempatnya yang menarik, hasil rancangan Gia sendiri.
Tapi di balik semua kesibukan itu, Romy memendam satu rahasia kecil. Ia menabung diam-diam, menyisihkan hasil keuntungan usahanya. Dan akhirnya, di bulan kelima sejak kerja sama mereka dimulai, ia membeli sebuah rumah. Tidak terlalu besar, tapi cukup mewah untuk ukuran seorang pengusaha kuliner yang baru merintis.
Ia membeli rumah itu tanpa sepengetahuan Gia.
“Bukan karena aku nggak percaya sama dia,” gumam Romy suatu malam di teras rumah barunya. “Tapi aku pengen nunjukin ke Ibu, ke Sera sama Sila… kalau aku bisa. Kalau aku udah jadi orang.”
Dan hari yang ia tunggu pun tiba.
Ibu Romy, Asih, datang dari kampung bersama dua putri kembarnya, Sera dan Sila. Mobil travel berhenti di depan rumah baru itu, dan ketiganya menatap dengan mata membulat kagum.
“Romy… ini rumahmu?” tanya Asih dengan suara tercekat, antara bangga dan tidak percaya.
Romy tersenyum lebar, memeluk ibunya erat. “Iya, Bu. Rumah kita.”
Sera menjerit kecil, berlari keliling halaman, sementara Sila sibuk memotret interior rumah dengan ponselnya.
“Mas, ini bagus banget! Dindingnya kayak di Pinterest!” seru Sila.
“Dan dapurnya keren banget! Ada kitchen island-nya!” tambah Sera.
Asih mengusap sudut matanya. “Masya Allah, Nak… Ibu bangga banget. Dulu kamu cuma jualan ayam di pinggir jalan, sekarang udah bisa beli rumah.”
Romy menunduk, tersenyum, tapi di balik hatinya ada rasa getir yang tak bisa diabaikan. Ia tahu, sebagian besar modal usahanya berasal dari Gia — perempuan yang kini akan menjadi istrinya.
Namun hari itu, ia memilih menahan cerita itu. Ia ingin melihat ibunya bahagia tanpa beban.
“Ibu, doain aja, ya. Biar usaha Romy makin lancar,” katanya pelan.
Asih mengangguk, menggenggam tangan anaknya. “Ibu selalu doain kamu, Nak. Dan semoga calon istrimu juga perempuan baik yang bisa nerima kamu apa adanya.”
Sebelumnya Romy cerita pada ibunya saat akan melamar Gia dan ibunya setuju.
Romy menunduk, senyum lembut muncul di bibirnya. “Amin, Bu. Dia memang perempuan baik.”
Malam itu, setelah ibunya tidur dan kedua adiknya asyik berbincang di kamar, Romy menatap ruang tamu rumah barunya dengan perasaan campur aduk. Ada bangga, tapi juga rasa bersalah kecil yang menelusup.
Ia duduk di kursi, mengirim pesan singkat pada Gia
(Romy: Gi, aku lagi di rumah, banyak hal yang pengen aku ceritain nanti. Tentang rencana kita, dan sesuatu yang udah aku siapin.)
Gia membalas beberapa menit kemudian.
(Gia: Baik, Rom. Aku juga mau cerita tentang vendor gaun dan dekorasi. Semoga semua berjalan lancar, ya.)
Romy menatap layar ponsel itu lama.
Ia menatap rumahnya sekali lagi, lalu berbisik lirih, “Semoga kamu nggak kecewa nanti, Gi. Aku cuma pengen kamu tahu… semua ini buat masa depan kita.”
Hari itu, matahari sore menembus jendela kantor Gia, menimbulkan pantulan hangat di meja kerjanya. Ia baru saja menyelesaikan gambar desain interior untuk klien baru ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum — Sera, adiknya Romy. Romy memang meminta Sera dan Sila menghubungi calon kakak ipar mereka setelah resmi melamar dan diterima oleh Gia. Dan yang cukup dekat dengan Gia sekarang adalah Sera.
“Assalamualaikum, Kak Gia,” suara gadis itu ceria. “Aku cuma mau bilang, rumah Mas Romy bagus banget, Kak! Terima kasih ya, pasti Kak Gia bantu desain juga, ya?”
Gia mengerutkan kening. “Rumah?” tanyanya pelan. “Rumah yang mana, Sera?”
“Lho, rumah Mas Romy, Kak! Yang baru dibeli. Katanya ini rumah Mas Romy sendiri, bukan kontrakan lagi. Aku sama Ibu sudah disini dari kemarin. Masya Allah, keren banget, Kak. Dindingnya warna krem, furniturnya minimalis. Bener-bener kayak rumah orang kota sukses deh!”
Hati Gia langsung berdegup. Ia diam sesaat, menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata itu. Rumah baru? Sejak kapan Romy punya rumah?
“Oh… iya, Sera. Kak Gia lagi di kantor, ya. Nanti Kak Gia hubungi Mas Romy, ya,” ucapnya mencoba tenang.
Begitu telepon berakhir, Gia bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah layar laptop yang kini tampak buram di matanya. Ada rasa kaget… tapi lebih dari itu, ada rasa perih halus yang menyeruak di d**a.
Romy membeli rumah — tanpa sepengetahuannya. Padahal setiap pergerakan usaha mereka selama ini selalu mereka bicarakan bersama. Ia bukan sekadar kekasih, tapi juga investor utama.
Malamnya, Gia menunggu di kafe kecil dekat kedai Romy. Ia menatap jalanan sambil menenangkan diri. Begitu Romy datang, wajahnya tampak cerah, tapi senyum itu perlahan memudar melihat ekspresi Gia.
“Gi? Ada apa? Kamu kelihatan tegang banget,” tanya Romy hati-hati.