Gia menatapnya tajam tapi suaranya tetap tenang. “Kamu beli rumah, Rom?”
Romy terdiam. Nafasnya tercekat. “Kamu tahu dari mana?”
“Dari Sera. Katanya ibumu dan adik-adikmu sedang di rumah barumu. Kamu nggak pernah cerita soal itu.”
Romy menunduk. Tangannya meremas gelas kopi di hadapannya. “Aku… aku nggak bermaksud nyembunyiin, Gi. Aku cuma pengen kasih kejutan. Aku pengen buktiin ke Ibu kalau aku bisa. Kalau aku udah sukses tanpa harus bikin dia mikir kalau semua ini dari kamu.”
Gia menggeleng pelan, menahan napas berat. “Tapi sebagian besar modal usahamu dari aku, Rom. Aku nggak minta kamu pamerin namaku di depan keluargamu, tapi… setidaknya kamu bisa cerita. Aku partner kamu. Aku calon istrimu. Aku cuma ingin jujur di antara kita.”
Romy menatap Gia, matanya berkaca. “Aku tahu, Gi… dan aku salah. Aku cuma takut kamu salah paham. Aku nggak pengen kamu pikir aku manfaatin uang kamu buat pamer. Aku cuma pengen nunjukin ke Ibu, aku udah bisa jadi laki-laki yang pantas buat kamu.”
Gia terdiam. Suara Romy terdengar jujur, tapi hatinya tetap terasa nyeri. “Romy…” katanya akhirnya, pelan namun tegas. “Aku nggak butuh bukti dari rumah baru atau usaha besar. Aku cuma butuh kejujuran. Itu aja. Karena kepercayaan buat aku lebih berharga dari apapun.”
Hening. Suara detik jam di dinding kafe terasa terlalu keras.
Romy menunduk, lalu berkata dengan nada lirih, “Maaf, Gi. Aku janji, nggak akan ada lagi hal yang aku sembunyikan. Mulai sekarang, semua yang aku punya, semua rencana yang aku buat, kamu akan jadi orang pertama yang tahu.”
Gia menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil. “Aku terima maaf kamu, Rom. Tapi aku harap kamu belajar dari ini. Kalau kita mau bangun rumah tangga, pondasinya bukan cuma cinta, tapi juga kejujuran.”
Romy menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya pelan. “Kamu benar, Gi. Dan aku janji, aku akan jaga kepercayaan itu… mulai sekarang, sampai selamanya.”
Gia menatap tangan Romy di atas tangannya, lalu tersenyum tipis. “Semoga begitu, Rom.”
Dan di tengah kesunyian malam itu, keduanya tahu — cinta mereka baru saja diuji. Tapi di balik luka kecil itu, ada pengertian yang tumbuh lebih dalam: cinta yang jujur memang tak selalu mulus, tapi selalu layak diperjuangkan.
Suasana sore di kafe itu terasa teduh, cahaya matahari menembus dari sela tirai besar, memantul lembut di permukaan meja kayu tempat Gia dan Romy duduk. Aroma kopi baru diseduh bercampur dengan wangi roti hangat, sementara lagu lembut mengalun pelan di latar belakang.
Romy menatap Gia sejenak. Dengan nada yang berusaha ringan, Romy berkata, “Oh iya, Gi… gimana persiapan pernikahannya?”
Gia mengangkat wajahnya, sedikit terkejut dengan arah pembicaraan itu. Sementara Romy dengan tenang membalikkan ponselnya, meletakkannya dengan layar menghadap ke bawah di atas meja — seolah ingin memastikan tidak ada gangguan, atau mungkin… ada sesuatu yang tidak ingin terlihat.
“Semua sudah hampir selesai,” jawab Gia pelan tapi jelas. “Tinggal fitting baju, undangan juga sedang proses cetak.” Ia tersenyum tipis. “Kamu jangan lupa buat surat pengantar ke KUA-nya.”
Romy mengangguk cepat. “Oke, baik. Aku urus secepatnya.”
Mereka berdua terdiam sejenak. Hanya terdengar suara pelayan yang lewat sambil membawa nampan. Gia menatap cangkir kopinya yang sudah setengah dingin, sementara Romy melirik jam di pergelangan tangannya.
Beberapa detik kemudian, suara adzan magrib menggema lembut dari arah luar — menggema melalui pengeras suara kafe yang memang terhubung dengan mushola kecil di sisi kanan bangunan. Suara itu terasa menenangkan, mengurai ketegangan yang sempat membeku di antara mereka.
Romy menegakkan duduknya, lalu menatap Gia. “Gi, ayo sholat dulu. Di sini ada mushola, kan?” katanya lembut.
Gia mengangguk. “Iya, ada di sebelah kanan kafe.”
Mereka berdiri hampir bersamaan.
Gia mengikuti langkah Romy menuju mushola. Di sepanjang jalan kecil yang dihiasi tanaman hijau gantung, keduanya berjalan berdampingan dalam diam. Udara sore yang hangat berpadu dengan suara adzan membuat suasananya terasa syahdu — seakan Tuhan sedang memberi ruang untuk mereka menenangkan hati yang sempat retak.
Sesampainya di mushola, Romy mempersilakan Gia masuk lebih dulu.
“Silakan, Gi. Aku tunggu di luar wudhu,” katanya sopan.
Gia hanya mengangguk, melangkah perlahan sambil menunduk. Dalam hatinya, ia mengingat lagi hal-hal yang belum selesai di antara mereka — bukan soal persiapan pernikahan, tapi soal kepercayaan.
Dan di luar, saat Romy menunggu giliran mengambil air wudhu, ia menatap ponselnya sekilas dari saku celana. Sebuah notifikasi muncul sebentar di layar, tapi segera ia tekan tombol kunci.
Usai sholat magrib di mushola cafe, Romy dan Gia keluar bersamaan. Udara malam mulai turun, lembut dan sedikit dingin, menambah kesan damai setelah ibadah. Mereka berjalan pelan menuju parkiran, langkah keduanya seirama, namun tanpa banyak kata.
Gia membuka pintu mobilnya, menoleh ke arah Romy. “Hati-hati di jalan, Rom. Jangan ngebut, ya.”
Romy tersenyum, menyalakan motornya. “Iya, Gi. Kamu juga. Sampai rumah, kabarin aku, ya.”
Gia mengangguk, lalu melambaikan tangan sebelum masuk ke mobil.
Tak lama, keduanya meninggalkan kafe dengan arah berlawanan.
Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan pantulan cahaya di jalanan yang sedikit basah karena hujan sore tadi.
Di atas motor, Romy memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Angin malam menerpa wajahnya, tapi pikirannya justru dipenuhi suara Gia yang lembut tadi — suara yang membuatnya selalu ingin membuktikan bahwa ia layak untuknya.
Dalam hati ia bergumam, “Aku harus kursus nyetir mobil. Masa aku kalah sama Gia? Masa calon suamiku masih naik motor sementara dia nyetir mobil sendiri? Aku nggak boleh kalah darinya. Aku harus bisa sejajar… bukan cuma di usaha, tapi juga di kehidupan.”
Senyum kecil tersungging di wajahnya saat membayangkan hari di mana ia dan Gia mungkin pulang bersama, bukan lagi dengan kendaraan berbeda, tapi dalam satu mobil — sebagai suami istri.
Sesampainya di rumah barunya, Romy memarkir motor di garasi kecil. Dari dalam rumah terdengar suara sendok beradu dengan piring, aroma masakan tumis bumbu khas kampung langsung menyeruak menyambutnya.
“Ibu masak, Rom! Cepat masuk, nak!” suara Asih, ibunya, terdengar hangat.
Romy melepas helm, tertawa kecil. “Wah, Ibu masak? Buat siapa nih? Ada tamu?”
Asih keluar dari dapur dengan celemek yang selalu dipakai sejak dulu. Wajahnya berbinar penuh kebanggaan. “Buat anak ibu yang sudah sukses punya rumah sendiri. Siapa lagi kalau bukan kamu, Romy?”
Romy tersentuh. Ia menatap ibunya, lalu melangkah mendekat dan mencium tangan wanita yang telah membesarkannya itu. “Bu… jangan gitu ah, aku belum sukses, baru saja mulai. Masih banyak yang harus aku buktikan.”
Asih tersenyum, menepuk pelan pipi anak sulungnya. “Ibu lihat kamu udah kerja keras, udah punya rumah, bisa bantu adik-adik sekolah. Itu udah cukup buat ibu.”
Romy terdiam, dadanya hangat tapi juga terasa sedikit berat — ada rasa bangga, namun juga ada rahasia kecil yang belum sempat ia ceritakan, terutama soal sebagian uang yang dipakainya untuk membeli rumah ini.
Namun malam itu ia memilih diam.
Ia hanya ingin menikmati masakan ibu yang telah lama tidak ia cicipi.
“Ibu masak tumis pete sama ayam kecap kesukaanmu, ayo makan, Nak.”
Romy tersenyum lebar. “Siap, Bu! Masakan ibu memang nomor satu!”
Asih tertawa, sementara dari ruang tengah terdengar suara Sera dan Sila yang saling bercanda.
Suasana rumah itu terasa hangat, sederhana, tapi penuh cinta — sesuatu yang Romy rindukan sejak lama.
Namun jauh di dalam hati, Romy tahu… kebahagiaan malam ini belum lengkap. Masih ada sesuatu yang harus diperbaiki dengan Gia — sebelum hari akad benar-benar tiba.
“Rom, kenapa melamun?” Tanya Asih.