Tanda-tanda Toxic

1109 Kata
Asih memperhatikan anak sulungnya yang duduk termenung di meja makan setelah piringnya hampir kosong. Wajah Romy terlihat jauh, tatapannya kosong menembus dinding dapur yang sederhana namun kini terasa lebih hangat semenjak mereka pindah. “Romy…” suara lembut itu memecah keheningan. “Kamu kenapa melamun, Nak? Ibu lihat dari tadi sendoknya diem aja di tangan.” Romy tersentak pelan. Ia buru-buru menaruh sendoknya, lalu tersenyum kecil mencoba menutupi pikirannya. “Eh, nggak, Bu. Aku nggak melamun kok. Cuma… ya, kepikiran aja.” Asih menaikkan alisnya, masih menatap penuh selidik. “Kepikiran apa, Rom?” Romy menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada ragu, “Aku cuma mikir, nanti setelah aku nikah… aku bakal tinggal di mana, Bu. Gia kan cuma tinggal sama ayahnya, dan rumahnya juga rumah dia. Masa aku ikut tinggal di rumah perempuan?” Asih tersenyum samar, lalu duduk di kursi seberangnya. “Oh itu yang kamu pikirin.” Ia menepuk lembut punggung tangan Romy. “Nak, ibu justru mau ngomong soal itu. Ibu dan adik-adikmu sudah sepakat… kami mau tinggal di sini, Rom. Di rumah ini.” Romy menoleh cepat, agak terkejut. “Tinggal di sini, Bu? Maksudnya... pindah ke sini semua?” Asih mengangguk mantap. “Iya. Ibu pengen dekat sama kamu. Lagian Sera sama Sila juga biar ngerasain hidup di kota. Sekolahnya nanti ibu daftarin di sekolah yang bagus. Ibu yakin kamu nggak keberatan, kan?” Romy menatap ibunya lama. Di dalam dirinya ada gejolak yang sulit dijelaskan — antara ingin membuat ibunya bahagia dan rasa tanggung jawab terhadap Gia yang makin besar. Tapi akhirnya ia hanya tersenyum, mencoba menenangkan hatinya. “Nggak, Bu. Aku malah senang. Ibu dan adik-adik tinggal di sini bikin rumah ini terasa hidup.” Asih tersenyum puas, lalu berdiri sambil mengelus kepala anak sulungnya dengan kasih sayang. “Nah, begitu dong. Ibu senang kamu ngomong gitu. Ibu pengen kamu nggak ngerasa sendirian. Ibu tahu kamu kerja keras dari dulu. Sekarang waktunya kamu bahagia, Rom.” Romy mengangguk pelan, namun senyum di bibirnya belum mampu menutupi kegelisahan di dadanya. Dalam hati ia berkata lirih, “Tapi kalau Gia tahu ibu dan adik-adik mau tinggal bareng, apa dia bakal keberatan?” Sementara itu, di rumahnya yang sepi dan rapi, Gia baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama satin dan kerudung tipis yang ia pakai sebelum tidur. Kamar itu remang, hanya diterangi lampu meja. Di dinding, blueprint desain proyek klien masih tergantung, menandakan betapa sibuknya hidup Gia bahkan di tengah persiapan pernikahan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyimpan banyak hal — ragu, bahagia, dan takut bercampur jadi satu. “Sebentar lagi aku menikah…” gumamnya pelan. “Kenapa ya rasanya malah deg-degan begini…” Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan dari Romy muncul di layar. (Romy: Gi, maaf ganggu malam-malam. Aku butuh fotokopi KTP kamu buat ngurus berkas ke KUA besok. Bisa kamu kasih besok pagi, ya?) Gia membaca pesan itu dengan lembut, lalu mengetik balasan: (Gia: Iya Rom, aku anterin aja ke toko kamu besok. Tak lama kemudian, Romy membalas: (Romy: Makasih, Gi. Hati-hati ya, jangan tidur terlalu malam.) Gia tersenyum kecil. Ia meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur, lalu menatap langit-langit. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, kalau memang dia jodohku, kuatkan hatiku. Jauhkan kami dari hal-hal yang bisa memecah kami nanti…” Malam itu, Gia tertidur dengan perasaan yang hangat sekaligus gelisah — tanpa tahu bahwa esok pertemuan di toko Romy akan membuka lembar baru dalam perjalanan cinta mereka. Keesokan harinya matahari bersinar lembut, menembus kaca depan toko fried chicken Romy yang kini semakin ramai. Aroma ayam goreng dan saus pedas manis menyebar ke udara, tapi suasana di dalam toko masih sepi — baru karyawan yang sedang bersih-bersih dan menata meja. Gia tiba dengan mobil putihnya, mengenakan tunik biru muda dan kerudung senada. Ia menenteng amplop coklat kecil berisi fotokopi KTP dan berkas lainnya, lalu melangkah pelan ke dalam toko. Begitu masuk, ia tidak langsung melihat Romy. “Mas Romy-nya ada?” tanyanya sopan pada salah satu karyawan. Karyawan itu tersenyum, “Oh, Mas Romy lagi sholat dhuha, Bu. Di mushola kecil di belakang.” Gia spontan menoleh ke arah yang ditunjuk. Di ujung ruangan, di balik dinding kaca buram, tampak sosok Romy sedang ruku dengan khusyuk. Suaranya lirih terdengar, penuh ketenangan. Gia terdiam di tempat. Hatinya seperti disentuh lembut — ada rasa haru dan kagum yang sulit dijelaskan. “Dia masih sempat sholat dhuha di tengah sibuknya kerja…” batinnya bergetar. “Ya Allah, mungkin memang Engkau sedang tunjukkan sesuatu padaku. Bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa.” Ia tersenyum kecil, menatap Romy dari jauh hingga sholat itu selesai. Beberapa menit kemudian Romy menoleh, menutup doa, lalu berdiri dan merapikan sajadah. Saat matanya menangkap sosok Gia yang sedang menunggunya di dekat meja kasir, ia tampak sedikit terkejut tapi senang. “Eh, Gi!” serunya sambil melangkah cepat. “Sudah sampai aja. Maaf ya, aku tadi sholat dulu.” Gia menggeleng lembut. “Gak apa-apa, Rom. Aku malah senang lihat kamu ibadah. Ini…” Ia mengulurkan amplop itu. “Fotokopi KTP-nya. Aku taruh di amplop biar gak kusut.” Romy menerima amplop itu dengan kedua tangan, ekspresinya tulus. “Makasih banyak, Gi. Aku langsung bawa nanti ke KUA. Oh iya, kamu mau duduk dulu?” Gia tersenyum, tapi ia sempat melirik jam tangannya. “Aku gak bisa lama, Rom. Ada meeting di kantor klien. Cuma mampir sebentar buat kasih ini.” Romy mengangguk memahami. “Tak apa, Gi. Aku ngerti kamu sibuk. Hati-hati ya di jalan.” Gia melangkah keluar sambil menatap sekeliling — desain interior toko itu sudah jadi seperti yang ia rancang dulu: bersih, minimalis, dan nyaman. Ia tersenyum puas. “Tempatnya makin bagus, Rom. Aku senang.” Romy ikut tersenyum, matanya hangat menatap calon istrinya. “Itu semua karena kamu juga, Gi. Aku gak akan lupa siapa yang bantu aku dari awal.” Gia membalas senyum itu, menatapnya sejenak — dalam pandangan singkat itu ada rasa tenang, ada keyakinan yang tumbuh. “Iya, Rom. Aku pamit ya,” ucapnya pelan. Romy mengantar Gia sampai ke depan toko. Udara pagi berhembus lembut, membuat ujung kerudung Gia sedikit berkibar. “Hati-hati ya, Gi,” katanya lagi, menatap mobil putih itu ketika Gia membuka pintunya. Gia menoleh sebentar dan tersenyum — senyum yang menenangkan, seolah memberi sinyal bahwa ia makin yakin akan pilihan hatinya. “Iya, Rom. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Mobil itu perlahan meninggalkan halaman toko, sementara Romy masih berdiri di tempat, menatap punggung kendaraan itu menghilang di tikungan. Ia menghela napas panjang, lalu menatap ke langit biru pagi. “Terima kasih, Ya Allah…” gumamnya lirih. “Aku janji gak akan sia-siain kepercayaan dia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN