Keesokan harinya. Pagi itu toko fried chicken milik Romy mulai ramai. Suara penggorengan beradu dengan denting sendok dan piring dari pelanggan yang datang untuk sarapan cepat. Romy sibuk mencatat pesanan di meja kasir sambil sesekali memberi arahan pada karyawan. Di tengah kesibukan itu, getaran halus dari saku celananya membuatnya berhenti sejenak.
Ia mengeluarkan ponselnya — “Ibu” terpampang di layar.
Romy tersenyum kecil, lalu menekan tombol hijau.
“Assalamualaikum, Bu.”
Suara lembut Asih terdengar di seberang sana, disertai bunyi spatula dari dapur rumah.
“Waalaikumsalam, Nak. Lagi sibuk ya?”
“Lumayan, Bu,” jawab Romy sambil menoleh ke arah dapur toko. “Ada banyak pesanan masuk hari ini. Kenapa, Bu?”
Asih terdiam sebentar sebelum menjawab, “Romy, bisa tolong kirimkan alamat rumah Gia sekarang… sama nomor ponselnya?”
Romy spontan mengernyit. Ia meletakkan buku catatan di meja dan berjalan sedikit menjauh dari suara bising dapur.
“Alamat rumah Gia, Bu? Kenapa, tiba-tiba nanya itu?”
Suara ibunya terdengar ringan tapi sedikit menggoda.
“Ibu cuma pengin tahu, di mana calon mantu ibu tinggal. Ibu lagi buat kue di dapur, terus jadi kepikiran sama Gia. Kan ibu belum pernah ketemu dia langsung. Kamu gak izinkan ibu kenal sama calon istrimu?”
Romy menghela napas, setengah lega, setengah heran. “Bukan gitu, Bu. Bukannya gak izinkan. Cuma kaget aja, tiba-tiba ibu pengin ke rumah Gia.”
Asih tertawa kecil di seberang. “Ya namanya juga calon mantu dan besan. Ibu harus tahu dong siapa yang mau jadi keluarga kita.”
Romy tersenyum, hatinya hangat mendengar nada lembut itu. “Iya, iya, boleh kok Bu. Silahkan saja kalau ibu mau ke rumah Gia. Tapi dia sekarang lagi kerja. Biasanya sore baru pulang.”
“Oh begitu…” gumam Asih pelan. “Ya gak apa-apa. Ibu bisa kesana sore-sore. Paling sekadar silaturahmi aja, bawain kue. Siapa tahu ayahnya ada di rumah juga.”
Romy sempat terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Tapi Bu, aku gak bisa ikut ya. Soalnya hari ini pesanan numpuk banget. Ada catering juga buat acara pengajian.”
“Gak apa-apa, Nak,” sahut Asih cepat. “Kamu kerja aja. Ibu bisa ke rumah Gia sendiri. Ibu tahu caranya bersikap sopan.”
Romy tersenyum lega. “Baik, Bu. Nanti aku kirim alamat dan nomor ponselnya lewat pesan ya.”
“Ya, kirim sekarang. Ibu lagi semangat nih,” jawab Asih riang. “Doakan saja semoga pertemuannya lancar.”
“Pasti, Bu.”
Setelah panggilan itu berakhir, Romy menatap layar ponselnya yang kini kembali redup. Ada rasa campur aduk di dadanya — senang karena ibunya berinisiatif, tapi juga sedikit canggung karena Dia belum tahu apa-apa soal kunjungan itu.
Ia menghela nafas, lalu tersenyum kecil.
“Mungkin ini bagus,” gumamnya pelan. “Ibu bakal makin sayang sama Gia kalau udah kenal langsung.”
Ia mengetik pesan singkat berisi alamat rumah Gia dan mengirimnya ke nomor ibunya.
Tak lama kemudian, notifikasi masuk:
(Ibu: “Sudah ibu terima. Makasih, Nak. Nanti sore ibu ke sana, ya.”)
Romy menatap layar itu sebentar, lalu menyimpannya di saku.
Dalam hati ia berkata, “Semoga semua berjalan lancar, ya Allah. Semoga Gia dan Ibu cocok satu sama lain.”
Sore harinya. Matahari mulai condong ke barat, menebar cahaya hangat yang menembus sela tirai ruang tamu rumah Gia. Farid yang duduk di sofa menatap tamunya dengan ramah—seorang perempuan paruh baya berkerudung lembut tapi tatapannya tegas dan penuh perhitungan.
“Saya Asih,” ucap perempuan itu memperkenalkan diri dengan senyum yang tak sepenuhnya tulus. “Ibu dari Romy. Saya sengaja datang ke sini, ingin silaturahmi… sekaligus bicara sedikit dengan calon menantu saya, Gia.”
Farid mengangguk sopan. “Oh begitu, Alhamdulillah, senang sekali saya bisa bertemu ibu. Tapi kebetulan Gia belum pulang, mungkin sebentar lagi.”
Belum sempat pembicaraan berlanjut, suara mesin mobil terdengar di luar pagar. Farid melongok keluar jendela. “Nah, itu dia anak saya pulang.”
Asih hanya mengangguk, menatap arah pintu dengan senyum tipis.
Tak lama, Gia muncul—anggun dengan setelan kerja rapi dan hijab berwarna lembut. Wajahnya menampakkan kelelahan sekaligus keceriaan kecil setelah seharian bekerja. Tapi saat melihat sosok perempuan di ruang tamu, langkahnya spontan terhenti.
“Eh… Mama?” ujarnya kaget, tapi dengan nada penuh hormat. Ia mengenali wajah itu dari video call Romy—ibunya.
Farid berdiri. “Gia, ini Ibu Asih. Katanya mau bicara sama kamu. Ayah ada undangan rapat di rumah Pak RW, ya. Kalian bicaralah dulu.”
Gia mengangguk patuh. “Iya, Yah.”
Farid tersenyum lalu menatap Asih. “Mohon maaf saya tinggal dulu, Bu.”
Asih mengangguk. “Iya, Pak. Silakan.”
Begitu pintu tertutup, keheningan menyergap ruang tamu. Gia melangkah mendekat, menunduk sopan, lalu mengulurkan tangan.
“Assalamualaikum, Mama.”
Namun tangan itu dibiarkan menggantung.
Asih hanya menatapnya lama, dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menautkan tangan sendiri di pangkuannya tanpa menjawab salam.
Wajah Gia menegang. Perlahan ia menarik kembali tangannya, lalu duduk di seberang Asih dengan sikap sopan. Tapi suasana berubah kaku, udara seolah padat oleh sesuatu yang tak kasat mata.
“Jadi… ini kamu,” kata Asih akhirnya, suaranya tenang tapi tajam. “Kamu ternyata sudah hampir empat puluh tahun ya?”
Gia mengerutkan dahi, sedikit kaget. “Maaf, Bu? Saya… masih tiga puluh tujuh tahun. Belum empat puluh.”
Asih tersenyum sinis, lalu membuka tas tangannya dan mengeluarkan selembar kertas—fotokopi KTP Gia. Ia meletakkannya di meja dengan bunyi pelan tapi tegas.
“Ini umur kamu, kan? Tiga puluh tujuh. Ya, tetap saja sudah tua.”
Tatapan Asih menukik, dingin. “Saya ini ingin segera punya cucu, Gia. Tapi kalau calon menantunya sudah hampir empat puluh, kecil kemungkinan saya bisa menggendong cucu dari Romy.”
Gia terdiam. Dadanya terasa dihantam benda sangat keras. Ia mencoba tersenyum tenang. “Bu, umur memang tidak bisa disembunyikan, tapi Insya Allah saya masih sehat, dan—”
“Sudah, sudah,” potong Asih dengan nada meninggi. “Saya tidak mau dengar alasan. Saya datang ke sini bukan untuk basa-basi. Saya ingin menyampaikan langsung… pernikahan kamu dan Romy batal.”
Bagaikan petir menyambar di ruang tamu yang sunyi itu. Gia menatap Asih tak percaya. Wajahnya pucat. “apa maksud Mama?”
Asih berdiri, merapikan kerudungnya. “Romy masih bisa dapat calon istri yang muda, yang bisa kasih keturunan cepat, yang pantas berdampingan dengan dia. Kamu simpan saja fotokopi KTP kamu ini. Kamu tidak akan jadi menantu saya.”
Gia refleks ikut berdiri, suaranya bergetar. “Ma, tolong jangan begini. Persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Semua uang, waktu, perasaan… semuanya sudah saya jalani dengan sungguh-sungguh. Saya masih bisa punya anak.”
Asih berbalik di ambang pintu, menatap Gia dengan mata tajam penuh penolakan.
“Kalau kamu masih ingin menikah, cari calon pengantin laki-laki lain. Tapi bukan anak saya.”
Kemudian Asih melangkah keluar tanpa menoleh.
Gia mengejarnya sampai ke teras. “Bu! Tolong dengar dulu… saya mencintai Romy. Saya percaya dia juga mencintai saya. Jangan hancurkan semuanya, Bu.”
Asih menoleh sekilas, senyum getir muncul di bibirnya.
“Cinta? Cinta saja tidak cukup untuk membangun keluarga.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Gia berdiri sendiri di depan rumah, angin sore meniup ujung hijabnya, dan hatinya terasa hancur.
Gia menatap punggung Asih yang menjauh, matanya berkaca-kaca. Ia memeluk dirinya sendiri, menahan gemetar. “Ya Allah… kenapa harus begini…”
Namun setelah beberapa detik, Gia menghapus air matanya. Ia menarik napas panjang, menegakkan kepala.
“Tidak. Aku tidak akan menyerah begitu saja.”
Gia bergegas masuk ke dalam rumah dan mengambil ponselnya. Ia menekan nomor Romy—tidak diangkat. Ditelepon lagi, tetap tidak dijawab.
Dengan hati berdebar, ia mencoba menghubungi karyawan toko Romy. Suaranya terdengar di seberang.