“Kalian ke ruangan Mas Zio sekarang. Ikuti saya.” Romy dan Asih membeku saat mendengar perintah Gia. Tidak ada nada marah dalam suara Gia—justru karena itulah kalimat itu terdengar jauh lebih menegangkan. Ia berbalik tanpa menunggu jawaban, langkahnya tegap meski mengandung. Asih menatap Romy dengan wajah panik. Romy hanya memberi kode halus—angkat alis dan sedikit gerakan dagu—ikut saja. Asih menggigit bibir, menghela napas keras, lalu akhirnya melangkah mengikuti putranya. Gia tiba lebih dulu di ruangan Zio, berdiri di sisi meja kerja Zio. Tangannya menyentuh permukaan kayu itu—dalam dirinya ada gelombang perasaan tidak nyaman, tetapi ia berusaha tetap kokoh. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Romy masuk lebih dulu, wajahnya pucat dan tegang. Asih menyusul, langkahnya berat, tapi m

