Bima Ardelio menghela napas dalam. Ia masih belum bisa menyudahi senyumnya. Awalnya memang begitu, tetapi ketika ia balik badan dan menemukan sang papa berdiri santai sambil bersedekap di pintu balkon, jangankan tersenyum. Sekadar bernapas saja, Bima Ardelio jadi tidak bisa. “P–Papa!” jengkel Bima Ardelio yang juga merasa sangat malu. Karena lagi-lagi kepergok. Selain itu, lagi-lagi sang papa juga menertawakannya. “Mbah Uti sakit?” tanya pak Ardhan serius. Sementara sebutan mbah uti, merupakan panggilan sayangnya kepada sang nenek. “Ah iya, Pa. Papa nguping semuanya, kan?” balas Bima Ardelio. “Ya salah siapa? Telepon tiga jam belum beres. Itu hapemu sudah sampai beres dicas!” balas pak Ardhan yang kali ini mengomel. “Keadaan mbah uti, udah mendingan sih. Enggak perlu diinfus juga. Mi