“Ngapain kamu ke sini? Pulang, didik Syifa selayaknya! Andai dia salah, arahkan. Jika dia tetap ngeyel, hajar!” Pak Kaswan tidak bisa untuk tidak emosi. Ia mengusir adik iparnya yang sekadar menyapanya saja belum sempat. “Mas, tolong aku. Syifa—” “Itu hasil didikanmu! Hanya kamu yang berkewajiban menyadarkannya! Jika dia terus begitu, bawa ke rumah sakit jiwa!” Pak Kaswan makin teriak. Ibu Wati tak berkutik dan perlahan menunduk dalam. Air matanya berjatuhan membasahi pipi, tapi kali ini, ia tak menepis anggapan kakak iparnya. “Cepat pulang dan urus Syifa. Agar dia yang kurang waras, tidak berkedok waras hanya untuk melukai orang lain!” tegas pak Kaswan lagi. Menghela napas dalam, ibu Wati berangsur menatap kakak iparnya. “Aku ingin tahu kabar Shanum, Mas.” Mendengar ibu Wati menying