5. Mata dan Keindahannya

1097 Kata
Amber akhirnya bisa bernafas dengan lega. Pasalnya, sekarang sudah pukul tiga sore dan pria jahat itu sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Bahkan untuk makan siang saja, asistennya yang keluar membelikan makanan. Padahal ibu dua anak itu sempat mengira Darren menyadari keberadaannya pagi tadi. “Amber, tolong ke ruangan saya sebentar.” Suara Bu Evi terdengar di telinga Amber. “Baik, Bu.” Amber segera berdiri dan melangkah menuju ruang editor senior di depannya. “Aku lihat ulasanmu untuk tulisan ini sangat bagus. Aku benar-benar tidak salah menawarimu pekerjaan ini.” “Terima kasih, Bu. Semua berkat bantuan ibu sejak saya masih kuliah.” “Bantuanku tidak ada apa-apanya kalau kamu sendiri tidak cerdas.” Evi memang sudah lama mengenal Amber. Sejak wanita itu duduk di bangku kuliah, Amber yang suka menulis, mencoba peruntungannya dengan mengikuti berbagai ajang lomba menulis. Kebetulan Evi beberapa kali menjadi jurinya. Tidak hanya sekali Amber meraih juara. Evi sangat menyukai gaya bahasa Amber. Sangat ringan, tapi berbobot. Itu sebabnya, begitu Amber lulus dari jurusan sastra Indonesia, Evi langsung menawarinya pekerjaan sebagai editor. “Sekarang aku minta tolong kamu lihat tulisan ini.” Evi menyerahkan beberapa lembar kertas. “Ini hanya contoh bab awal saja. kamu tolong handle ini ya. Perusahaan sedang giat mengadakan lomba menulis buku cetak. Ada banyak naskah yang masuk. Terpaksa satu editor harus memegang lebih dari lima naskah.” “Baik, Bu. Tidak masalah,” jawab Amber tanpa ragu. Dia bisa memeriksanya sambil menemani si kembar belajar, ‘kan? “Bagus. Selebihnya nanti aku kirim lewat email ya?” “Baik, Bu. Permisi.” Amber segera keluar dan kembali duduk di kursinya dan mulai memeriksa naskah-naskah itu. Jam kerjanya berakhir pukul setengah lima sore. Masih ada sekitar tiga puluh menit lagi sebelum pulang dan Amber pun tenggelam dalam tumpukan naskah. Di ruangannya, Darren memang sibuk dengan berbagai rencana untuk memajukan perusahaan penerbitannya. Meskipun begitu, mata Darren tidak pernah lepas menatap kaca yang membatasi ruangannya dengan ruang para karyawannya. Di dalam mata hitamnya, hanya ada wanita itu, wanita yang terus dia cari selama lima tahun ini. Butuh pengendalian yang sangat kuat baginya untuk tidak menghampiri Amber. Darren tidak ingin membuat Amber tidak nyaman bekerja di sini. “Ini yang Anda minta, Tuan.” Edwin menyerahkan satu berkas. Darren segera meraihnya. “Hanya ini?” Darren membolak-balikkan satu lembar kertas berisi informasi tentang Amber. “Iya, Tuan. Itu yang bisa saya dapatkan. Setelah lulus SMA, Nona Amber pergi Jogjakarta lalu kuliah satu tahun kemudian. Baru satu bulan yang lalu Nona Amber diwisuda dan langsung melamar kemari atas rekomendasi Ibu Evi, editor senior.” “Ke mana dia pada tahun awal di sini?” “Itu,,, saya tidak bisa menemukan jawabannya, Tuan. Ada yang bilang Nona Amber bekerja selama satu tahun, mengumpulkan biaya untuk kuliah.” Mata Darren terus menatap kertas itu. Sebuah foto Amber terpampang di sana. Wajahnya cantik meneduhkan dengan mata yang membuat Darren tidak nyaman. “Kau boleh keluar.” Edwin membungkuk lalu keluar dari ruangan majikannya. Edwin melirik sebentar ke arah meja Amber. Wanita itu sama sekali tidak tertarik dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Pikirannya sangat fokus dengan apa yang ada di atas mejanya. Edwin sama sekali tidak tahu apa yang membuat bosnya itu tertarik pada wanita itu. ‘Bukan urusanku,’ batinnya lalu kembali menuju mejanya. Hingga jam kerja berakhir, fokus Darren masih saja pada penghuni meja di samping lorong. Mata hitamnya menerawang, kosong. Sedetik kemudian menggelap. Tangannya mengepal erat, mengeluarkan otot-ototnya yang kuat. Pena yang dipegangnya patah secara tiba-tiba. Darren mendengkus. Lalu melemparnya ke arah tembok. Edwin terlonjak. Dia baru saja membuka pintu dan pena melayang tepat di sampingnya. Asisten Darren itu meringis melihat bolpoin seharga ponselnya hancur. Tiba-tiba saja tenggorokannya kering. Sepertinya dia salah memilih waktu untuk bertemu dengan bosnya. Darren meliriknya tajam lalu meraih sebuah pena yang lain seolah-olah pena yang disediakan di mejanya tidak berarti. “Sejak kapan kau tidak punya sopan santun, Edwin?” Edwin berdehem, mencoba membasahi tenggorokannya yang kering. “Maaf, Tuan. Saya sudah lima menit mengetuk pintu.” “Hmm.” Edwin menelan ludahnya sejenak. Setelah yakin Darren tidak keberatan dengan keberadaannya, dia pun berjalan mendekat. “Nyonya Diana baru saja menelepon. Beliau meminta Anda pulang.” “Bilang saja pekerjaanku belum beres.” “Nona Gisel sudah di mansion bersama Nyonya Diana” Takut-takut Edwin mengatakannya. Pria itu sudah hafal bagaimana reaksi majikannya saat membahas calon tunangannya itu. Dengkusan Darren semakin kuat. “Siapkan saja jetnya! Kita berangkat setelah aku menyelesaikan semua ini.” “Baik, Tuan.” Edwin membungkuk sebelum keluar dari ruangannya. Tepat pukul tujuh malam, Darren sudah berada di bandara Adi Sucipto. Edwin cekatan membukakan pintu untuknya. Kaki Darren yang panjang turun dan muncullah pria tampan itu. Sayangnya, ketampanannya tidak diiringi dengan senyuman. Dengan angkuh, dia merapikan jasnya. Matanya fokus menatap pesawat jet yang berada tepat di depannya. Ingin rasanya dia menolak pulang, tapi dia tahu tidak akan mudah mengusir Gisel dari mansionnya. Bak seorang raja, Darren melangkah tegap dan menaiki pesawat yang sudah siap terbang sesuai perintahnya. Setelah memastikan tuannya duduk dengan nyaman, Edwin segera menginstruksikan pilot untuk lepas landas. Darren hanya diam menatap gelapnya langit malam Jogjakarta. Matanya terasa dingin. Rahangnya mengetat hingga otot wajahnya menegang. Pikirannya penuh dengan rencana-rencana untuk wanita dengan mata paling indah yang hanya dia dan Tuhan yang tahu. -- “Ma, bagaimana tempat kerjamu? Apakah menyenangkan?” Ana bertanya dengan antusias. Dan matanya yang gelap selalu berbinar. Pipinya yang tembem tampak lucu saat dia mengunyah makan malamnya seperti ini, membuat Amber tidak kuasa untuk tidak mencubitnya. “Mmm, cukup menyenangkan,” jawab Amber dengan senyum penuh arti. Tidak mungkin dia mengatakan kalau bos tempatnya bekerja adalah papanya, ‘kan? “Jangan sampai mama capek!” ucap Alex sambil menyendok nasi ke dalam mulutnya. “Kalau aku sudah besar, aku akan bekerja untukmu, Ma. Aku tidak ingin melihatmu capek bekerja.” Wajahnya memang terlihat datar, tapi tidak dengan hatinya. Perhatian kecil Alex membuat Amber terharu. Jagoan kecilnya itu selalu mempunyai kehangatan di balik sikap cueknya. Refleks, sang mama mengecup pipinya. “Mama,” rengek Alex. “Aku sudah besar. Jangan suka mencium pipiku!” Alex cemberut mengusap pipinya. “Iya, mama minta maaf.” Amber memasang wajah penuh sesal padahal hatinya tertawa gemas melihat putranya. Amber masih setia melirik Alex. Sesekali, ekor matanya melirik Ana. Mata Ana memang sehitam milik Darren, tapi perangainya begitu ceria membuat siapa saja merasakan kehangatan dan ketulusan hatinya. Berbeda dengan Alex. Mata putranya memang seperti miliknya, tapi perangainya yang dingin selalu membuat Amber teringat pada Darren. Mengingat kenyataan itu, hati Amber teriris. Bisakah dia menyangkal kenyataan bahwa Alex dan Ana memang keturunan Darren Hutomo??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN