"Mbak Soraya, saya Kirana, bawahannya pak Dimas di kantor." Kirana mengulurkan tangan dengan maksud mengajak Soraya bersalaman.
Soraya membalas uluran tangan Kirana dan mengajaknya bersalaman. "Saya Soraya, kakaknya Dimas."
Mata Kirana berbinar setelah berkenalan dengan Soraya. "Wah enggak nyangka bisa kenalan dengan kakaknya pak Dimas. Kalau pak Dimas aja sehebat itu pasti Mbak Soraya juga sama." Kirana memuji Soraya.
"Ayo duduk, saya pesenin makanan dulu." Dimas meminta Kirana dan Soraya duduk.
Keduanya duduk berhadapan. Saling melempar senyum dan meninggalkan kesan masing-masing.
"Kalau lihat dari penampilannya pasti mbak Soraya sama pak Dimas ini orang kaya," batin Kirana memulai dua orang yang dia temui.
Dimas kembali ke meja duduk di sebelahnya Soraya. "Makan dulu aja, ya. Nanti baru ngobrol soal perceraian itu."
"Jadi, yang mau cerai ini sebenarnya Kirana apa temennya?" tanya Soraya untuk memastikan lagi.
"Temen saya, Mbak." Kirana berkata seolah yakin itu adalah temannya.
"Ok. Terus kenapa temennya enggak diajak?" tanya Soraya pada keduanya.
"Aku ngajak Kirana supaya dia nanti ngasih tahu temennya, yang penting kan kenalan dulu sama Mbak Soraya, nanti Kirana sama temennya bisa janjian sama Mbak tanpa aku, kan?" Dimas memberikan penjelasan yang masuk akal untuk Soraya.
"Ok deh. Kalau gitu kita makan dulu."
Pesanan makan siang mereka diantar oleh pelayan kafe. Setelah semua makanan tersaji di meja, mereka mulai menikmati makan siang sambil membicarakan topik yang ringan. Selesai makan baru mereka mulai obrolan yang lebih serius.
"Jadi, apa yang mau Kirana tanyakan lebih dulu?" tanya Soraya pada Kirana.
"Kalau mau ngajuin perceraian caranya gimana, Mbak?"
"Daftar ke pengadilan, bawa buku nikah, mengajukan surat gugatan perceraian."
"Hmm ... kalau misalnya buku nikahnya dipegang suaminya gimana, Mbak?"
"Minta aja baik-baik sama suaminya. Misalnya enggak dikasih, bisa mengurus permintaan duplikat buku nikah yang tadi dengan mengatakan kalau buku itu hilang, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi juga."
"Agak repot kayaknya ya, Mbak?"
"Enggak juga, semua bisa diatur yang penting dua-duanya setuju untuk bercerai. Diusahakan dulu aja untuk mendapat buku nikah itu dari suaminya."
"Oh iya." Kirana tampak berpikir Bagaimana caranya dia mendapat buku nikah dari Ryan untuk dia gunakan mengajukan proses perceraian dengan suaminya. "Kalau minta tolong Mbak Soraya bisa enggak ya? Supaya prosesnya bisa jadi lebih cepet gitu?"
"Bisa aja, nanti saya bantu. Kita janjian lagi lain waktu, sekalian bawa temennya ya."
"Tapi, bayarannya pasti mahal, ya?"
"Soal itu bisa diatur. Kita kan sama-sama perempuan, jadi harus saling empati dong."
"Bener juga sih, Mbak. Saya mau ke toilet dulu sebentar, ya."
Kirana bangkit dari kursinya menuju toilet sendirian. Soraya yang penasaran dengan sosok Kirana segera menanyakan pada adiknya.
"Kamu suka ya sama Kirana?" tembak Soraya langsung pada adiknya.
"Eh, enggak kok. Kenapa Mbak bisa bilang kayak gitu, enggak ada buktinya loh." Dimas mengelak dari tuduhan kakaknya.
"Kenapa kamu harus mikirin urusan temennya Kirana tapi kamu cuma ngajak dia aja ketemu sama Mbak, enggak sama temennya sekalian?"
"Mbak ini curiga aja deh. Aku tuh memang sengaja ngajak Kirana dulu buat kenalan sama Mbak. Yang penting kan kenalan dulu, masalah nanti Mbak janjian lagi sama temennya Kirana kan bisa ditemenin sama Kirana, enggak perlu sama aku lagi, kan?"
"Alah alasan aja kamu. Bilang aja kamu suka sama Kirana, enggak usah banyak alasan."
"Dih, enggak deh ya. Enak aja sembarangan nuduh. Lagian dia kan baru masuk jadi staf HRD, masa bisa langsung suka."
"Kan ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama, masa kamu lupa. Jangan-jangan kamu enggak sadar tuh udah jatuh cinta sama Kirana, hayo ngaku aja deh."
"No, Mbak. Aku enggak jatuh cinta pada pandangan pertama kok. Udah jangan bahas itu lagi, sekali aku bilang aku enggak ada perasaan apa-apa sama Kirana, artinya ya enggak."
"Semakin kamu mengelak, semakin keliatan kalau kamu suka banget sama Kirana."
Kirana kembali ke meja itu setelah dari toilet. Dia kembali duduk di kursinya. Soraya terlihat bersiap untuk pergi.
"Saya mau pamit dulu, ada urusan di tempat lain."
"Mbak, boleh minta nomor HP? Biar nanti saya langsung hubungi Mbak Soraya tanpa minta bantuan pak Dimas."
Soraya menganggukkan kepala. Dia mengambil kartu nama dari dalam tas dan memberikannya pada Kirana. "Ini nomor HP saya, hubungi aja kalau ada perlu. Pokoknya saya tunggu, ya."
"Oh iya, baik, Mbak, terima kasih untuk bantuannya."
"Sama-sama, saya permisi duluan, ya." Soraya lebih dulu meninggalkan kafe itu.
"Kirana, ayo saya antar pulang. Tadi kamu ke sini bareng saya, jadi pulangnya saya antar juga."
"Iya, Pak. Oh ya, Pak saya boleh minta nomor HP pak Ryan enggak? Saya belum simpan nomor pak Ryan."
"Buat apa?"
"Mau bilang makasih aja atas bantuan dia yang kemarin."
"Oh, boleh. Nanti saya kasih di mobil aja, ya. Ayo kita pulang sekarang."
***
Sore hari di kamar kos Kirana. Dia sedang jalan bolak-balik di kamarnya. Berpikir apa yang harus dia lakukan untuk meminta buku nikah dari pria itu. Lama sudah perempuan itu berpikir hingga dia memutuskan untuk membuat janji dengan Ryan dan melakukan apa pun agar malam ini dia bisa diajak ke rumah pria itu.
Kirana mengusap layar ponsel yang sudah dia pegang dari tadi. Dia sudah mendapat nomor ponsel Ryan dari Dimas tadi setelah pulang dari kafe. Dia hubungi nomor itu dengan perasaan gugup. Tak lama kemudian panggilan teleponnya tersambung dengan Ryan. Kirana mulai bicara duluan.
"Halo, Pak Ryan. Ini saya Kirana."
"Oh ini nomor kamu? Ada apa telepon saya di hari Sabtu begini. Sebentar lagi malam minggu loh. Kamu mau ngajak saya kencan?"
Kirana pikir semua terlihat mudah. Dia tinggal mengajak Ryan pergi dulu untuk malam ini. "Bapak kok tahu kalau saya mau ngajak keluar?"
"Tumben aja kamu telepon, dan agak aneh juga. Seorang Kirana yang keras kepala kok bisa dapet nomor HP saya terus berani sekali menelepon saya."
"Jadi, Bapak enggak mau nih pergi sama saya? Ya sudah saya tutup aja telepon ini."
"Eits, jangan gitu dong. Perempuan cepet amat kalau ngambek. Kamu mau ngajak saya jalan? Ayo, tapi saya yang tentukan tempat tujuannya. Saya jemput di kosan kamu, gimana?"
"Kalau ke rumah Bapak gimana?"
"Ke rumah? Kamu keliatannya enggak sabar untuk ... jangan langsung ke rumah. Kita jalan dulu, makan, nonton, apa aja deh baru ke rumah saya."
"Bentar, Bapak serius mau ngajak saya ke rumah?" Kirana senang karena rencananya untuk datang ke rumah Ryan hampir berhasil. Dia tinggal mengikuti semua keinginan Ryan sebelum diajak ke rumah pria itu.
"Kamu sendiri yang minta ke rumah saya, kan? Kamu kangen ya sama saya?"
Mendengar ucapan Ryan, rasanya Kirana ingin muntah. Tidak pernah sedetik pun dia merindukan pria itu dalam hidupnya.
"Hmm ... sepertinya begitu deh, Pak. Bapak janji ya, pokoknya malam ini pulangnya ke rumah Bapak."
"Ok, tapi kenapa kamu tiba-tiba pengen ke rumah saya? Rasanya agak aneh aja gitu, ini kayak bukan kamu deh, Kirana. Kamu kan benci banget ama saya. Kamu punya rencana apa sih?" Sepertinya pria itu menangkap gelagat aneh dari Kirana.