Bab 4. Telepon dari Manajer HRD

1061 Kata
Kirana menghela napas dengan kasar. Dia baru ingat, dulu ketika dia minta cerai pada Ryan pria itu mengabaikannya. Jadi, secara hukum keduanya belum bercerai secara resmi. "Ya sudah, aku akan mengajukan gugatan cerai," ucap Kirana dengan santai. Berurusan dengan pengadilan bukan sebuah masalah baginya, walaupun harus menyita waktu untuk bolak balik ke pengadilan. "Kamu enggak akan pernah bisa mengurus perceraian karena buku nikah itu masih aku simpan dengan baik." "Jangan coba-coba mengancam dengan bilang aku enggak bisa ngurus perceraian tanpa buku nikah. Aku pastikan anda mendapat surat dari pengadilan." Kirana tidak main-main dengan ucapannya. Dia akan melakukan apa pun untuk lepas dari ikatan pernikahan dengan pria yang ada di hadapannya. "Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Ryan meninggalkan Kirana dengan perasaan kesal. Dia berjalan cepat menuju ruangannya. Kirana menunggu sampai punggung Ryan menghilang dari pandangannya, baru kemudian dia berjalan menuju ruangannya. Kirana masuk ruangan staf HRD dengan wajah kesal. Moodnya langsung anjlok. Dia hempaskan bokongnya ke kursi lalu membuang napas dengan kasar. "Na, kenapa muka kusut begitu? Masih pagi loh. Emang kamu habis ketemu apaan?" tanya Rania dari tempat duduknya. Kirana masih teringat pertemuannya dengan Ryan pagi ini. Mengabaikan orang-orang di sekitarnya. "Heh, Kirana, kamu denger enggak sih pertanyaan aku?" Rania mengetuk kubikel Kirana. "Eh, ada apa, Mbak? Sorry tadi enggak denger Mbak tanya apaan?" Kirana merasa tidak enak karena mengabaikan Rania. "Pagi-pagi udah melamun. Ntar kesambet loh!" "Enggak mungkinlah Mbak. Mana ada setan keliaran pagi-pagi. Setan tuh keluarnya malem-malem tau." "Yah, ini bocah satu demen ngelawak emang ya." Suara ketukan pintu membuat Rania dan Kirana menoleh. Seorang OB masuk ke ruangan. "Yang namanya Mbak Kirana mana ya?" "Saya, Pak. Ada apa?" OB itu mendekati Kirana. Memberikan sebuah amplop pada Kirana. "Ini buat Mbak Kirana." Kirana menatap heran amplop itu. Dia belum menerimanya. "Dari siapa, Pak?" "Baca aja Mbak. Nama pengirimnya ada di dalam." "Ok deh. Makasih, ya." Kirana mengambil amplop dari OB kantor. Dia meletakkan amplop di meja sambil berpikir siapa yang mengirim surat itu. "Dari siapa, Na?" Rania sangat penasaran siapa pengiriman surat itu. "Bentar aku buka dulu." Kirana merobek pinggiran amplop itu perlahan. Ada sebuah kertas di dalamnya. Perempuan itu membacanya. Datang ke ruangan saya sekarang! Saya ada tugas untuk kamu. Dari Ryan Kirana mengerutkan dahi setelah membaca isi surat tersebut. Membuat Rania yang berdiri di seberang kubikel Kirana bingung. "Dari siapa?" Rania semakin penasaran. "Oh, dari resepsionis depan. Aku ke depan dulu ya, Mbak." Kirana pamit bergerak cepat membawa surat dari Ryan. Dia tidak memiliki keberanian mengatakan surat itu dari CEO kesayangan mereka. Pasti Kirana akan menjadi bulan-bulan teman satu pekerjaan yang lain. Kirana bergegas menuju ruangan Ryan. Tiba di depan ruangan CEO, Kirana bertanya pada sekretaris di sana. "Pak Ryan ada?" "Mbak ini siapa, ya?" tanya sekretaris Ryan. "Saya Kirana." "Silakan masuk, Mbak. Sudah ditunggu bapak di dalam." Kirana mengangguk. Berterima kasih pada sekretaris Ryan. Masuk ke ruangan setelah mendapat izin dari pria itu. Di dalam ruangan, Kirana berdiri dekat pintu masuk. Ryan bingung menatap Kirana yang hanya berdiri di sana. "Duduk!" perintah Ryan padanya. Kirana berjalan menuju kursi di ruangan Ryan. Dia duduk di sana tetapi dia malas menatap pria itu. Jadi, dia memandang ke arah lain. "Kamu kok diam aja? Enggak tanya tugas kamu apa? Kok enggak ngajak ribut kayak di bawah tadi?" Ryan tersenyum sinis pada Kirana. "Ok, biar urusan kita cepet selesai, katakan apa tugas saya, Pak?" Ryan bangkit dari kursi, berjalan mendekati Kirana. "Pertama kamu harus manggil saya dengan panggilan pak. Bisa?" "Bisa, Pak." "Kalau gitu ganti dengan panggilan mas!" "Maaf tidak bisa, Pak. Bapak atasan saya di kantor." "Hmm ... kalau gitu panggil sayang, bisa?" Kirana menatap tajam pada Ryan. Dia tidak mengerti tujuan Ryan memanggilnya. "Langsung ke tugas saya aja bisa enggak, Pak?" "Tugas kamu selanjutnya panggil saya sayang!" Kirana bergeming. "Kok enggak mau? Padahal itu tugas kamu." "Pak, saya kerja di sini sebagai staf HRD. Bukan yang lain," protes Kirana karena kesal. "Tapi saya atasan kamu. Apa pun perintah atasan kamu harus patuhi." "Maaf, Pak, aku tidak bisa karena tidak sesuai dengan job desk saya." Kirana menolak dengan tegas. "Ok kalau begitu. Tolong belikan saya kopi di kafe seberang kantor. Satu kopi americano dingin, satu lah cappuccino dengan whipcream dan sirup hazelnut dingin juga." Kirana berpikir sejenak. Disuruh membeli kopi, itu jelas-jelas bukan tugas dia. "Ok. Saya belikan sekarang. Ada lagi, Pak? Biar saya belikan sekalian?" "Itu aja. Tolong cepat, saya ada meeting sepuluh menit lagi." Kirana bergegas menuju kafe seberang kantor. Dia hanya punya waktu sepuluh menit saja. Tiba di kafe, Kirana menyebutkan pesanan sesuai keinginan Ryan. Dia menunggu selama lima menit karena tidak ada yang antre. Setelah mendapat kopi pesanannya. Kirana kembali ke ruangan Ryan. Sampai di ruangan Ryan, Kirana meletakkan kopi di meja pria itu. Ryan menatap Kirana dengan tatapan dingin. "Kamu terlambat 10 detik." "Yaaaaaah. Padahal saya sudah cepet-cepet ke sini biar enggak terlambat, Pak. Terus gimana dong?" Kirana mendadak lesu. "Kamu saya beri hukuman karena sudah membuat saya batal datang ke meeting." Mata Kirana membulat menatap Ryan. Hanya karena dia telat sepuluh menit, atasannya batal datang meeting dan malah menyalahkannya. "Hah? Dihukum? Aneh." "Kamu harus menemani saya menghabiskan kopi ini di ruangan ini." "Apa?" Kirana menatap tajam pada Ryan. "Orang ini gila apa, ya?" teriak Kirana dalam hati. "Pak, saya banyak kerjaan. Enggak mungkin dong saya nemenin Bapak minum kopi, terus kerjaan saya gimana?" "Mulai sekarang ruangan kamu pindah ke sini!" "Duh, makin gila aja ini orang, maunya apa sih?" tanya Kirana dalam hati. Seolah bisa mendengar suara hati Kirana, Ryan menjawab pertanyaan itu. "Saya mau kamu." Perempuan itu semakin bingung di ruangan Ryan. Dia mengacak-acak rambut di depan Ryan. Pria itu tertawa dalam hati. "Jangan aneh-aneh deh, Pak. Ya sudah saya nyerah. Saya temenin Bapak ngopi. Saya cukup duduk di sana terus nunggu kopi Bapak habis atau saya bantu Bapak ngabisin kopi ini?" Kirana menepuk bibirnya. Dia baru sadar jika dia telah salah bicara pada Ryan. "Kamu mau minum kopi segelas berdua dengan saya? Menarik. Jangan-jangan kamu mulai jatuh cinta sama saya?" Kirana mendelik. Entah kenapa Ryan semakin suka melihat Kirana kesal dan marah padanya. Ponsel Kirana berdering. Dia keluarkan ponsel dari saku. "Telepon dari siapa?" Ryan penasaran dengan siapa yang menelepon Kirana. "Dari pimpinan HRD." Seketika Kirana panik. Pasti manajer HRD mencarinya. "Berikan ponsel itu pada saya. Biar saya yang bilang sama manajer HRD kalau kamu lagi nemenin suami minum kopi di ruangannya." Ryan tersenyum penuh kemenangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN