Kirana menatap tajam pada Ryan, dia kekesalannya pada pria itu sudah sampai ubun-ubun dan dia tidak mau memberikan ponselnya pada pria itu. Kirana putuskan untuk menerima panggilan dari pimpinan HRD.
"Halo, Pak." Baru saja Kirana menerima panggilan telepon itu, Ryan merebut ponselnya.
"Pak Dimas? Saya Ryan, Kirana masih ada di ruangan saya. Ada perlu apa ya?" Ryan tidak peduli jika Kirana akan marah atau Dimas heran mengapa Kirana ada di ruangannya.
Kirana berusaha merebut ponselnya kembali, tetapi usahanya gagal, Ryan seperti belut licin yang selalu berhasil menghindari Kirana sehingga perempuan itu gagal merebut kembali ponselnya dari tangan Ryan. Kirana mendengus kesal.
"Sedang apa Kirana berada di ruangan Bapak kalau saya boleh tahu?"
"Kirana itu temen saya, jadi, saya mau mengucapkan selamat padanya karena telah diterima di perusahaan ini."
"Teman? Kenal di mana ya, Pak? Bapak sama Kirana aja usianya beda jauh."
Ryan sedang malas memikirkan jawaban dari pertanyaan Dimas, segera dia kembalikan ponsel itu pada Kirana. Kirana menerima ponselnya dengan perasaan khawatir, dia segera bicara dengan Dimas.
"Maaf ya, Pak, saya ada keperluan dengan Pak Ryan. Sebentar lagi saya kembali ke ruangan."
"Ok. Jangan ke ruangan, saya tunggu di ruangan saya."
"Baik, Pak. Saya segera ke sana." Kirana menutup panggilan telepon.
Selesai menelepon Kirana pamit pada Ryan. "Urusan kita sudah selesai kan, Pak? Kalau gitu saya kembali ke ruangan karena pekerjaan saya masih banyak."
"Tunggu! Urusan kita belum selesai, tapi bisa kita lanjutkan di lain waktu. Kopi ini kamu bawa saja." Ryan sudah mengambil kopi di meja dan memberikan pada Kirana.
Perempuan itu menatap heran pada Ryan. "Kopi buat saya?" Dia mengerutkan dahi. "Saya enggak ada pesan kopi kok, Pak." Kirana menolak pemberian dari Ryan.
"Ini memang buat kamu, masa iya tadi saya minta ditemenin kopi terus kamu enggak minum kopi juga."
Kirana mengambil kopi di tangan Ryan dengan kasar. "Terima kasih untuk kopinya, Pak, tapi tolong Bapak jangan bersikap begini pada saya. Lebih baik Bapak bersikap kasar karena itu jauh lebih baik. Saya permisi dulu."
Perempuan itu tidak mau bersikap ramah pada Ryan, meskipun dia adalah pimpinan di perusahaan itu. Kirana keluar dari ruangan kerja menu ruangan pimpinan HRD.
Sampai di depan ruangan kerja Dimas, Kirana mengetuk pintu. Dia baru berani masuk setelah mendapat izin dari Dimas. Perempuan itu membuka pintu dan melangkah masuk ruangan. Dia memberikan senyum pada pimpinannya.
"Ada perlu apa ya, Pak?" tanya Kirana sambil berdiri di dekat pintu masuk.
"Duduk dulu!" perintah Dimas pada Kirana.
Perempuan itu mendekat, duduk di kursi di hadapan Dimas. "Kamu kenal pak Ryan di mana?" Tampaknya Dimas penasaran dengan hal ini.
"Sudah lama sih, Pak, lima tahun lalu, sebelum saya kuliah, itu juga karena mama saya kenal dengan pak Ryan."
"Oh, begitu, ok. Gini, Kirana, minggu depan ada pelatihan di kantor untuk semua staf karena kamu baru gabung, kamu belum saya masukan sebagai panitia penyelenggara, tapi sebagai peserta. Kamu ikuti semua rangkaian acara dengan baik."
"Baik, Pak. Tempat pelatihannya di mana, Pak?"
"Di hotel di Puncak."
"Tapi, Bapak serius saya enggak perlu bantu panitia? Sebenarnya saya enggak enak cuma duduk diem aja sementara yang lain jadi panitia, apalagi saya staf baru, Pak." Raut wajah Kirana berubah cemas.
"Enggak masalah, supaya kamu bisa bekerja dengan baik dan paham dengan budaya perusahaan kamu sebaiknya memang ikut jadi peserta pelatihan. Ada pertanyaan?"
"Saya udah paham, Pak, cuma ya tadi aja ngerasa enggak enak."
"Sudah jangan dipikirkan. Kalau enggak ada pertanyaan lagi kamu boleh kembali ke ruangan."
"Baik Pak, saya kembali ke ruangan sekarang. Terima kasih untuk infonya."
***
Ryan masuk toilet untuk buang air. Dia masuk salah satu toilet yang kosong. Saat toilet sedang sepi, sehingga apabila ada suara dia pasti mendengar dengan jelas. Dan benar saja tiba-tiba dia mendengar suara seseorang yang baru masuk toilet. Orang itu sedang menelepon.
"Pokoknya malam ini kamu siapkan minuman sama obat yang biasanya."
"Iya, ada barang baru yang bagus ini. Sayang kalau enggak dicicip. Sebelum orang lain mendekati lebih baik aku duluan."
"Kamu urusan semuanya, makanan, minuman dan kamarnya sekalian."
"Jam tujuh aku usahakan sudah datang sama dia."
Ryan mendengar semua ucapan orang itu di telepon. Dia seperti mengenal suara itu. Namun, sesaat kemudian dia tidak mendengar suara orang itu lagi. Karena merasa penasaran Ryan terpikir untuk menuju ruangan CCTV untuk memastikan siapa orang yang baru saja masuk toilet. Dia bergerak cepat menuju ruangan itu.
Tiba di ruangan CCTV, Ryan meminta petugas di sana mengulang rekaman depan toilet beberapa menit yang lalu. Dia perhatikan layar saat dia terlihat masuk toilet dan beberapa menit kemudian Agus masuk toilet. Mengingat ucapan Agus di telepon, pria itu tiba-tiba teringat pada Kirana. "Jangan-jangan Kirana mau diapa-apain sama si Agus. Wah, gawat. Aku harus memberitahu Kirana."
***
Selesai makan siang di kantor, Ryan meminta bantuan OB lagi untuk memanggil Kirana. Tidak perlu menunggu lama perempuan itu datang lagi ke ruangan itu dengan wajah kesal.
"Ada apa lagi sih, Pak? Kerjaan saya masih banyak," protes Kirana pada atasannya. Dia memang tidak bisa menghindar jika dipanggil seperti itu. Yang dia dapat lakukan hanya menyelesaikan semua urusan dengan Ryan dalam waktu singkat.
"Agus ngajak kamu pulang bareng lagi?"
Pertanyaan Ryan membuat Kirana mengerutkan dahi. "Emang apa urusannya dengan Bapak kalau saya pulang sama pak Agus? Ada yang salah? Bapak mau melarang saya pulang bareng pak Agus?"
"Iya. Kok kamu tahu?"
"Atas dasar apa Bapak melarang saya pulang bareng pak Agus?"
"Karena saya khawatir sama kamu." Tidak sekedar ucapan, Ryan benar-benar khawatir pada Kirana. Namun, dia tidak bisa menceritakan apa yang dia dengar di toilet pada Kirana. "Pokoknya kalau dia ngajak kamu pulang bareng, jangan mau."
"Terserah saya dong, Pak. Kenapa saya harus menuruti perintah Bapak. Kalau enggak ada lagi hal penting yang mau Bapak bicarakan dengan saya, saya pamit ke ruangan." Kirana membungkuk sebentar lalu keluar dari ruangan Ryan.
Pria itu tidak bisa mencegah Kirana karena perempuan itu tidak akan mendengarkan apa pun ucapannya.
Di luar ruangan Ryan, Kirana berpapasan dengan Agus. Pria itu menyapa dengan senyum manis.
"Mbak dari ruangan pak Ryan?"
Kirana menganggukkan kepala. "Iya, Bapak mau ke ruangan pak Ryan?"
"Iya. Oh ya, ngomong-ngomong nanti pulangnya bareng saya aja, Mbak. Saya pengen ngajak Mbak makan malam di luar, pasti bisa, kan?"