Setelah menyelesaikan semua pekerjaan hari ini, Kirana keluar dari ruangan staf HRD. Perempuan itu berjalan sendiri, karena dia pulang terakhir. Datang terlambat dan harus makan siang dan pergi ke rumah sakit membuatnya harus membutuhkan waktu lebih lama dari yang lain untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Kirana sudah berada depan lift, saat pintu lift terbuka dia masuk. Hanya beberapa detik saja dia sudah tiba di lantai bawah. Perempuan itu keluar dari lift, tiba-tiba saja lengannya ditarik keras oleh seseorang. Hanya dalam waktu singkat dia sudah berada di tangga darurat.
"Lepasin tangan saya, Pak! Sakit tahu!" Kirana berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman erat pria itu. Lalu pria itu melepaskan cengkeramannya.
"Habis dari mana sama Dimas?"
"Kenapa Bapak tanya-tanya? Enggak suka? Atau jangan-jangan Bapak cemburu?"
Ryan menatap Kirana dengan tatapan tajam. "Jawab aja pertanyaan saya cepat!"
"Dari rumah sakit. Sudah puas dengan jawaban saya? Kalau gitu saya pergi dulu. Sudah malam." Kirana malas berurusan dengan Ryan.
Pria itu menahan lengan Kirana yang akan pergi dari sana. Ryan mengerutkan dahi. "Rumah sakit? Kenapa?"
"Semua itu gara-gara Bapak. Staf HRD sampai manajer HRD maksa saya ke rumah sakit. Bapak bilang sama pak Dimas saya keserempet mobil jadi semua maksa saya untuk periksa, apa ada luka dalam apa enggak. Saya udah menolak berkali-kali, tapi mereka enggak mau denger."
Tiba-tiba saja Ryan tertawa dengan keras. "Lalu kamu pergi ke rumah sakit dengan Dimas? Lucu sekali. Ya sudah, ikut saya ke mobil!"
"Mau ngapain, Pak? Ini sudah malam loh, Pak, saya harus pulang."
"Temeni saya makan malam."
"Itu bukan tugas saya sebagai staf HRD." Kirana menolak ajakan Ryan mentah-mentah.
Pria itu berdecak kesal. "Kemarin kamu mau makan malam sama Agus. Tadi kamu pergi ke rumah sakit sama Dimas. Kenapa saya ajak makan malam kamu tolak?"
"Karena saya tidak mau berurusan dengan Bapak." Kirana menjawab dengan tegas.
"Kalau tidak mau berurusan dengan saya, kenapa kamu masih kerja di sini? Kamu kan bisa bikin surat pengunduran diri, tapi kenapa enggak bikin?"
"Saya baru beberapa hari kerja di sini, kok harus mengundurkan diri? Lagian mana saya tahu kalau ini perusahaan Bapak. Kalau saya tahu dari awal, saya enggak akan melamar pekerjaan di sini. Sekarang sebisa mungkin saya enggak mau berurusan dengan Bapak. Permisi!"
Ryan berhasil menahan langkah Kirana. Dia mencengkram lagi lengan perempuan itu dengan erat. "Kamu ini keras kepala banget. Ikut saya ke mobil, jangan berteriak atau meminta lengan kamu dilepaskan atau kamu tidak akan pulang ke rumah malam ini!" Pria itu mengancam Kiran.
Kirana menurut dia mengikuti langkah Ryan menuju mobil karena pria itu terus menarik lengannya sampai mereka tiba di mobil. Saat itu kantor sudah sepi karena semua karyawan sudah pulang satu jam yang lalu. Hanya tersisa Kirana, Ryan dan satpam.
Tiba di mobil Ryan membukakan pintu mobil untuk Kirana dan memintanya masuk, baru kemudian Ryan masuk mobil. Dia kemudikan mobil menuju kafe yang letaknya tidak jauh dari kantor.
Sesampainya di kafe, Ryan mengajak Kirana turun dan masuk kafe bersamaan. Keduanya jalan bersebelahan. Ryan memilih meja yang letaknya di pojok. Pria itu memanggil pelayan kafe untuk memesan menu makan malam. Dia sengaja tidak meminta Kirana untuk memesan makanan karena dia ingin Kirana makan apa pun yang dia pesan. Setelah memesan makanan, pelayan kafe meminta untuk menunggu pesanan disiapkan.
Ryan beralih pada Kirana yang berwajah masam di hadapannya. Dia tidak mempermasalahkan itu. "Di rumah ada yang nunggu?"
"Kenapa baru tanya itu sekarang? Enggak dari beberapa hari yang lalu? Siapa tahu Bapak mengganggu istri orang lain."
Pria itu tertawa lagi. "Pertanyaan itu cuma basa basi saja. Saya tahu kamu belum menikah lagi karena memang enggak akan bisa. Kamu juga enggak punya pacar karena kamu mau diajak makan sama Agus."
"Siapa bilang saya enggak punya pacar?"
"Kalau kamu punya pacar, dia enggak akan ngizinin kamu makan berdua dengan Agus apa pun alasannya dan dia pasti akan menolong kamu lebih dulu kemarin malam."
Kirana menoleh ke kiri. Dia menutup wajahnya dengan tangan kanan. Ada rasa malu karena ketahuan sudah berbohong. Lalu dia berani kan diri menatap Ryan setelah mendapat ide. "Pacar saya di luar kota. Saya LDR sama dia."
"Siapa namanya? Ada di kota mana dan di mana alamatnya?"
"Rahasia. Bapak kepo amat."
"Jadi, bukan urusan saya? Boleh minta nomor teleponnya? Saya mau bilang sama dia kalau tadi malam pacarnya tidur dengan saya, apa dia masih mau sama kamu?"
Kirana menatap tajam pada Ryan. Menyesal dia mengikuti pria itu ke kafe, tetapi dia tidak ada pilihan lain. "Bapak mau bikin hubungan saya dengan pacar saya putus? Ya jelas saya enggak mau ngasih nomor telepon pacar saya ke Bapak."
Makanan pesanan mereka datang. Pelayan kafe membawakan steik daging sapi. Diletakkan di hadapan Ryan dan Kirana serta minumannya, Ryan memilih lemon squash untuk minumannya. Lalu pelayan kafe kembali ke tempatnya.
Ryan memotong-motong daging steik yang ada di hadapannya sambil mengajak Kirana bicara. "Pacar kamu orangnya gimana? Romantis enggak orangnya?"
"Kenapa Bapak tanya-tanya terus soal pacar saya? Saya enggak mau cerita, nanti Bapak naksir sama dia. Ngeri banget."
Ryan mendelik pada Kirana. "Kamu pikir saya apaan? Dia pernah enggak makan steik sama kamu terus dia potongin dagingnya buat kamu?"
Kirana menggelengkan kepala. Dia belum menyentuh piring yang ada di hadapannya.
Pria itu sudah selesai memotong daging lalu dia menukar piringnya dengan piring di depan Kirana. "Makan!"
Kirana dibuat bengong oleh pria di hadapannya. "Ada yang salah kayak dengan pak Ryan," ucap Kirana dalam hati sambil memperhatikan pria itu.
"Kenapa ngeliat saya serius banget? Awas nanti jatuh cinta loh. Bukannya itu hal yang romantis kalau ada seseorang yang motongin daging steik buat kita?" Ryan menyombongkan diri.
Kirana hampir muntah mendengar ucapan Ryan. "Bapak kenapa sih? Kesambet ya, Pak?" Kirana menatap heran pada Ryan. "Romantis kalau sama pacar saya kalau sama Bapak enggak ada perasaan apa-apa."
"Kamu yakin enggak ada perasaan apa-apa sama saya?" Ryan menatap Kirana lekat.
"Sampai kiamat pun saya Jamin enggak akan pernah ada perasaan apa-apa sama Bapak."
"Jangan ngomong gitu, nanti kamu malah jatuh cinta sama saya."
"Enggak mungkin karena sampai saat ini saya terus memikirkan cara untuk bercerai dengan Bapak. Bapak tunggu saja surat panggilan dari pengadilan."
"Kalau kamu memang mau cerai sama saya, enggak mungkin kamu mau diajak makan malam di kafe ini. Iya, kan?"
Kirana dibuat semakin kesal karena ucapan Ryan. "Pengen ngajak pak Ryan ke laut, terus aku lempar biar dimakan ikan paus!" kesal Kirana dalam hati.