Bab 9. Menuju Rumah Sakit

1071 Kata
Kirana bangkit dari kursi. Dia berjalan duluan keluar dari ruangan staf HRD. Dia tetap ingin menolak ajakan dari Dimas, tetapi tidak di hadapan staf HRD lain. Dimas mengikuti langkahnya. Keduanya terus berjalan sampai akhirnya tiba di depan lift. Barulah di sana Kirana mau bicara. Dia menarik pria itu menjauh dari lift. "Pak, saya enggak mau ke rumah sakit. Emang Bapak enggak ada kerjaan sampai harus nganter saya ke rumah sakit?" Kirana menolak tanpa alasan. "Eh, kenapa? Bukannya kata Rania pas dia tanya kamu udah melakukan pemeriksaan atau belum, kamu jawab belum. Kenapa jawaban kamu ke Rania, berbeda dengan jawaban kamu pada saya?" Dimas mengerutkan dahi karena perbedaan jawaban Kirana. "Soal kerjaan, sebenarnya kerjaan saya banyak, tapi karena kamu bawahan saya jadi saya juga harus memastikan kamu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja." "Mbak Rania minta saya buat CT scan dan lainnya, Pak. Saya enggak mau, saya enggak separah itu sampai harus CT scan." "Kamu tahu kalau saya atasan kamu, kan?" "Iya jelas dong, Pak. Emang kenapa?" "Kamu harus patuh sama perintah saya. Ikut saya ke parkiran dan jangan banyak tanya." Sikap tegas Dimas membuat Kirana tidak berani melawan. "I-iya, Pak." "Enggak pak Dimas enggak Ryan sama aja suka maksa." Pintu lift terbuka karena tidak ada antrian panjang depan lift, keduanya bisa masuk lift dengan cepat. Di dalam lift keduanya hanya diam. Tiba di lantai bawah, Dimas memimpin jalan, mengarahkan Kirana ke mana dia harus melangkah menuju parkiran. Tiba di depan mobil Dimas, pria itu meminta Kirana untuk masuk. Mobil melaju ke rumah sakit setelah keduanya duduk dalam mobil. "Kamu tadi pagi ketemu pak Ryan? Kok dia bisa tahu kamu keserempet mobil?" Dimas tadi belum sempat menanyakan ini pada Kirana. "Mampus deh, kenapa pak Dimas harus penasaran soal ini." "Oh itu, sebenarnya tadi pas saya keserempet pak Ryan dekat dengan lokasi kejadian, jadi saya dibawa ke rumah sakit sama pak Ryan tapi habis itu ditinggalin." Dimas belum merasa puas dengan jawaban yang diberikan Kirana, sehingga dia bertanya lagi. "Awalnya gimana kamu bisa keserempet mobil?" "Waduh, kok makin ditanya terus, ya? Mau jawab apa nih bingung sendiri, kan? Semua ini gara-gara Ryan kurang ajar itu!" Kirana mulai mengarang cerita. "Tadi pagi pas saya udah deket kantor, motor saya diserempet orang, Pak. Di depan sana agak jauhan dikit, terus saya jatuh. Ternyata mobil pak Ryan berhenti di depan saya, jadi saya langsung dibawa ke rumah sakit." "Terus motor kamu sekarang di mana?" "Di bengkel, Pak." "Oooo." Ryan manggut-manggut. Tiba-tiba terdengar suara perut Kirana yang berbunyi. Perempuan itu memegang perutnya, lalu memaksa tersenyum pada Ryan. Dia baru ingat dari bangun tidur dia belum makan hingga saat itu. Mendengar suara perut Kirana, Dimas mengganti arah tujuan mereka dari menuju rumah sakit berganti menuju restoran. "Kayaknya ada tempat tujuan yang lebih penting sebelum ke rumah sakit." Kirana belum paham dengan ucapan Dimas. Dia baru mengerti setelah Dimas membelokkan mobil menuju sebuah restoran makanan jepang karena itu adalah restoran yang terdekat. Setelah mobil parkir di tempatnya, Dimas mengajak Kirana turun. "Ayo turun, kamu lebih butuh makan daripada ke rumah sakit untuk saat ini." Kirana menuruti ucapan Dimas. Dia pun turun dari mobil. Mengikuti langkah Dimas yang lebih dulu masuk restoran itu. Pria itu langsung menuju kasir untuk memesan makanan. "Kamu mau makan apa?" "Terserah Bapak aja. Saya bingung mau makan apa." "Ok, sama minumnya sekalian, ya?" "Boleh deh, Pak." Dimas memesan dua makanan dan dua minuman untuknya dan Kirana. Lalu pria itu membayar peranannya. Tak lama kemudian kasir memberikan nampan yang sudah ada makanan dan minuman di sana. Dimas membawa nampan itu dan mengajak Kirana duduk di salah satu meja. Keduanya duduk di sana. Pria itu memberikan makanan dan minuman untuk Kirana. "Pernah makan di sini?" tanya Dimas saat Kirana sedang menikmati makanannya. Kirana menggelengkan kepala. "Belum pernah, Pak. Saya biasanya makan di warteg aja. Menyesuaikan budget." Kirana tersenyum. "Oooh." Dimas menganggukkan kepala karena paham dengan ucapan Kirana. "Makasih untuk traktirannya ya, Pak. Jadi, saya bisa ngirit uang makan untuk hari ini." Dimas tertawa mendengar ucapan Kirana. "Kamu ternyata lucu juga, ya." Pria itu terus tertawa hingga hampir tersedak. Kirana mengambil minum untuk Dimas dari meja lalu memberikan pada pria itu. "Terima kasih." Kemudian Dimas minum hingga air berkurang setengah gelas. Tiba-tiba Kirana terpikir untuk menanyakan sesuatu pada Dimas. "Bapak udah nikah?" "Belum. Memangnya kenapa?" Dimas pikir Kirana akan bilang dia bahwa pria itu tampan, tetapi belum menikah dan Kirana ingin tahu alasannya. Namun kenyataannya lain. "Bapak tahu enggak cara ngajuin proses perceraian?" Pria itu terkejut dan berhenti makan. "Hah? Cerai? Siapa yang mau cerai?" "Emm ... itu ... anu, temen kos saya ada yang mau cerai, dia tanya ke saya, tapi saya enggak tahu jadi, saya tanya ke Bapak." "Kenapa kamu malah tanya ke saya?" Pria itu merasa heran pada Kirana. "Cuma tiba-tiba kepikiran aja, siapa tahu kan Bapak tahu." "Gini ya, Kirana, saya ini belum pernah belajar hukum, enggak yang proses perceraian itu gimana, lagi pula saya belum nikah kok, tapi saya punya kenalan pengacara, saya bisa kenalin kamu sama dia, nanti kamu bisa tanya detailnya gimana sama dia, mau?" Mata Kirana berbinar mendengar ucapan Dimas. Dia menjadi semangat untuk segera berkenalan dengan pengacara itu. "Mau, Pak. Wah temen saya pasti seneng banget tuh. Makasih sekali lagi ya, Pak udah mau bantuin." "Sama-sama." Keduanya sudah selesai makan. Kemudian mereka keluar dari restoran untuk menuju rumah sakit. *** Tiba di rumah sakit, Dimas mendaftarkan beberapa pemeriksaan untuk Kirana. Namun, saat tahu biaya pemeriksaan itu mahal, dia pun berusaha untuk menolaknya. Dia tidak ada uang sebanyak itu dan tidak mau Dimas membayar semuanya. "Enggak usah deh, Pak. Saya baik-baik aja kok." "Luka dalam itu enggak keliatan, harus diperiksa begini. Kenapa? Kamu enggak punya uang? Ya sudah biar saya yang bayar." "Nah itu dia yang bikin saya enggak enak. Gini aja deh, hari ini saya enggak usah diperiksa, tapi misalnya besok terjadi sesuatu yang parah dengan saya, saya mau dibawa ke rumah sakit." Kirana terus berusaha meyakinkan Dimas jika dia baik-baik saja. "Kamu yakin?" "Yakin seratus persen." "Hmm ... tapi kalau jadi penyakit biar saya yang bawa kamu ke rumah sakit, ok?" Kirana menganggukkan kepala. "Iya. Saya enggak akan nolak." "Ya sudah kita balik ke kantor." Keduanya keluar dari rumah sakit menuju kantor dengan mobil Dimas. Tiba di kantor, Kirana melihat Ryan berjalan menuju lift. Pria itu ada di hadapannya. Melihat sosok Ryan, Kirana meyakinkan dirinya untuk melakukan segala cara agar bisa bercerai dengan pria itu karena dia merasa sangat malas untuk berurusan dengan pria itu lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN