"Hah? Dipecat? Saya salah apa ya, Pak?"
"Kamu tuh emang enggak tahu, enggak sadar apa pura-pura enggak tahu sih?" Ryan masih menahan diri untuk tidak terbawa emosi.
"Saya beneran enggak tahu salah saya apa, Pak."
"Kamu masih aja enggak merasa melakukan kesalahan ya?"
"Iya." Agus berkata dengan tegas.
"Tadi malam, apa yang sudah kamu lakukan pada Kirana? Minuman apa yang kamu kasih untuk dia? Obat yang kamu masukkan dalam minuman itu?" Nada bicara Ryan mulai meninggi.
"Bapak tahu enggak sih? Tadi malam Bapak sudah mengganggu makan malam saya dengan Kirana. Masa Bapak tiba-tiba mukul saya sampai saya enggak berani kerja karena muka saya bengkak semua. Itu semua gara-gara Bapak."
"Hah? Kenapa jadi salah saya?" Ryan merasa heran karena dia tiba-tiba menjadi tertuduh.
"Bapak tuh yang tiba-tiba nyerang saya. Emang saya jelek-jelekin Bapak? Kan enggak. Saya bisa laporin Bapak ke polisi dengan rekaman CCTV tadi malam. Bapak enggak takut?"
Ryan sadar yang dikatakan Agus itu benar. Memang dia yang duluan menyerang dan itu juga bisa dijadikan senjata Agus untuk menyerang dia. Sementara Ryan tidak memiliki bukti apa pun yang bisa membuktikan Kirana diberi minuman yang mengandung alkohol dan obat perangsang. Tidak mungkin dia merekam bagaimana perilaku Kirana saat obat perangsang itu bereaksi. Polisi tidak akan percaya. Dia sedang berhadapan dengan orang yang tidak mudah dikalahkan.
"Saya tidak takut. Silakan laporkan ke polisi dan saya bisa pastikan saya tidak akan dinyatakan bersalah." Ryan tidak gentar hanya karena ancaman Agus.
"Ya sudah Bapak tunggu saja surat panggilan dari kantor polisi beberapa hari ke depan."
"Saya aku tunggu dan saya sangat mengharapkannya. Tapi saya juga mau memperingatkan kamu, kalau saya punya bukti kuat kalau anda mencampur minuman Kirana dengan alkohol dan obat perangsang."
"Saya kok enggak yakin Bapak punya semua bukti itu."
"Kamu enggak akan tahu sampai kamu telepon pemilik restoran itu. Kamu tanyakan saja pada dia." Ryan hanya menggertak Agus. Sampai saat itu dia belum menghubungi pemilik restoran.
"Tapi tadi malam Bapak sangat beruntung bisa menikmati tubuh indahnya Kirana. Pasti dia bisa memuaskan Bapak di ranjang. Atau jangan-jangan tadi malam Bapak enggak tidur dengan Kirana? Aduh, sayang sekali saya melewatkan kesempatan itu. Semua gara-gara Bapak!" Terdengar nada bicara kesal dari ucapan Agus.
"Saya tidak akan pernah membiarkan pria lain menjadikan Kirana sebagai fantasi seks mereka atau ingin menikmati keindahan tubuhnya karena Kirana adalah milik saya!" Ryan mulai marah pada Agus. Dia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
"Bapak jangan egois gitu dong. Masa Bapak memonopoli Kirana untuk Bapak sendiri. Bagi-bagi juga dong sama yang lain."
"Kamu makin kurang ajar sama saya, ya? Dengan baik-baik ya. Buat surat pengunduran diri sekarang juga atau saya pecat kamu secara tidak hormat!" Ryan dengan cepat mengakhiri panggilan telepon karena sudah tidak bisa menahan emosinya lagi menghadapi Agus. Dia berusaha menenangkan diri agar moodnya tidak rusak untuk hari itu karena pekerjaan dia sudah menumpuk.
Sementara itu di kantor yang sama di ruangan staf HRD Kirana duduk di kursinya, tetapi harus menjawab pertanyaan staf HRD yang penasaran dengan kondisinya.
"Na, kamu beneran enggak apa-apa? Kamu yakin baik-baik aja dateng ke kantor setelah kena serempet? Enggak bahaya kah? Apa enggak mestinya kamu diperiksa dulu yang detail siapa tahu ada luka dalam itu lebih bahaya Kirana." Rania sangat khawatir pada kondisi Kirana.
"Enggak apa-apa kok, Mbak. Aku baik-baik aja kok. Enggak perlu diperiksa dengan detail dan enggak ada luka dalam. Mbak tenang aja ya."
"Kirana kamu kok susah banget sih dikasih tahu, mbok ya dengerin kami-kami ini loh. Kami semua khawatir sama keadaan kamu. Lukanya memang enggak keliatan dari luar tapi kan bagian dalam kita enggak tahu." Silvi menambahkan ucapan Rania.
Kirana tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia harus bisa memberikan alasan yang tepat agar tidak membuat staf lain khawatir. "Bukan aku enggak mau dikasih tahu atau aku enggak dengerin ucapan Mbak-mbak semua tapi yakin deh aku tuh baik-baik aja dan enggak ada yang perlu dikhawatirkan, Mbak."
"Duh, Kirana ini susah banget sih diomongin. Jangan-jangan kamu enggak punya uang, ya? Coba jawab pertanyaan saya dengan jujur, kamu enggak ada uang buat pemeriksaan yang lebih detail lagi? Iya?"
Kirana terpaksa menganggukkan kepala. Saat ini dia memang tidak memiliki banyak uang, karena uang yang waktu itu diberikan Ryan hanya tersisa sedikit. Saat kuliah dia memakai uang itu membayar kuliah, biaya hidup sehari-hari, biaya kos yang memang banyak menguras uang pemberian Ryan. Sementara dia tidak mencari pekerjaan sampingan agar dia cepat lulus kuliah. Ditambah setelah kuliah dia juga belum langsung mendapat pekerjaan yang bagus seperti sekarang di Adhitama Company.
"Kenapa enggak bilang kalau enggak ada uang? Aku bisa kok bilang ke pak Dimas buat bayarin biaya pemeriksaan CT scan atau rontgen kamu."
Mata Kirana membulat mendengar ucapan Rania. Dia tidak menyangka staf HRD berani meminta itu pada atasan mereka sendiri dengan santainya. Dia tidak yakin Dimas akan membantunya jika dia memang benar-benar diserempet mobil. "Jangan, Mbak. Jangan merepotkan pak Dimas. Aku enggak beranilah minta tolong sama manajer HRD, dia kan atasan kita. Masa iya staf merepotkan atasan. Enggak betul itu namanya."
"Loh, kenapa? Pak Dimas itu baik, bahkan dia selalu perhatian sama semua staf HRD. Kalau sakit pasti diajak ke dokter dulu baru disuruh pulang. Kamu pasti bakalan dia bantu asal mau ngomong aja."
Kirana menolak saran dari temannya. "Enggak ah Mbak. Aku takut nanti dimarahi pak Dimas. Udah ya jangan maksa aku buat cek ke rumah sakit lagi, aku baik-baik aja, ok?"
"Ya sudah biar aku aja yang bilang sama pak Dimas." Rania bangkit dari kursi lalu berlari keluar ruangan menuju ruangan manajer HRD.
Kirana tidak sempat mencegah Rania menemui Dimas. Kini dia sedang berpikir bagaimana cara menolak Dimas supaya tidak ketahuan jika dia sedang berbohong. Semua karena Ryan. Pria itu yang lebih dulu mengatakan pada Dimas jika Kirana diserempet mobil dan harus diperiksa di rumah sakit.
Semakin bertambahnya waktu, Kirana merasa semakin cemas Dimas akan datang ke ruangan itu. Dia masih belum menemukan alasan untuk menolak. Kirana terus berpikir sambil duduk di kursinya. Sampai pintu ruangan staf HRD terbuka dan Dimas masuk ruangan. Pria itu mendekati kubikel Kirana.
"Tadi kamu bilang ke saya sudah baikan dan sudah diperiksa dokter, tapi kenapa Rania bilang kamu harus diperiksa lebih detail untuk mengetahui apa ada luka dalam. Ayo ikut saya ke rumah sakit sekarang!"