Bab 13 | Pesan dan Kabar

1496 Kata
“Mas ….” Sera menatap suaminya dengan tatapan bingung, masnya itu terlihat melamun sambil menatap pada ponsel. “Iya, Dek?” Raut wajahnya langsung berubah, dan Renjana langsung balas menggenggam tangan Sera. “Kenapa? Mas, kok, melamun?” “Oh, tidak apa-apa. Mas mau bertemu supplier baru sebenarnya, Dek, di bawah. Kamu tunggu Mas lagi di sini tidak apa-apa? Atau kamu mau lihat-lihat dan pesan di bawah juga tidak apa-apa. Takutnya bosan di sini.” Sera langsung menggeleng dan tersenyum manis. “Jadi benar, ya, hari ini aku menemani Mas bekerja?” Renjana tersenyum lebar dan mengangguk sambil menepuk ubun-ubun Sera. “Mau makan siang apa, Dek? Kita makan di food hall saja, ya?” “Boleh. Mas meeting dulu saja. Aku tunggu di sini saja. Eum .. Boleh aku pinjam laptop atau komputer Mas?” “Boleh. Sebentar Mas ambilkan laptopnya.” Sera langsung mengulum bibirnya, kenapa pria itu tidak mempertanyakan untuk apa Sera meminjam laptop? Dan begitu masnya keluar dari ruangan, jemari Sera begitu lincah menari di keyboard untuk mencari setiap artikel berita tentang suaminya itu. Bukan hanya sekedar apa yang dia dengar dari Mas Renjana, namun Sera butuh tahu lebih banyak tentang pria itu dan apa saja yang sudah diberitakan di media tentang sosok suaminya yang begitu mengagumkan dengan segudang kesuksesannya di usia yang cukup muda untuk sekelas pengusaha yang merintis dari nol. Sera refleks menutup mulutnya begitu mulai membaca setiap artikel yang ditulis dari bertahun-tahun lalu. Dengan nama REN Autoworks, empat bengkel yang dikelolanya kini dikenal sebagai bengkel spesialis mobil mewah dengan standar layanan tinggi, dari servis berkala, perbaikan detail, hingga detailing dan modifikasi ringan. Tiap outlet bisa melayani rata-rata 120 mobil per bulan, dengan estimasi omzet per outlet mencapai milyaran. Total laba bersih dari keempat bengkel diperkirakan menyentuh angka miliaran rupiah per bulan. Sera kemudian menggulir ke artikel yang lain. Bukan hanya di dunia otomotif, Renjana juga menunjukkan keahliannya dalam industri F&B. Brand kopi miliknya, Kedai Kopi Enja, telah membuka dua puluh dua cabang di Jakarta, dengan total hampir 100 gerai di seluruh Pulau Jawa. Kedai ini dikenal karena fokus pada kualitas biji kopi nusantara, ambience hangat yang tenang, serta menu best seller-nya Kopi Enja dan Kopi Langit Senja, juga menu-menu lain yang memiliki rasa otentik. Semakin banyak artikel yang Sera baca, yang dia temukan justru rasa bangga di dalam d**a akan sosok suaminya yang ternyata begitu luar biasa. Di usia tiga puluh dua tahun, Renjana adalah nama yang mulai akrab di kalangan pebisnis muda Jakarta, bukan karena sensasi, tapi karena konsistensi. Bermula dari kecintaannya pada mesin dan aroma tanah basah biji kopi, kini namanya berdiri kokoh di dua dunia yang tampaknya berseberangan. Otomotif dan kopi, dua dunia yang sama-sama membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan hasrat yang tak pernah padam. Baginya, bisnis adalah seni menjaga kualitas dan kepercayaan. Dia bukanlah sosok yang sering tampil di seminar atau halaman depan majalah bisnis. Tapi pelanggan, mitra, dan kompetitornya tahu ada integritas di balik setiap langkah Renjana. Entah kenapa mata Sera berkaca-kaca karena rasa haru membaca artikel demi artikel yang menceritakan perjalanan karir masnya di dunia bisnis. Lalu, tangannya kembali menari di keyboard, mencari tahu tentang keluarga Amerta. Kening Sera mengernyit dalam, tidak ada satu pun hal yang berkaitan antara nama belakang yang disandang masnya dengan nama keluarga Amerta yang dia kenal sebagai keluarga Galih. Seolah nama Amerta yang melekat sebagai nama akhir masnya hanyalah sebuah kebetulan dan tidak memiliki sangkut pautnya dengan keluarga Amerta yang juga merupakan pengusaha kondang di negeri ini. Bahkan berita tentang istri sebelumnya dari Nadhif Amerta yang merupakan Ayah Mas Galih juga bersih. Semua artikel yang Sera cari tentang keluarga Amerta hanya mengisahkan keluarga cemara Mas Galih, dengan Ayah dan Ibu, juga adik perempuannya. Sera menggigit bibirnya, dan semakin merasa ada yang janggal, mungkinkah Mas Renjana putra yang dibuang setelah ibunya wafat dan ayahnya menikah lagi? Memikirkan kemungkinan itu Sera langsung berkaca-kaca, namun tangannya cekatan menghapus semua history pencariannya, takut Mas Renjana mengeceknya nanti dan membuat pria itu tersinggung atau bahkan sampai terluka. Apa pun hubungan keluarga masnya di belakang layar, untuk saat ini Sera tidak bisa mencecar, mereka butuh lebih dekat satu sama lain untuk akhirnya mau saling terbuka, dan dalam proses itu Sera tidak ingin memaksakan kehendak. Sera lalu menutup laptop itu dan kembali mengembalikannya ke meja kerja masnya, memilih kembali menelusuri setiap ruangan kerja suaminya dengan tatapan yang penuh penilaian. Pintu yang diketuk dari luar seiring dengan suara lembut masnya yang memanggil membuat Sera langsung bergegas untuk membuka pintu. “Dek …” “Sudah selesai, Mas?” “Sudah. Mau makan siang sekarang? Mau makan apa, Dek?” “Sushi mau, Mas? Atau Mas ingin yang lain?” “Sushi boleh. Yuk. Restoran sushi sepertinya ada di lantai tiga.” “Iya, biasanya aku ke sana dengan teman kantor.” Renjana mengangguk lalu menggenggam tangan Sera menuju ke restoran. “Mas belum cerita tentang syukuran yang Mas lakukan ke para karyawan.” Sera memulai obrolannya saat mereka akhirnya mendapatkan tempat duduk dan menunggu makanan datang. Karena ini jam makan siang, dan hampir seluruh karyawan akan lari ke food plaza yang memang persis ada di kompleks gedung perkantoran, sehingga kondisinya sekarang cukup ramai. Renjana menyesap ocha-nya sebelum menjawab. “Iya, Mas lakukan hari minggu kemarin. Bentuk syukuran dan pengumuman juga karena Mas tidak bisa mengundang mereka. Pernikahan, kan, harus disyiarkan, Dek. Jadi, hari minggu kemarin, Mas meminta asisten Mas dan beberapa karyawan kepercayaan untuk mengadakan prasmanan makan siang di tiap bengkel juga kedai.” Sera berpangku tangan dengan hati yang kembali membuncah haru atas apa yang dilakukan oleh suaminya itu. “Kok, Mas kepikiran melakukan itu?” “Iya, untuk meminimalisir rumor, Dek. Mas juga sudah meminta maaf tidak bisa mengundang mereka semua karena satu dan lain hal, dan baru mengabarkan setelah menikah. Mereka akhirnya paham dan maklum.” “Terima kasih, ya, Mas.” Renjana menaikkan alisnya. “Untuk apa?” “Masih memikirkan aku dan melakukan sesuatu untuk meminimalisir rumor dari pernikahan dadakan kita. Aku … tersentuh.” Renjana terkekeh kecil dan menepuk punggung tangan Sera. “Ya jelas Mas memikirkan kamu, kamu istri Mas, Dek.” Sera langsung memalingkan wajahnya saat merasa pipinya memanas, berusaha menahan ekspresinya untuk tenang meski jantungnya kembali berdetak brutal. “Weekend ini ada agenda, Dek?” “Tidak, Mas. Kenapa?” “Mau ke Bandung bertemu keluarga Paman Mas, Dek? Mas selama ini dibesarkan oleh mereka, dan mereka sudah seperti orang tua Mas.” Sera langsung mengangguk tanpa berpikir. “Tentu saja aku mau, Mas. Mereka sudah tau kalau Mas menikah denganku? Bagaimana tanggapan mereka? Apa mereka merestui, Mas? Aku lancang sekali, ya, bahkan belum menelpon sejak selesai akad? Aku harus membawa apa, Mas?” Renjana langsung meraih tangan sang istri dan merematnya. “Aman, Dek. Mas sudah menjelaskan secara singkat dan mereka menerima. Mereka selalu merestui langkah yang Mas ambil selagi itu tidak melanggar hukum dan agama. Mas sudah menceritakan sedikit tentang kamu, dan mereka ingin bertemu saat kita memiliki waktu. Kamu tenang saja, mereka baik.” Sera menggigit bibir bawahnya, tetap saja dia merasa gugup. Ini seperti pertemuan dengan mertua, kan? Keluarga suaminya. Yang memiliki peran paling penting hingga membentuk sosok Mas Renjana menjadi sosok yang luar biasa seperti sekarang. “Mereka sukanya apa, Mas? Aku bawakan apa, ya, Mas? Baiknya aku buat sendiri, ya? Brownies free gluten mungkin? Yang sehat-sehat?” “Boleh, Bibi dan Paman suka semua makanan, tidak pemilih. Kalau kamu mau membuatkan sesuatu silahkan, tapi yang gampang saja, dan tidak membuat kamu terbebani.” Sera mengangguk lagi, dan bertepatan dengan itu makanan mereka datang. “Jika dipikir-pikir … Kita senasib, ya, Mas. Sama-sama dibesarkan oleh saudara orang tua kandung kita. Yang Masya Allah-nya mereka benar-benar sempurna memenuhi peran sebagai orang tua. Ayah dan Ibu dari kecil sangat menjaga dan mencintaiku, bahkan saat Naira lahir, kasih sayangnya tetap sama besarnya, Ibu selalu mengutamakan kami dan tidak pernah membeda-bedakan. Seumur hidup aku dan Naira bertumbuh bersama, tidak pernah sedikit pun kami memiliki rasa iri dalam hal apa pun.” Renjana yang mendengar itu mengangguk dan menatap lembut sang istri. “Iya, itu juga yang Mas rasakan. Paman Azzam itu adik dari Mama Mas, Dek. Mas juga memiliki adik sepupu, sepertinya seumuran dengan Naira. Baru saja sidang skripsi kemarin. Namanya Aida. Kami benar-benar dekat seperti saudara kandung, sama seperti yang kamu rasakan pada Naira." Sera langsung berbinar mendengar itu, mungkin dia akan memiliki adik ipar yang sama menyenangkannya seperti Naira, dan suatu saat mereka bisa hang out bertiga. “Mas aku ke toilet dulu, ya,” ucap Sera begitu menghabiskan satu plate sushi. “Iya.” “Setelah ini kita ke mana, Mas?” “Kamu maunya ke mana? Ada yang ingin dibeli, Dek? Mas temani.” “Mungkin groceries saja, ya, Mas? Aku ingin mencari beberapa bahan untuk membuat brownies-nya.” Renjana lalu mengangguk, dan membiarkan istrinya pergi ke toilet, bertepatan dengan itu, sebuah pesan kembali masuk ke nomornya, yang membuat Renjana langsung menahan napas. -Mas Ren … Aku pulang ke Indonesia bulan depan. Tolong aku, Mas. Tolong bebaskan aku dari suamiku.-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN