Bab 3 | 'Serangan' Memabukkan

1890 Kata
Akad itu tertunda sekitar tiga puluh menit lamanya, grasak-grusuk tamu undangan mulai terdengar mempertanyakan apa yang terjadi, beruntung keluarganya berhasil menenangkan mereka. Juna sudah duduk di meja akad sebagai saksi, tatapannya tegas namun penuh wibawa. Perasaan Juna menjadi sangat emosional melihat Renjana yang datang bersama dua orang pria yang mengiringinya. Putrinya, yang dia besarkan dengan penuh cinta dan luapan bahagia akhirnya bertemu dengan hari ini, hari di mana telah usai masanya bagi Juna dan istrinya menjadi wali untuk Anasera. Sebentar lagi, tanggung jawab dan posisi wali itu akan berpindah, pada pria yang tiba-tiba hadir dan bersedia menikahi sang putri yang putus asa. Tatapan Juna bertemu dengan papanya, yang akan menjadi wali nikah Sera, karena secara garis keturunan, Sera sesungguhnya adalah keponakan Juna, yang dibesarkan karena orang tua kandung Sera sudah meninggal. Maka, secara hukum islam, wali nikah Sera yang sah setelah Ayah kandungnya meninggal adalah kakeknya. Di hadapan penghulu, sang mempelai pria duduk dengan wajah tegang tapi mantap. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bukan karena panas, tapi karena beban tanggung jawab yang akan ia emban setelah ini. Tatapannya bersirobok dengan pria yang akan menjadi ayah mertuanya, lalu kepada pria tua yang masih terlihat begitu gagah meski keriput menghiasi wajahnya. Dia mengangguk dengan senyum tipis lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Opa Garvi yang akan mengucap ijab. “Saya nikahkan engkau Renjana Harsa Amerta bin Nadhif Amerta, dengan cucu saya Anasera Kalea Wiratama binti Ghani Radyta Wirata, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Anasera Kalea Wiratama binti Ghani Radyta Wiratama dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dalam satu tarikan napas, ijab itu diucapkan seiring dengan hatinya yang bergemuruh karena menerima amanah baru sebagai seorang suami. Tapi kenapa nama yang diucap bukan sosok yang mengaku sebagai Ayah Sera? Renjana hanya bisa menyimpan tanya itu dalam hati. “Bagaimana saksi?” “Sah?” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah.” Semua orang mengucap syukur dengan senyum penuh kelegaan. Sementara itu, d**a Sera langsung bergemuruh begitu mendengar ijab telah diikrarkan. Perasaannya campur aduk dan sulit dijabarkan saat dia mendengar suara lantang namun tenang milik opanya yang disambut dengan suara penuh ketegasan dan kemantapan milik pria yang kini resmi menjadi suaminya. Ibunya langsung merengkuh Sera dan mengucapkan selamat juga doa untuk putri sulungnya itu. Pun dengan adiknya yang langsung mengahambur memeluk kakaknya juga ibunya. “Sudah, yuk. Kakak harus keluar.” Ucap ibunya menyudahi sesi pelukan mereka. Renjana tersenyum tipis melihat wanita yang telah sah menjadi istrinya itu tampak lebih cantik dengan raut wajah yang fresh tanpa jejak air mata. Sera sudah dibantu duduk di sampingnya, lalu wanita itu memiringkan duduknya dan langsung mengulurkan tangan pada Renjana. Renjana menyambutnya, dan hatinya berdesir saat bibir Anasera mengecup punggung tangannya, dia sampai menahan napas, lalu tangannya terulur untuk menyentuh ubun-ubun Sera dan mencondongkan kepalanya, membisik lirih melafalkan doa untuk sang istri. Dada Sera juga berdesir saat Mas Renjana melafadzkan doa itu, dia refleks menutup mata, desiran di hatinya terasa hangat dan menyejukkan. Doa pertama dari pria yang telah sah menjadi suaminya. Mendoakan kebaikan untuknya juga pernikahan mereka. Sera tau arti doa itu, makanya kini air matanya kembali jatuh, namun bukan karena kesedihan, melainkan rasa haru dan syukur. Kenapa pernikahan yang penuh kejutan ini tetap terasa sakral dan khidmat sejak Mas Renjana datang untuk menawarkan diri sebagai mempelai pengganti di tengah kemelut badai yang hampir menghancurkan dunianya? Alih-alih merasa takut dengan sosok suami yang masih asing, dia justru tetap merasakan debaran yang menggetarkan d**a atas setiap prosesi pernikahan yang dijalaninya, seolah memang Mas Renjana benar-benar calon suami yang selama ini mempersiapkan hari besar ini bersamanya, bukan sekedar pria yang tiba-tiba datang untuk menolongnya dari aib. Tapi, sungguh Sera dilanda resah saat sebuah tanya muncul dalam benaknya. Atas dasar dan alasan apa Mas Renjana mau dengan sukarela mengulurkan tangan di saat mereka tidak saling mengenal? Apalagi ucapan pria itu sebelumnya, yang mengatakan ingin menjalani pernikahan ini dengan serius sebagai komitmen di hadapan Allah. Kenapa Mas Renjana mau mengorbankan hidupnya sedemikian rupa hanya karena rasa belas kasihan? Apakah di dunia ini masih ada laki-laki seperti itu? Tanpa pamrih dan tidak ada maksud lain atas pertolongannya? Hingga apa yang mengganggu pikirannya buyar saat dia mendengar suara lembut Mas Renjana. “Melamun apa?” Dan sekali lagi, Sera seolah tenggelam dalam pusaran rasa yang tidak dia pahami saat melihat senyum manis Mas Renjana. “Yuk. Ke bangku pelaminan.” Bisik pria itu lagi dengan nada yang begitu maskulin namun lembut, tangannya menggenggam erat Sera dan membimbing Sera menuju ke panggung pelaminan. “Mas …” Bisik Sera menelan ludahnya kelat. “Iya, Dek?” Mendengar panggilan itu membuat Sera kembali menggigit bibir dalamnya. Tanyanya langsung buyar hanya karena sebuah panggilan dengan tatapan yang penuh perhatian dan seutas senyum yang begitu manis di wajah tampan yang penuh kedewasaan itu. *** Sera terus mengulum senyum pada tamu undangan yang datang memberi ucapan selamat, terutama dari rekan bisnis keluarganya yang mana Sera juga mengenalnya cukup baik. Meski bibirnya mengulum senyum bahagia, namun benaknya masih dipenuhi tanya tentang sosok pria yang kini telah resmi menjadi suaminya. Rasanya kepala Sera berjubel dengan segala hal yang ingin dia ketahui tentang Mas Renjana, yang kini berdiri di sampingnya dan terlihat begitu luwes berbasa-basi dengan para tamu yang tidak dikenalnya. Pria itu sangat baik dalam pembawaan diri seolah memang sudah terbiasa berbaur dan berbasa-basi untuk menghidupkan suasana. Justru malah Sera yang terlihat kaku dan hanya bisa tersenyum saat bersalaman dengan para tamu, lalu gelagapan saat tamunya mulai berbasa-basi. “Terima kasih, Pak. Saya yang beruntung menikahi permata hati Ayah Juna.” Itu hanya sekelumit celotehan Mas Renjana saat menanggapi basa-basi para tamu, yang membuat Sera diam-diam kembali terpesona, dengan tatapan yang lekat pada pria yang begitu tinggi menjulang dan terlihat proporsional mulai dari wajah hingga bentuk tubuhnya. Dan Sera langsung memalingkan wajah saat suaminya juga menoleh ke arahnya lalu tersenyum begitu manis. “Kenapa, Dek? Lelah, ya?” Tanya Mas Renjana dengan nada yang lembut, bahkan pria itu mengusap kening Sera yang memang sedikit berkeringat. Sudah tiga jam mereka berdiri karena tamu yang terus datang tiada henti sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk duduk. Sera menggeleng kaku, namun masnya justru meraih lengan Sera dan menuntun Sera untuk duduk. “Sebentar, ya?” Lembut sekali nada suaranya, dan Sera masih terpaku di tempatnya, sedang masnya sudah berlalu dan berbicara dengan salah satu kru WO sebelum akhirnya kembali duduk di samping Sera. Saat ada tamu undangan yang kembali naik ke panggung pelaminan, Sera yang sudah akan kembali berdiri langsung dicegah oleh Mas Renjana. “Terima kasih atas kedatangannya, ya, Pak. Mohon maaf, ya, istri saya duduk. Soalnya kakinya sakit dan lelah berdiri terus. Sedang diambilkan flat shoes.” “Owalah … Ya tidak apa-apa toh, dulu istri Bapak juga begitu. Selamat atas pernikahannya semoga bahagia selalu.” Pria paruh baya itu tersenyum maklum, sedang Sera merasa tidak enak hati pada tamunya namun juga merasa tersentuh dengan segala jenis perhatian Mas Renjana. “Mas … Tidak apa-apa, aku tidak lelah, kok, masih kuat untuk berdiri.” Sera kembali berdiri, namun Mas Renjana hanya tersenyum sambil mengusap lengannya. "Tunggu sebentar, Dek. Sudah mulai sepi kok tamunya, tidak seramai tadi." Dan entah kenapa, Sera tidak bisa lagi membantah saat melihat tatapan Mas Renjana. Tidak lama kemudian Renjana kembali beranjak dari sana saat ada dua kru WO yang datang. Yang satu membawakan kue brownies dan sebotol air mineral, yang satu membawakan flat shoes. Renjana mengangguk dan mengambil air mineral juga brownies di piring kertas itu lalu menyerahkannya pada Sera. “Untuk ganjal perut, Dek.” Sera mengangguk dan menerimanya dengan kaku. Lebih terperanjat lagi saat Mas Renjana tiba-tiba berlutut di depannya, mengganti high heels-nya dengan flat shoes. “Mas, aku bisa sendiri.” Sera sudah membungkuk untuk mencegah suaminya, namun nyatanya Mas Renjana lebih cekatan dan menatap Sera sambil menggelengkan kepalanya. “Minum saja, Dek. Ini biar Mas yang urus.” Ucapnya yang kembali menunduk, dan lagi-lagi Sera terdiam kaku dengan tubuh yang langsung menurut begitu mendapat permintaan yang terdengar lembut dan menyentuh hati. “Te…rima kasih, Mas.” Ucap Sera dengan jantung yang kembali berdentum hebat. “Bilang kalau membutuhkan yang lain, ya?” Sera kembali mengangguk dan mengulum senyum, menatap sang suami dengan tanya yang terus bertambah banyak di kepalanya. “Apa ada yang lucu dengan cara makanku, Mas?” Tanya Sera karena melihat Mas Renjana tersenyum samar saat melihatnya menyuap brownies. Renjana hanya menggeleng tanpa kata, dan itu justru membuat Sera semakin salah tingkah. "Mas ... memutuskan untuk menikahiku apa sudah direstui oleh orang tua Mas?" Dari semua tanya yang berkecamuk, tanya tersebut yang Sera utamakan terlebih dahulu. Pasalnya, dia tidak mendapati satu pun keluarga apalagi sosok yang mengenalkan diri sebagai orang tua suaminya. "Sudah almarhum." Jawab Renjana tenang, dan Sera menatapnya dengan raut bersalah. "Maaf, Mas." "Tidak apa-apa." "Kedua-duanya, Mas?" "Heum...." Renjana hanya menggumam tanpa mau mempertegasnya. “Mas … aslinya orang mana?” “Bandung. Mama dan Papa asli Bandung, hanya beda wilayah saja.” Renjana tersenyum hangat padanya. “Kamu asli Jakarta, kan?” Sera mengangguk sambil menyuap browniesnya, dan Mas Renjana tersenyum entah karena apa. "Almarhumah Mama aslinya orang Minang, almarhum Papa yang asli Jakarta." Kali ini Renjana yang terlihat terkejut. "Jadi Ayah dan Ibu...?" Sera langsung mengangguk sebelum Renjana menyelesaikan ucapannya. "Aku sesungguhnya keponakan Ayah Juna, Mas. Tapi sejak lahir aku memang sudah memanggilnya Ayah, lalu saat Mama dan Papa meninggal karena kecelakaan saat usiaku tiga tahun, aku resmi diadopsi menjadi anaknya Ayah Juna." Renjana yang mendengar itu mengangguk, terjawab sudah alasan yang menikahkannya adalah Opa Garvi alih-alih Ayah Juna. “Jadi … setelah ini aku akan ikut Mas tinggal di Bandung, ya?” Tanya Sera dengan nada tidak yakin dan terlihat gelisah. “Memang tidak keberatan tinggal di Bandung?” Renjana menaikkan satu alisnya dengan tatapan penuh makna, sedangkan wajah Sera justru terlihat semakin gelisah. “Tentu saja … aku tidak keberatan… Aku harus ikut di mana pun Mas tinggal, karena ... aku sudah menjadi istri Mas.” Bisiknya lirih dengan wajah yang menunduk. Renjana yang melihat itu kembali mengulum senyum gelinya. “Tadi kamu bertanya Mas asli mana, kan? Bukan tinggal di mana?” Sera yang mendengar itu langsung mendongak sambil menggigit bibirnya menahan malu. “Mas juga tinggal di Jakarta, jadi kita akan tetap tinggal di Jakarta.” Mendengar itu senyum Sera langsung terbit sempurna dan membuatnya terlihat lebih cantik, dan Renjana lagi-lagi menikmatinya. “Alhamdulillah.” Bisik Sera dengan embusan penuh kelegaan, Renjana kini terkekeh kecil. "Berat, ya, meninggalkan Jakarta?" Sera langsung mengangguk jujur, dan Renjana kembali dibuat geli dengan tingkah sang istri. "Aku tidak pernah merantau, Mas. Kuliah juga di Jakarta saja. Tidak sanggup jauh dari Ayah, apalagi Ibu." Sera kini menatap ke arah Ayah dan Ibunya yang sedang mengobrol. "Tapi setelah ini sanggup, kan, pisah rumah dengan Ayah dan Ibu?" Renjana memiringkan kepalanya, dan menatap Sera dengan binar yang hangat. "Tentu ... saja ... sanggup..." Sera langsung menunduk saat ditatap begitu intens dengan senyuman maut yang membuat hatinya kembali dibuat kalang kabut. "Syukurlah. Nanti kita ngobrol lagi, ya? Mas tau kita butuh lebih banyak mengobrol untuk mengenal satu sama lain. Sabar, ya? Setelah ini kita memiliki waktu yang panjang." Renjana mengerling dengan bibir yang kembali menyungging senyum manis. Sera yang melihatnya mengangguk sambil menggigit bibir dalamnya, mungkin setelah ini dia bukan hanya disibukkan dengan tanya atas alasan Mas Galih menghilang, namun mengendalikan diri atas 'serangan' Mas Renja yang membuatnya kelimpungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN