Bab 4 | Memahaminya Begitu Sempurna

1919 Kata
Sera mengembuskan napasnya panjang, antara lega karena resepsi sudah berakhir namun juga gugup saat dia memasuki kamar hotel dengan Mas Renjana. Hatinya masih dilanda rasa sakit atas perlakuan Galih, namun juga tidak bisa mengabaikan rasa syukur karena pria yang kini resmi menjadi suami itu menyelamatkan harga dirinya dengan suka rela. Memasuki kamar hotel, mata Sera justru langsung memanas karena kembali teringat Galih. Sera menjadi tidak nyaman di sana, namun dia tidak sanggup mengutarakannya. Mas Renjana juga terlihat sangat kelelahan setelah pesta resepsi yang panjang. Mereka cukup mandi lalu tidur untuk beristirahat, tidak seharusnya pria itu mengurusi perasaannya yang masih carut-marut. “Mau kamu atau Mas dulu yang mandi, Dek?” Tanya Renjana sambil melepas tuxedo-nya. Sera terkesiap dari lamunannya sendiri. Dia duduk di ujung ranjang dengan tatapan yang menerawang dan terlihat nanar. “Mas dulu saja. Aku masih harus melepas asesoris-asesoris ini.” Ujar Sera sambil beranjak ke depan meja rias. Renjana langsung membalikkan badannya, dia melihat Sera yang terlihat sayu dan lelah, lalu mendekat dan berdiri di belakang Sera. “Perlu Mas bantu?” Sera langsung menggeleng. “Aku bisa sendiri, Mas.” “Yakin? Mas bantu saja biar mudah, ya?” Renjana tidak ingin memaksakan kehendaknya demi menjaga kenyamanan Sera, dan saat dia kembali mendapat penolakan dari Sera, dia akhirnya mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi. Saat pintu kamar mandi itu tertutup, Sera justru menangkup wajah dengan tangannya dan mulai terisak. Rasanya hari ini sangat melelahkan. Benaknya masih dipenuhi tanya, apa yang salah dengan dirinya hingga Mas Galih kabur? Atau pria itu pada akhirnya ragu untuk menikahinya? Tapi mereka sudah begitu jauh, hubungan mereka berlangsung selama tiga tahun ini. Satu tahun yang lalu bahkan sudah bertunangan, dan dalam satu tahun itu mereka menyiapkan pesta pernikahan. Hubungan mereka juga sehat, dan Sera merasa mereka telah memahami satu sama lain dan cocok satu sama lain. Lalu, bagaimana bisa pria itu menjadi jahat dalam sehari dengan menghancurkan hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka? Apa pria itu tidak memikirkan perasaannya di saat memutuskan untuk kabur seperti ini? Sera masih merasakan sakit, takut dan malu atas apa yang terjadi sebelum akad tadi. Hampir saja … Hampir dia menanggung aib seumur hidupnya atas tragedi itu. Dia tidak akan sanggup berjalan tegak jika hari ini batal menikah. Dia tidak sanggup menghadapi dunia di saat dia tau semua orang akan mencemoohnya sebagai gadis memalukan yang ditinggalkan di hari menjelang akad. Dari pada menyalahkan mempelai pria yang kabur, Sera yakin orang-orang juga akan bergunjing tentang alasan dirinya ditinggalkan, yang berujung memojokkan Sera. Pasti sebagian orang akan mempertanyakan dan melimpahkan kesalahan padanya yang membuat calon suaminya kabur. Memikirkan semua itu membuat tangisnya semakin tergugu, hingga dia tidak menyadari jika pintu kamar mandi kembali terbuka. “Dek …” Panggilnya lembut, Renjana bahkan sudah berlutut di depannya, dan mencoba menarik tangan Sera yang menutupi wajahnya, lalu dia ajak Sera untuk duduk di ranjang dan mereka kini berhadapan. “Masih sedih memikirkan yang tadi?” Sera mengangguk dengan bibir yang melengkung ke bawah, kenapa Mas Renjana paham kesedihannya? Dan kenapa dia bisa langsung jujur tanpa mau menyembunyikan perasaannya? “Kenapa … ada orang sejahat itu, Mas? Padahal … padahal kami tidak memiliki masalah. Kenapa … dia tega membuatku hampir menanggung aib memalukan itu? Jahat sekali. Dia membuatku hancur di hari yang bahagia.” Sera kembali menutup wajahnya dan terisak hebat, namun Renjana kembali meraih lengannya dan kini menggenggamnya lembut. “Sshhh … Sudah tidak apa-apa. Kita tidak bisa mengontrol perlakuan orang lain terhadap kita, yang bisa kita kontrol adalah rasa dan sikap kita atas apa yang dilakukannya. Kan, kamu tidak jadi menanggung aib memalukan itu. Kamu tetap menikah dengan Mas hari ini. Tidak akan ada yang mencemooh kamu setelah ini. Jika ada yang melakukannya, maka mereka yang akan berhadapan dengan Mas.” Renjana meremat tangannya, dan Sera merasa hangat dengan perlakuannya. Pun senyumnya yang menenangkan kembali membuat hati Sera memiliki perasaan yang abstrak, antara rasa sakit karena pengkhianatan Galih, namun juga debar tidak menenatu dengan segala ucap dan tingkah laku Mas Renjana yang seolah memahaminya. Kenapa Mas Renjana terlihat sangat bijaksana dan dewasa? Pria yang telah menjadi suaminya itu bahkan seperti sangat memahami Sera tanpa Sera harus menceritakan tentang dirinya atau apa yang dia rasakan. “Sudah … Air mata kamu terlalu berharga untuk menangisi pria pengecut sepertinya. Tenang, ya? Mas harus apa supaya membuat kamu merasa lebih baik?” Tangan Renjana terangkat untuk membelai veil yang masih belum dilepas oleh Sera, dan itu membuat Sera kembali kaku. Dia memilih menggeleng sebagai jawaban, menyusut air matanya dan menarik napasnya dalam-dalam. “Mas … mandi saja … Maaf, ya, suara tangisanku membuat mandi Mas tertunda.” Ucap Sera dengan napas yang sedikit tersengal. Renjana yang mendengar itu mengulum senyum, tiba-tiba menangkup pipi Sera dengan senyum manisnya, yang membuat jantung Sera kembali berdebar dengan gila di dalam sana. "Mas selalu percaya, hampir semua orang di dunia ini, we will always marry the wrong person, because there is no right person in this world." Sera diam mendengarkan apa yang sedang masnya katakan Kita akan selalu menikahi orang yang salah, karena tidak ada orang yang tepat di dunia ini. Ah, jadi seperti itu pemikiran suaminya? "So, marriage is not about finding the right person to marry, Dek. I doubt you will find the perfect person in this world." Tentang menikah bukan untuk menemukan orang yang tepat, karena kita tidak akan menemukan seseorang yang sempurna di dunia ini. Tapi, kan, kita bisa mengusahakannya dari awal dengan menjalin hubungan hingga bertemu kecocokan dan merasa satu tujuan untuk melangkah pada pernikahan, kan? Begitu yang ada di pikiran Sera selama ini. "It's about two wrong people getting together, who wants to be a better person for themselves and each other." Ini tentang dua orang yang salah dan memutuskan untuk bersama, mereka yang ingin menjadi versi lebih baik untuk dirinya sendiri dan pasangannya. "Hari ini memang tidak sesuai impian kamu, but i promise that our marriage life will be more beautiful than our wedding day, because love can be build. We can build it.” Masnya berjanji akan membuat kehidupan pernikahan mereka lebih indah dari pada hari pernikahan, karena cinta dapat dibangun, dan mereka akan membangunnya. Ah, kenapa tutur kata Mas Renjana terdengar manis dan menyentuh hatinya? Sejak awal pun Mas Renjana sudah mengajukan kesepakatan untuk serius dalam pernikahan mereka, dan saat janji itu diucapkan dengan tulus, hati Sera rasanya kembali kebat-kebit. Apakah Mas Renjana memang perayu ulung yang biasa memikat wanita dengan kata-kata dan tingkah manisnya? Atau dia memang sosok laki-laki idaman yang penuh tanggung jawab atas segala keputusan yang diambilnya? Termasuk menikahinya dan ingin mengusahakan keseriusan dalam pernikahan mereka? Sera tidak tau.... Mas Renjana masih terasa asing. Namun, sosok yang asing itu telah sukses menggunjang jantung hati Sera dengan segala rasa yang tidak dia pahami. “Jangan melamun, Dek.” Renjana menekan ibu jarinya di kening Sera yang terus mengernyit. “Mas jadi tidak tenang meninggalkan kamu. Ada yang membuat kamu tidak nyaman?” Sera menggeleng lagi dengan rasa gugup yang kembali hadir. Pun dengan Renjana yang tetap memperhatikan, lalu pandangan Renjana beralih ke sekeliling kamar hotel yang telah dihias sedemikian rupa, bahkan dindingnya didekor dengan tulisan. “Happy Wedding Anasera & Galih.” “Tidak apa-apa, Mas. Aku … mau membersihkan make up, Mas mandi saja.” Sera langsung beranjak untuk kembali ke meja rias, melepas veil di kepalanya dengan sedikit kesusahan, dan lagi-lagi Renjana terlihat sangat peka dengan berdiri di belakang Sera lalu membantu melepas veil itu dengan mudah. “Terima kasih, Mas.” Bisik Sera sambil menunduk, Renjana justru tersenyum dan mengusap kepala Sera sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar mandi. Sera sudah membersihkan wajahnya, namun dia belum melepas hijabnya, merasa malu karena harus membuka aurat yang selama ini dijaganya. Selepas wajahnya bersih, dia hanya duduk terpaku di depan meja rias, kembali menatap keseluruhan kamar itu dengan nama Galih di beberapa tempat yang kembali membuatnya tidak nyaman. Cangkir di meja sudut ruangan dekat kulkas, handuk, juga tulisan di tengah ranjang dengan taburan kelopak mawar semuanya tertulis mengucapkan selamat untuknya dan Galih. Dia tidak menyangka jika pihak hotel menyiapkannya sedemikian rupa, dan saat Sera membuka lemari untuk mengambil baju yang sudah disiapkan, dia langsung kembali menutupnya. Di sana hanya tersedia lingerie warna hitam dan maroon, yang membuat jantung Sera langsung berdetak brutal dengan wajah yang memanas. Tepat saat itu, Renjana sudah keluar menggunakan bathrobe sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Sudah, Dek. Sana mandi.” Sera mengangguk dan menelan ludahnya susah payah. Dia masuk ke kamar mandi masih dengan memakai gaun pengantinnya, dan hal itu membuat Renjana mengernyit bingung sambil menahan lengannya, Sera langsung berjengit kaget. “Nanti kamu tersandung gaunnya. Ganti dulu di sini, pakai bathrobe saja. Mau ganti di walk in closet atau di sini? Kalau di sini biar Mas yang ke walk in closet.” “Oh … iya … Di walk in closet saja, Mas.” Setelah Sera masuk ke kamar mandi, Renjana mengulum senyum geli begitu mendapati dua potong lingerie yang menggantung di sana. Dia lalu mengambil piyama untuknya, memakainya kilat dan kembali ke kamar sambil menghubungi seseorang. Empat puluh lima menit berlalu namun Sera masih belum juga keluar dari kamar mandi, dan itu membuat Renjana yang sejak tadi menahan diri untuk tidak bertanya akhirnya menyerah. “Dek … Kamu berendam? Jangan terlalu lama, nanti sakit.” Dia mengetuk pintu kamar mandi dan terlihat mondar-mandir di sana. “I … ya … Mas … Sebentar.” Tidak lama kemudian Sera keluar dari kamar, dengan melilitkan handuk untuk dia jadikan hijab. Renjana memandangnya dengan kedua alis yang bertaut. “Eum … Itu … Mas … Aku …” Sera terlihat gugup sendiri. Dia tidak memiliki pakaian yang layak untuk menutupi tubuhnya selain wedding dress nya atau lingerie yang tergantung di lemari. Renjana justru kembali tertawa ringan, yang membuat Sera tanpa sadar menggigit bibirnya. Tau-tau pria itu beranjak meninggalkannya, melangkah menuju sofa dan kembali dengan membawa paper bag di tangannya. “Bajunya. Tadi Mas menghubungi Ibu untuk menyiapkan baju yang lebih nyaman. Ingin Mas belikan yang baru takutnya kamu tidak nyaman karena belum dicuci. Tadi Pak Tris yang mengantar.” Sera membelalak terkejut, dan Renjana melihatnya, pria itu kembali tersenyum hangat, sedang jantung Sera rasanya semakin tidak sehat. Ini belum ada dua puluh empat jam sejak pertemuan mereka, namun kenapa Sera merasa Renjana sudah mengenalnya bertahun-tahun lalu dan terlihat tidak canggung sama sekali padanya? Padahal Sera canggung setengah mati berhadapan dengannya. Apakah pria itu memang pribadi yang easy going? Atau memang karena sejak awal Mas Renjana sudah mengultimatum tentang keseriusan menjalani pernikahan ini, maka dia mencoba untuk mengakrabkan diri dan mengikis sekat asing di antara mereka dengan cepat? Atas segala tingkah laku dan ucapannya, Mas Renjana seolah telah memahaminya begitu dalam. Saat melamarnya tadi, lalu perhatiannya di panggung pelaminan, kelembutannya memastikan Sera nyaman selama menerima tamu undangan, bagaimana Mas Renjana menenangkan tangisannya tadi, dan yang terakhir, bagaimana pria itu memahami keresahan Sera perkara baju? Dan dari semua yang dia lakukan sejak pertemuan mereka, Sera bahkan tidak pernah mengutarakan apa yang dirasakannya dengan jelas, namun Mas Renjana seolah paham dan membidik tepat sasaran dengan memberikan apa yang Sera butuhkan. Bagaimana bisa pria itu sangat sempurna memahaminya? Dan lagi-lagi, segala tanya yang semakin berjubel di kepalanya terhenti begitu saja saat tangannya disentuh Mas Renjana dan pria itu menuntun tangan Sera untuk menggenggam paper bag berisi baju miliknya. “Ganti baju dulu. Nanti masuk angin.” Ucapnya lembut sambil mendorong pelan Sera untuk kembali masuk ke kamar mandi. Dan di dalam kamar mandi, bukannya bergegas mengganti bajunya, Sera justru sibuk menenangkan detak jantungnya yang terus berdetak menggila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN