Bab 2.Gara-gara Ritsleting Gaun

1501 Kata
“Perhatikan langkahmu, Nina,” bisik Ryan pelan. Nina mendengus, memalingkan muka. Sepasang pengantin baru itu sedang berdansa di hadapan puluhan tamu undangan. Semuanya menatap takjub ke tengah ruangan. Memuji betapa indahnya perpaduan dua mempelai yang tampak bak pangeran dan putri itu. “Lihat aku!” hardik Ryan pelan. “Mau Om apa sih?” balas Nina ketus. Ia menatap Ryan tajam, seolah akan muncul sinar laser dari matanya. “Kita sedang dilihat oleh puluhan orang, ada fotografer yang mengabadikan momen ini, ada wartawan juga yang sejak tadi meliput acara ini. Bersikap profesional sedikit.” Nina ingin memaki Ryan saat ini juga. Tapi mereka sedang berdansa, tak mungkin ia tiba-tiba berteriak marah. Yang ada ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Maka yang Nina lakukan adalah sebuah gertakan kecil. “Aw!” Ryan memekik pelan. “Kamu nggak bisa berdansa atau gimana sih?” gerutunya dengan kedua alis bertaut. Nina menyeringai. “Nggak bisa, Om.” Ryan langsung tahu bahwa kaki Nina yang menginjaknya barusan adalah sebuah kesengajaan. “Kamu mau main-main? Oke, aku akan mengajarimu berdansa. Sampai kamu sendiri yang meminta berhenti.” Tepat setelah Ryan menyelesaikan kalimat itu, ia memberi kode pada konduktor orkestra musik yang sejak tadi mengiringi tarian mereka. Dan seketika, musik yang tadinya mengalun pelan pun berubah. Temponya menjadi sedikit lebih cepat, bersamaan dengan perubahan gerakan Ryan yang tiba-tiba. “Om, ini mau ngapain?” Nina mendadak panik. “Jangan panggil aku ‘om’.” Ryan mengingatkan. “Iya, tapi Om– Ah!” Nina memekik kaget ketika tiba-tiba Ryan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan memutar tubuh Nina tanpa aba-aba. “Om!” Ia mendelik ketika tubuhnya kembali ke hadapan sang suami, mendarat di dada bidang Ryan. “Mas Ryan,” tegur Ryan dengan seringai tipis. “Om Ry- Argh!” Nina kembali menjerit tertahan ketika lagi-lagi, Ryan memutar tubuhnya. Nina mendaratkan lengannya di dada Ryan, sementara tangan sang pria menahan pinggang Nina agar tubuhnya tidak oleng. “Om ini apa-apaan sih?!” Nina melotot tajam, wajahnya merona. Entah menahan marah atau salah tingkah. Ryan tak menjawab. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Nina yang sudah bisa berdiri dengan stabil. Tepuk tangan membahana, memenuhi langit-langit ruangan. Sorak-sorai para tamu undangan menambah meriah suasana. Beberapa pasangan yang hadir dalam resepsi pernikahan itu ikut turun ke lantai dansa, bergabung bersama Ryan dan Nina yang masih menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik. “Panggil aku ‘mas Ryan’, Nina. Sekarang kita suami istri.” Ryan kembali menegur. Gerakan dansanya sudah tidak seheboh tadi. “Iya, Mas Ryan,” cibir Nina, mengejek. Daripada harus tiba-tiba diputar seperti tadi, mending ia menurut saja kali ini. *** Pukul sepuluh malam, akhirnya resepsi itu berakhir. Ryan dan Nina pun kembali ke kamar hotel mereka, begitu juga dengan anggota keluarga lain yang juga menginap di sini. “Kamu mau tidur di sini?” tanya Nina sambil berkacak pinggang. Ia masih mengenakan gaun resepsi, riasannya juga belum dihapus. “Iya.” Ryan menjawab santai. Ia sudah melepas jasnya dan melonggarkan kancing kemejanya. “Yang bener aja? Aku nggak mau tidur sama Om!” Nina berseru. “Mas Ryan, Nina.” Ryan menoleh. “Memangnya kamu pikir aku mau tidur sama kamu?” Nina merengut, kesal. “Terus kenapa kamu mau tidur di sini?” “Ini kamar suite, Nina. Kamu bisa tidur di dalam kamar tidur, aku tidur di sofa ruang tengah. Kenapa kamu heboh sekali? Atau jangan-jangan kamu yang berharap tidur sama aku?” “Dih, najis!” “Kalau kita tidur bareng sampai berhubungan badan itu baru najis, Nina. Najis besar malah. Kalau cuma tidur bareng sih nggak najis,” sahut Ryan santai. “Argh…!” Nina menjerit sambil menutup telinganya. “Jangan bicara hal berbau dewasa dong! Aku masih kecil!” “Masih kecil?” Ryan menaikkan sebelah alisnya. “Kamu sudah dewasa, sudah menikah juga. Apanya yang masih kecil?” Tatapan Ryan turun ke dada sang istri. Nina yang mengetahui ke mana arah tatapan suaminya itu segera menutupi dadanya dengan tangan. “Lihat apa?!” hardiknya. “Enggak terlalu kecil kok.” “Dasar mesum!” Nina mendelik, menyambar bantal, melemparkannya pada Ryan yang berhasil berkelit. Ryan sudah melepas kemejanya, hendak menggantinya dengan kaus. Nina terbelalak seketika. Kini, tubuh atas Ryan yang berotot karena latihan gym selama bertahun-tahun terpampang jelas di hadapan Nina. Gadis itu ternganga, tak berkedip sama sekali. Ryan menoleh. “Tuh kan, ternyata kamu yang mesum.” Nina buru-buru berbalik. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, wajahnya memanas, jantungnya berdegup kencang. Membuat dadanya terasa sesak. “Makanya ganti baju tuh di kamar mandi!” serunya. “Males. Ganti baju doang kok. Nggak buka semuanya.” Nina memejamkan matanya rapat-rapat. Entah kenapa sekarang bayangan tubuh Ryan yang polos berkelebat dalam benaknya. Ia menggeleng kuat-kuat, mengusir bayangan nakal itu. “Masa aku beneran mesum sih?” ringisnya dalam hati. Ryan menepuk pundak Nina. “Sudah,” bisiknya tepat di telinga sang istri. Nina berjengit kaget. “Aduh, jantungku mau copot!” serunya sambil memegangi dadanya. “Kenapa? Kamu lagi bayangin aku beneran buka semua bajuku?” “Enggak!” Nina memekik. Entah kenapa ia merasa seperti tertangkap basah berbuat hal tidak senonoh. Ryan tertawa. “Aku nggak akan tidur di sini, Nina. Aku mau tidur di kamar sebelah, Riry mungkin menunggu.” Ah, Nina baru sadar tentang fakta itu. Tentu saja Ryan akan menemani putrinya tidur. Pria itu memiliki prioritas lain daripada istrinya yang ia nikahi hanya karena menggantikan adiknya yang sampai saat ini belum bisa dihubungi. Nina masih terpaku di tempatnya berdiri ketika suara pintu dibuka dan ditutup terdengar. Ryan telah pergi meninggalkannya. Gadis itu terduduk di tepi ranjang, tersenyum miris. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, hanya ada dirinya di kamar seluas empat puluh meter persegi ini. Nina buru-buru menghalau perasaan kesepian yang tiba-tiba menyergapnya. Ia bangkit, menyambar pouch make up miliknya. Gadis itu duduk di depan meja rias, mulai membersihkan riasan di wajahnya. Selesai urusan wajah, Nina berdiri hendak melepas gaunnya. Namun begitu ia mengulurkan tangan untuk menjangkau ritsleting di bagian punggungnya, tangannya tidak sampai. “Aduh, gimana ini?” keluhnya pelan. Namun ia tak menyerah. Nina mencoba berbagai posisi untuk menjangkau ujung ritsleting yang terlalu rendah untuk dijangkau dari atas, tapi terlalu tinggi untuk diraih dari bawah. “Lagian kenapa sih desainnya begini? Bikin repot aja!” Gadis itu mulai menggerutu, kesal karena tak juga berhasil meski berbagai cara ia lakukan. Nina bahkan menggunakan berbagai macam alat, tapi tetap saja gagal. “Argh…! Nggak bisa!” Nina terduduk di tepi ranjang, tertunduk lesu. “Biarin deh! Tidur pake gaun aja, bodo amat!” Persis ketika Nina hendak merebahkan diri di atas kasur, suara pintu kamar terdengar terbuka dari luar. Ryan masuk dengan wajah kecewa. Untuk pertama kalinya, Nina merasa kedatangan Ryan seperti sebuah anugerah baginya. “Eh, tapi masa minta tolong sama dia?” gumamnya, tersadar dari euforia. “Kenapa balik?” Nina sudah berdiri di ambang pintu kamar. Ryan menoleh sekilas, kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa. “Nggak dibukain pintu, kayaknya Riry udah tidur sama mama.” “Jadi mau tidur di sini?” “Iya. Aku tidur di sofa, kamu tidur di kamar. Kunci pintunya kalau kamu berprasangka buruk aku bakal ngapa-ngapain kamu. Yah, meski sebenernya aku nggak tertarik juga. Eh, kamu kenapa belum ganti baju?” Ryan baru sadar bahwa Nina masih mengenakan gaun resepsi. “Ini….” Nina meremas jemari, bingung. Ia pasti tidak akan bisa nyenyak jika harus tidur dengan mengenakan gaun ini. “Kenapa? Nggak bisa buka ritsleting?” tebak Ryan telak. “Kok tahu?” “Klise. Mau dibantuin nggak?” Nina kembali menggigit bibir gelisah, tapi ia juga sudah mulai gerah. “Aku sudah bilang, aku nggak tertarik ngapa-ngapain kamu. Tapi kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa. Aku mau tidur aja, udah larut." “Eh, tunggu!” Ryan yang hendak merebahkan tubuhnya di sofa jadi urung. “Iya deh, bantuin bukain ritsleting, ya? Tapi Om jangan macem-macem!” tegasnya memberi peringatan. “Mas Ryan, Nina. Sudah kubilang aku bukan om kamu.” Ryan beranjak, menghampiri Nina yang menatapnya waspada. “Tapi kamu seusia omku.” “Siapa?” “Om Ken.” “Oh, iya juga.” Ryan mengangguk-angguk. Ia kenal dengan Ken, bahkan berteman. “Tapi tetap saja kamu nggak bisa manggil aku ‘om’. Nanti aku dikira sugar daddy kamu.” Nina tertawa pelan. “Kamu kan memang sugar daddy-ku sekarang.” Ryan tak menanggapi. “Balik badan,” ucapnya pelan. Nina menurut, membalikkan badannya agar Ryan bisa membukakan ritsletingnya. Tangan Ryan meraih pengait ritsleting dan mulai bergerak turun. Seketika, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ryan menelan ludah ketika punggung polos Nina terpampang jelas di hadapannya. Sementara Nina hanya bisa menahan nafas saat tangan Ryan tak sengaja menyentuh kulit punggungnya. Jantung Nina serasa hampir meledak sekarang, sentuhan tangan Ryan di punggungnya menggelitik kewarasannya. Hingga akhirnya, suara bariton Ryan menyadarkannya. “Sudah,” ucapnya pelan. Ryan berbalik, kembali ke sofa. Ia merebahkan diri di sana, menutup wajahnya dengan bantal sofa. Sementara Nina hanya bisa menatap Ryan dengan mulut ternganga. “Ini cuma aku yang salting atau gimana sih?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN