Bab 3. Ciuman Pertama

1456 Kata
Ryan beringsut memperbaiki posisi, namun ia merasa ruang geraknya menjadi sangat menyempit. Aroma segar citrus pun menggelitik penciumannya. Pria itu membuka mata. “Nina?” Ryan terkejut mendapati Nina sudah tidur memeluknya di atas sofa. “Ngapain nih bocah ke sini?” Ia menggerutu sendiri. Ryan tak bisa bergerak. Jika ia memaksa membalikkan badan, Nina mungkin akan jatuh. Tapi tubuhnya sudah pegal tidur terlentang sejak tadi. “Ah, ngerepotin banget sih. Dipindah aja deh,” pungkasnya kemudian. Maka Ryan memindahkan tangan Nina yang memeluknya, lantas beranjak dari tidurnya sembari memegangi tubuh istrinya agar tidak terjatuh. Ia pun menggendong tubuh Nina, membawanya kembali ke kamar. Ryan kembali dibuat terkejut ketika berhasil mengangkat tubuh Nina. Pasalnya, gadis itu hanya mengenakan kemeja Ryan yang kebesaran di tubuhnya. Dan saat diangkat, bagian bawah kemeja itu tersingkap hingga ke paha. Ryan buru-buru memalingkan muka. Wajahnya merona merah. “Ck, dia ini nggak bawa piyama atau gimana sih? Kok seenaknya aja pake baju orang,” gerutunya pelan. “Badannya enteng banget. Berapa sih beratnya?” Ia terus bicara sendiri hingga tiba di kamar, menghalau kegugupan yang tiba-tiba menyergapnya. Ryan menurunkan tubuh Nina ke atas kasur, pahanya kembali tersingkap ketika gadis itu bergerak. Ryan buru-buru menutup tubuh Nina dengan selimut. Pria itu menghela nafas. “Baru sehari jadi suami kamu udah jantungan aja. Gimana kalau setahun?” desahnya sambil geleng-geleng kepala. Sayangnya, penderitaan Ryan tak berhenti sampai di situ. Karena tepat ketika Ryan hendak berbalik dan meninggalkan kamar, Nina sudah merengkuh pinggangnya lagi. “Eh?!” Ryan memekik, terkejut. Nina menggeliat, menarik pinggang Ryan semakin mendekat. Pria itu mendelik kaget, terduduk di tepi ranjang. “Ini anak mimpi apa sih kok begini?” Ryan mengomel dengan wajah merah padam. Ia berusaha melepaskan lengan Nina yang melingkari pinggangnya, gagal. Nina justru semakin erat memeluknya. Bahkan kepala gadis itu sudah merapat ke paha Ryan. Ryan pun berhenti berontak, berusaha mengontrol debaran jantungnya yang tak karuan. Kini ia hanya memandangi wajah Nina yang terlelap. Tangannya terulur, menyingkirkan rambut panjang Nina yang menutupi wajahnya. Permukaan kulit Ryan menyentuh pipi gadis itu. Seketika, ingatan saat ia tak sengaja menyentuh kulit punggung Nina kembali berkelebat. “Kok ada kulit manusia selembut ini, ya?” Tanpa sadar, Ryan justru membelai pipi Nina. “Lucu, kayak bayi,” lirihnya sambil tersenyum tipis. Ryan menelan ludah, menyadari kelakuannya barusan. Ia hendak beranjak dari sana, namun tangan Nina masih saja memeluknya erat. Hingga akhirnya sebuah ide melintas asal di kepalanya. “Nggak apa-apa kan tidur sekasur? Orang udah nikah juga,” gumamnya. Akhirnya, Ryan memutuskan untuk merebahkan diri di sisi Nina. Membiarkan tangan Nina memeluknya lebih erat. Sayangnya, keputusannya ini justru membuat Ryan tak bisa tidur. Karena sekarang, dengan nakalnya tangan Nina masuk ke dalam kaus Ryan. Ryan mendelik, mengeluarkan tangan itu dari dalam bajunya. “Astaga, anak ini! Kelakuannya bener-bener nggak baik buat jantung,” keluhnya dengan wajah semerah kepiting rebus. *** “Argh…!” Nina menjerit hingga pita suaranya nyaris rusak. “Kenapa teriak-teriak sih?” Ryan langsung terbangun, bersungut-sungut karena tidurnya jadi terganggu. “Kenapa Om tidur di sini?” Nina menatap Ryan ngeri sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Melihat gestur tubuh Nina, Ryan jadi tergoda untuk mengusili istrinya itu. “Ya kenapa? Kita kan udah nikah, masa nggak boleh tidur sekamar?” Ryan duduk bersandar di headboard kasur. Mengusap matanya yang masih mengantuk. “Tapi Om kan bilang kemarin mau tidur di sofa, kenapa malah tidur di kamar?” Nina masih menatap Ryan sengit. Tangannya masih memegangi selimut yang menutupi tubuhnya, waspada. Ryan menoleh, menatap Nina lekat. Ditatap sedemikian intens, Nina jadi gugup. “Kenapa lihat-lihat?” “Kamu nggak ingat apa yang kamu lakukan semalam?” Nina menelan ludah. “A-apa?” Ia semakin gugup. “Masa nggak ingat? Bohong banget.” Ryan menyambar air mineral di nakas, meneguknya hingga tandas. Pria itu bangkit, menggeliat. Otot-otot punggungnya tercetak jelas di balik kaus. Sekali lagi, Nina menelan salivanya. Dan seketika itu pula, bayangan kejadian semalam berkelebat cepat. Nina tidak bisa tidur tanpa guling. Dan di kamar hotel ini jelas tidak ada guling satu pun. Gadis itu sudah berusaha tidur semalaman, tapi matanya tidak juga terpejam. Hingga akhirnya ia menghampiri Ryan yang sudah terlelap dan tidur memeluk pria itu. “Ah, iya!” Nina berseru tertahan, menutup wajahnya dengan selimut. Ryan menoleh. “Kenapa? Sudah ingat? Jadi siapa yang melanggar perjanjian semalam?” Nina meringis. “Ya mau gimana lagi? Aku nggak bisa tidur kalau nggak pake guling, Om!” “Om terus. Mas Ryan, Nina.” Nina menyeringai, ingin sekali menjahili suaminya. “Om Ryan, Om Ryan, Om Ryan, Om Ry—” Cibiran Nina seketika terhenti karena kini tubuh besar Ryan telah mengurungnya. Nina menahan nafas, tatapan mereka beradu, wajah keduanya terpisah jarak beberapa senti saja. “Coba sekali lagi panggil ‘om Ryan’, aku cium kamu biar diem.” “Pelecehan!” desis Nina berusaha terlihat galak. “Mana bisa? Aku suamimu, Nina. Cium bibir aja tuh biasa.” Wajah Nina merona seketika. “Ini peringatan terakhir. Aku nggak suka kamu panggil aku ‘om Ryan’. Aku bukan om kamu, aku suamimu, Nina. Jadi sekali saja kamu panggil aku begitu, aku cium betulan.” Nina menatap lekat mata kecokelatan yang memerangkap dirinya. “Om… Ryan?” Ryan mengernyit, kemudian dalam satu gerakan cepat ia telah berhasil mencuri satu kecupan dari bibir istrinya. “Kamu menantangku, kan? Aku nggak main-main,” ujarnya tegas lantas menegakkan punggung. "Satu lagi, ganti bajumu. Jangan seenaknya pakai baju orang lain tanpa izin." Pria bertubuh jangkung itu berbalik dan segera berlalu dari sana. Tak peduli dengan ekspresi Nina yang membeku. Tepat ketika suara pintu kamar hotel ditutup terdengar, Nina menutup mulutnya dengan tangan. Jantungnya berdetak cepat, nyaris meledak. “Sialan! Itu ciuman pertamaku!” serunya kesal. Ryan sudah keluar dari kamar hotel ketika Nina masih marah-marah karena ia mencuri ciuman pertamanya. Seperti biasa, setiap pagi pria itu akan berolahraga ringan dengan joging di sekitar rumah. Bedanya kali ini ia lakukan di sekitar hotel. Namun sebelum itu, ia mampir dulu ke kamar sebelah. “Riry udah bangun?” tanyanya pada Ayu saat membukakan pintu. “Sudah. Pas banget kamu datang, dia nyariin kamu dari bangun tidur tadi,” jawab Ayu sedikit panik. Ryan buru-buru masuk ke dalam kamar. Dan hal pertama yang ia dengar adalah suara tangisan Riry. “Papa…! Papa udah nggak sayang Riry. Papa ninggalin Riry sendiri!” Tangisannya melengking memenuhi ruangan. “Hei, anak Papa.” Ryan segera naik ke atas kasur. Memeluk putri semata wayangnya. “Kenapa bilang begitu? Papa nggak pernah nggak sayang Riry.” “Kata siapa? Buktinya semalem Papa nggak bacain buku sebelum tidur buat Riry. Waktu Riry bangun juga Papa nggak ada. Papa begitu cuma kalau kerja kan? Memangnya Papa semalam kerja?” Riry mengusap wajahnya yang basah, menatap papanya tajam. Ryan mencubit pipi putrinya gemas. “Betul, semalam Papa memang nggak kerja. Semalam Papa udah ke sini loh buat bacain buku untuk Riry, tapi Riry udah tidur dan Papa dikunciin pintu di luar. Jadi Papa tidur di kamar sebelah deh.” Ia memasang wajah sedih, mendramatisir keadaan. Mata bulat Riry semakin melebar. Bibirnya melengkung ke bawah. “Sungguh? Papa dikunciin pintu di luar?” Ryan mengangguk, masih dengan wajah sedih. “Maafin Riry, Papa!” Riry kembali menangis, memeluk erat tubuh papanya yang jauh lebih besar. “Papa pasti sedih semalam, ya? Maafin Riry.” Ryan tertawa tanpa suara. Ia membalas pelukan putrinya. “Nggak apa-apa, Sayang. Sekarang kan udah nggak dikunciin? Oh ya, Riry mau ikut Papa ke sebelah? Kita kenalan sama tante Nina.” Riry mendongak. “Nggak mau! Tante Nina nyebelin!" “Eh? Kenapa?" "Pokoknya tante Nina nyebelin, Riry nggak suka!" Riry menggembungkan pipinya, terlihat semakin lucu. "Kata eyang, semalam Papa juga tidur sama tante Nina kan di sebelah?" Ryan menelan ludah. "Enggak. Tante Nina tidur di kasur, Papa tidur di sofa. Papa nggak tidur sama tante Nina kok." "Tuh kan, tante Nina jahat! Masa Papa dibiarin tidur di sofa? Kasihan Papa pasti badannya pegel kan?" Ryan meringis, serba salah. Jika ia mengatakan bahwa semalam dirinya tidur dengan Nina, pasti Riry akan semakin kesal. Namun drama itu akhirnya segera terhenti karena Surya tiba-tiba masuk kamar dengan tergesa. “Ada apa, Pa?” tanya Ryan penasaran. Ia menghampiri papanya dengan Riry dalam gendongan. “Evan barusan telepon, dia mau kembali ke sini. Dia bilang mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Ryan terhenyak. “Setelah kabur seenaknya terus tiba-tiba mau kembali ke sini? Memangnya dia mau mempertanggungjawabkan apa?” sergahnya kesal. Surya menggeleng, wajahnya mengeras. “Papa juga nggak tahu. Tapi sekarang Papa sudah mengerahkan orang-orang kepercayaan Papa buat menunggu kedatangan Evan di bandara. Dia harus dihukum atas kekacauan yang dia buat.” Ryan menelan ludah. Rasa khawatir mulai menyusup ke dalam dadanya. “Jangan bilang Evan pulang ke Indonesia karena mau mengambil Nina kembali?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN