bc

Rumah Cempaka

book_age18+
355
FOLLOW
1K
READ
billionaire
sweet
mystery
scary
realistic earth
supernatural
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan rumah tangga Mala Rossalina dan Evant Andrean berubah ketika menempati rumah di sebuah perumahan tepatnya di jalan Cempaka.

Di rumah itu Mala sering dihantui oleh penampakan-penampakan aneh dari seorang hantu perempuan dan membuat sifat Mala berubah menjadi lebih liar dan berani, sehingga menyebabkan perselingkuhannya dengan seorang seniman muda bernama Andrew.

Akankah Mala dan Evant dapat mempertahankan rumah tangga mereka?

Bagaimana dengan sosok perempuan yang selalu mengganggunya di rumah?

Apa sebenarnya yang membuat hantu perempuan itu tinggal dan bersemayam di kediaman Mala dan Evant?

Lalu, apa sebenarnya tujuannya sehingga mengganggu rumah tangga mereka?

Cover By: RDO Art

chap-preview
Free preview
Bab 1
Sebuah mobil berwarna merah maron berhenti di depan gerbang pagar yang mengelilingi sebuah rumah yang sangat megah nan mewah. Pintu gerbang perlahan terbuka dengan diiringi suara mesin penggerak, membuat kendaraan beroda empat itu leluasa masuk. Melintasi tanah pekarangan dengan rumput hijau setinggi dua inci yang membentang di sepenjuru pekarangan. Di sisi kanan dan kiri sepanjang jalan, tersusun pohon-pohon cemara. Aroma segar embun pada dedaunan membuat pagi ini terasa begitu cerah. Mobil merah maron itu akhirnya telah sampai tepat di depan rumah. Ketika pintu mobil mulai terbuka, seseorang terlihat hendak turun dari mobil dengan menampakkan kaki sebelah kanan, mengenakan sepatu hak berkerlip yang terkesan senada dengan suasana yang akan ia pijak. Mala Rossalina, dengan gaun berwarna merah yang semakin menunjukkan keanggunannya ketika melangkah keluar dari mobil merah maron yang dikendarainya, sepulang dari sekolah untuk menjemput anak laki-lakinya yang bernama Julliant. Mala dan anak lelakinya telah menapaki teras keramik, menuju pintu berukuran cukup besar dengan bagian atasnya berbentuk setengah lingkaran dan terdapat ukiran-ukiran pada permukaan pintu. Tangan kanannya bergerak untuk menyentuh gagang pintu utama berlapis logam berwarna kuning, kemudian mendorongnya sehingga sebelah bagian pintu utama berhasil terbuka, membuat anak lelakinya segera berlari masuk. Saat kaki kanannya terayun ke arah dalam, tiba-tiba terdengar dering smartphone dari dalam tas yang warnanya senada dengan gaun yang dikenakanya. Ia pun mengurungkan niat untuk melangkah masuk. Kepalanya menunduk, sepasang matanya mendapati sebuah tulisan pada layar smartphone yang memberitahunya bahwa ibunya-lah yang menelpon. "Iya, Bu?" ucap Mala setelah mengangkat telpon dari ibunya. "Kamu gimana kabarnya, Sayang?" "Iya, Baik, Bu," jawab Mala, "Ibu gimana?" sambungnya bertanya. "Iya, Ibu sehat. Kamu kapan kemari? Ibu udah kangen banget sama cucu-cucu Ibu." "Belum tahu, Bu," jawab Mala, kemudian terdiam sejenak untuk berpikir, "Mungkin hari minggu besok kami ke rumah Ibu," sambungnya memberitahu. "Oh iya, ibu dapat kabar dari tetangga ibu, kalau di dekat sini ada rumah yang mau di jual loh, Sayang. Gimana kalau kalian beli aja rumah itu, terus pindah dekat ibu, biar ibu nggak susah jenguk cucu-cucu ibu." "Tapi, aku udah merasa betah tinggal di sini Bu, sama keluarga Evant, deket juga sama sahabat-sahabat Aku," Mala terdengar membantah, tapi masih berhasil dengan sikap lembutnya agar ibunya tidak tersinggung. "Iya, ibu tau. Tapi nggak salahnya 'kan, kalau kamu lihat-lihat dulu rumahnya." "Iya deh, Bu. Nanti aku kasih tahu Evant," ucap Mala sambil menghembuskan nafas pelan seiring wajah lesunya mulai terukir. "Iya, minggu besok jangan lupa kemari ya, Sayang." "Iya, ibuku sayang, Mala nggak bakalan lupa kok. Ibu masak yang banyak ya, Bu. Soalnya kami makannya banyak loh, Bu," ucap Mala sembari tertawa pelan. "Iya, Ibu pasti masak yang banyak, dan yang pastinya enak loh." "Udah dulu ya, Bu," ucap Mala lembut, "Assalamu'alaikum." "Iya, Sayang. Wa'alaikumsallam. Daah...." "Daaah," sahut Mala kemudian menutup sambungan telpon. Detik berikutnya ia melanjutkan langkahnya untuk melewati pintu utama dan masuk ke dalam rumah. "Mamaaaah!" Terdengar suara teriak mungil dari anak perempuan yang bernama Clara dan sedang berlari membawa sebuah buku ke arah Mala. Clara sedang di kejar oleh Julliant yang merupakan kakaknya. "Dede nih jahil banget, Mah," keluh Julliant sembari menunjuk buku yang diselipkan adik perempuannya di belakang tubuh. "Dede, ayo kembalikan punya kakaknya," ucap Mala lembut dengan tersenyum sembari mengusap puncak kepala Clara. "Dede 'kan, cuman pinjem, Mah," bela Clara sambil menenggelamkan buku ke dalam pelukannya. "Mah, Dede Mah," keluh Julliant memelas. Meminta agar Mala membela dirinya. "Ayo kembalikan, De. Itu 'kan, buku kakaknya, nanti kita beli yang baru buat Dede," bujuk Mala lembut. "Nih!" ucap Clara sembari mengembalikan buku tersebut kepada Julliant, "Mah, nanti Dede minta di beliin buku yang banyaaaaak ya, Mah," sambung Clara sambil mendongakkan kepala, menatap wajah ibunya yang merona karena riasan wajah. "Weee," ucap Julliant menjulurkan lidahnya ke arah Clara. "Weee," balas Clara. "Udah, udah," lerai Mala, "Nanti kita beli buku banyaaaak. Asal Dede jangan ganggu kakaknya lagi, ya," sambung Mala. "Horeee..." teriak Clara bahagia sembari menari-nari. "Mah, tadi yang telpon Mamah siapa?" tanya Julliant. "Ooh, tadi dari Nenek, Sayang," jawab Mala. "Wah, Nenek... Mah kapan kita ke rumah nenek, Mah?" tanya Julliant. "Minggu ini kita ke rumah nenek," jawab Mala. "Asiiiiikk..." teriak Julliant kegirangan ketika mendengar akan ke rumah neneknya. "Iya, Sayang," sahut Mala, "Tapi, Mamah tanya sama Papah dulu," sambungnya. "Papah kapan pulangnya, Mah?" tanya Julliant. "Besok Papah pulang, Sayang," jawab Mala. "Beneran, Mah?" tanya Julliant tersenyum lebar. "Iya, Sayang," jawab Mala tersenyum. "Horeee..." sorak Julliant bahagia ketika tahu bahwa ayahnya akan segera pulang. Suami Mala, yaitu Evant Andrean seorang putra tunggal dari Pak Arnold Andrean, ibunya Evant sudah lama meninggal dan sekarang ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita bernama Anabelle yang kini tinggal bersama dengan mereka di rumah. Evant merupakan pewaris tunggal dari perusahaan yang di dirikan oleh ayahnya. Dia sangat sibuk mengurus perusahaan ayahnya yang kini diteruskan kepadanya, karena ayahnya sudah terlalu tua untuk mengurus perusahaan itu sendiri, sehingga Evant lebih sering menghabiskan waktu untuk bepergian keluar kota dibandingkan berada di rumah dan menemani istrinya. Anak pertama mereka, yaitu Julliant Andrean masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih berusia delapan tahun. Julliant yang sifatnya tidak terlalu manja dan di sekolah pun dia juga termasuk murid yang berprestasi, dia bahkan lebih sering mengurus dirinya sendiri ketimbang harus diurus oleh ibunya yang juga sibuk mengurus adiknya, yaitu Clara Andrean yang masih berusia tiga tahun. Clara adalah seorang anak perempuan yang sangat manja dan sedikit sulit untuk di atur, sehingga Mala tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus Julliant, beruntung Julliant adalah tipe anak laki-laki yang penurut dan juga pengertian, sehingga Mala tidak terlalu sulit untuk mendidiknya. Suara dering yang berasal berasal dari smartphone yang tergeletak di atas meja membuat Mala dan kedua anaknya terkejut. Mala menunduk, menatap layar smartphone yang terdapat sebuah tulisan yang memberitahunya bahwa terdapat panggilan video masuk dari suaminya. "Hai, Sayang." Suara Evant terdengar seiring layar smartphone di tangan Mala menunjukkan wujud suaminya sedang melambaikan tangan dengan menampakkan senyum yang terlihat senang. "Papaaaah!" teriak Julliant dan Clara bersamaan seketika berlari ke arah Mala yang duduk di sofa dan mengabaikan acara kartun di televisi. "Hai, Sayang," jawab Mala melambaikan tangan ke arah smartphonenya. "Papah, Papah, Papah," teriak Clara melompat-lompat di samping Mala. Mala pun kemudian mengarahkan kamera depan ke arah Julliant dan Clara. "Hai, Pangeran tampan dan Putri cantik Papah," ucap Evant melambaikan tangannya. "Papah kapan pulang?" tanya Clara dengan manja. "Malam ini Papah sampai rumah, Putri cantikku," jawab Evant yang terlihat senyum dari layar smartphone. "Horeee, Papah pulang," ucap Clara kegirangan. "Bukannya tadi malam kamu bilangnya besok?" tanya Mala sambil mengerutkan kedua keningnya. "Iya Sayang, Aku kira juga besok, tapi karena klien-ku katanya ada urusan mendadak, jadi pertemuannya juga ditunda," jelas Evant tersenyum kepada istrinya. "Ya udah, aku tunggu ya, Pah," ucap Mala tersenyum. "Iya Sayang," sahut Evant yang juga tersenyum, "Aku mau siap-siap dulu, nanti aku kabarin kalau sudah sampai bandara," sambungnya. "Iya Sayang, kamu hati-hati ya," ucap Mala tersenyum. "Iya, Daaah," ucap Evant melambaikan tangannya dan di balas oleh Mala yang juga melambaikan tangannya. Kemudian panggilan pun berakhir. Julliant dan Clara yang sejak tadi masih kegirangan tidak menyadari bahwa panggilan video dari ayah mereka sudah berakhir. "Mah bilangin sama Papah, Julliant pengen dibawain mainan, Mah," ucap Julliant. "Mah, Dede juga, Mah," sambung Clara. "Eeeeh, telponnya udah dimatiin papah, Sayang," sahut Mala tersenyum simpul sembari menunjukkan layar smartphone kepada Julliant dan Clara. "Yaaaaah..." ucap Julliant dan Clara terdengar kecewa secara bersamaan. "Nanti kalau papah udah pulang, kita jalan-jalan beli mainan yang baaaanyaaaak," bujuk Mala kepada kedua anaknya. "Horeee!" Julliant dan Clara bersorak dengan kompak. *** Malam pun tiba, tampak sebuah jam antik dan mewah yang berada di ruang tengah telah menunjukkan pukul delapan malam. Ketika Arnold dan Anabelle sudah tertidur lelap bersama Clara yang juga sudah larut dalam buaian mimpi indahnya. Sedangkan Mala dan anak laki-lakinya yaitu Julliant sedang asik menonton televisi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah. Mendengar itu, Mala pun dengan segera pergi membukakan pintu dan ternyata Evant suaminya sudah pulang. "Pah," ucap Mala tersenyum menatap rindu kepada Evant. "Mah," sahut Evant yang juga menatap rindu ke arah Mala istrinya. "Papah pasti capek, Aku buatin susu coklat hangat buat Papah," ucap Mala sembari mereka melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju sofa empuk dekat Julliant. "Papaaah!" teriak Julliant berlari mendatangi dan memeluk Ayahnya. "Kok Pangeran Papah belum tidur?" tanya Evant kepada Julliant sembari mengusap kepala Julliant. "Hehe, kan Julliant nunggu Papah," jawab Julliant tersenyum. "Dede mana?" tanya Evant kepada anak laki-lakinya. "Dede udah tidur, Pah," jawab Julliant. "Kalau opa sama oma?" tanya Evant lagi. "Sama Pah, Opa sama Oma juga udah pada tidur, Pah," jawab Julliant tersenyum. Mala hanya bisa tersenyum melihat tingkah manja anak laki-lakinya tersebut ketika dia kembali dari dapur dengan membawa segelas susu coklat hangat di tangannya. "Ya udah, Julliant sekarang masuk kamar terus tidur ya, nanti besok kesiangan loh," ucap Evant membujuk anaknya untuk segera tidur. "Oke, Pah," sahut Julliant yang matanya sudah terlihat mengantuk dan sesekali menguap, "Malam Mah, malam Pah..." sambungnya tersenyum sembari melangkah menuju ke kamarnya, di balas dengan senyum oleh kedua orang tuanya. "Pah, minggu ini Kita ke rumah Ibu Aku ya, Pah," ucap Mala kepada suaminya. "Emmmm, ayo," sahut Evant tersenyum, "Lagian anak-anak kayaknya juga bosan di rumah melulu," sambungnya. "Kalau besok?" tanya Mala. "Besok juga boleh," jawab Evant, "Eh, tapi besok masih hari sabtu, kan?" sambungnya bertanya, "Julliant besok masih harus ke sekolah, kan?" sambungnya lagi. "Oh iya, Aku lupa," sahut Mala tersenyum tersipu malu. "Iiiih," ucap Evant sembari mencubit pipi imut yang di miliki oleh Istrinya itu. "Aduuuh," jerit Mala, "Sakit tau, Pah," sambungnya sembari mengusap-usap pipinya yang terlihat memerah ketika di cubit. "Pah, Ibu bilang di dekat rumah Ibu ada yang mau jual rumah," ucap Mala. "Hmmm," sahut Evant menatap Mala. "Terus, Ibu suruh Kita buat beli rumah itu, Pah," sambung Mala. "Hmmmm," sahut Evant lagi. "Kata Ibu, biar nggak jauh kalau pengen nengok Julliant sama Clara, Pah," jawab Mala. "Terus Kamu gimana? Mau nggak?" tanya Evant. "Aku sih nggak pengen, Pah," jawab Mala. "Kenapa Kamu nggak mau?" tanya Evant, "Kan enak kalau tinggal dekat Ibu, jadi Kamu nggak ngerasa sepi kalau Aku pergi ke luar kota atau ke luar negri, Sayang," sambung Evant. "Iya, tapi Aku sudah merasa nyaman Pah, tinggal di sini..." jawab Mala, "Rumah sahabat-sahabat Aku juga dekat dari sini, jadi Aku nggak bakal kesepian kok," sambungnya. "Mungkin Ibu kesepian di sana sendirian, Sayang," ucap Evant tersenyum. Mendengar ucapan dari Evant, seketika Mala pun termenung memikirkan Ibunya. Setelah melepas kerinduan, kedua pasangan suami istri itupun tertidur. Dalam tidurnya, Mala terlihat gelisah karena bermimpi buruk. Dalam mimpinya, Mala melihat suaminya yaitu Evant bersama Julliant pergi jauh meninggalkan Mala dan Clara. Mala menggendong Clara sembari berlari mengejar Evant dan Julliant, dan tak sadar Mala pun mengigau berteriak, "Evaaaant, Julliaaant, Tunggu!" Evant yang terkejut mendengar Mala yang sedang mengigau pun segera menyadarkan istrinya tersebut. "Sayang! Sayang!" ucap Evant menyadarkan Mala, seketika Mala tersadar dari mimpi buruknya kemudian memeluk erat suaminya tersebut. "Sayang, jangan tinggalin Aku," peluk Mala erat. "Aku nggak kemana-mana kok, Sayang," jawab Evant menenangkan istrinya. "Aku mimpi, Kamu sama Julliant pergi jauh ninggalin Aku sama Clara," jelas Mala menangis tersedu dan semakin erat memeluk tubuh Evant. "Itu cuman mimpi, Sayang," sahut Evant, "Aku janji nggak akan tinggalin Kamu," sambungnya menenangkan istrinya yang masih menangis. "Janji ya," sahut Mala tersedu. "Iya, janji," sahut Evant tersenyum, "Ya udah, besok Julliant libur dulu, Kita ke rumah Ibu besok," sambungnya menatap wajah Mala yang berlinang air mata, dan Mala pun mengangguk dengan senyum tipis. Ketika matahari merangkak naik menampakkan dirinya, Mala membuka matanya yang terkena oleh silaunya sang surya, kemudian melihat ke sebelahnya yang ternyata suaminya Evant tidak berada di sana. Mala segera beranjak bangun dari kasur empuknya kemudian berlari ke luar kamar mencari suaminya. Betapa terkejutnya Mala, ketika dia tiba di ruang makan yang ternyata sudah tersedia makanan untuk sarapan dan dilihatnya kedua anaknya yang sedang dengan lahapnya menyantap makanan yang tergeletak di atas meja makan tersebut. "Gimana tidurnya, Sayang." Seketika pelukan erat dari belakang mengejutkan Mala. "Sayang! Kamu ngagetin aja!" sentak Mala terkejut dengan perlakuan suaminya sembari menyikut ke perut Evant dan membuat Evant membalas menggelitiki Mala. "Sayang, Aku udah siapin buat Kamu," ucap Evant menarik tangan Mala menuju meja makan. "Ini semua Kamu yang bikin?" tanya Mala terdecak kagum dengan suaminya. "Ya dong," jawab Evant, "Gimana De? Enak nggak buatan Papah?" ucap Evant bertanya kepada anak perempuannya Clara. "Emmmm, enak Pah," jawab Clara yang mulutnya penuh dengan makanan. "De, nggak boleh bicara kalau lagi makan," sahut Julliant mengajari adiknya. "Iya De, kalau lagi makan nggak boleh bicara ya," sambung Evant tersenyum ke arah kedua putra-putrinya. Mala hanya bisa tersenyum bahagia melihat dan merasakan kehangatan di dalam rumah itu. "Jadi hari ini bibik libur dong," ucap Mala seraya mengernyitkan matanya sebelah kearah Bik Santi pembantu rumah tangga mereka. Bik Santi hanya senyum-senyum senang karena pekerjaannya merasa diringankan oleh majikannya yang dari tadi memasak sarapannya sendiri sehingga dia bisa cepat-cepat mengerjakan pekerjaan rumah lainnya sebelum tuan besar Arnold, ayahnya Evant dan nyonya Anabelle ibu tirinya Evant pulang dari joging. "Oh iya Sayang, Aku sudah beritahu ke sekolah kalau Julliant izin beberapa hari ke depan," ucap Evant memberitahu istrinya. "Kapan Kita berangkat ke rumah Ibu, Pah?" tanya Mala kepada suaminya. "Ya, setelah Kamu siap, Sayang," jawab Evant tersenyum. "Ya udah, Aku mandi dulu ya," ucap Mala seketika mencubit perut Evant dan kemudian segera menuju ke kamar mandi. "Mandinya jangan lama-lama ya, Sayang," ucap Evant setengah berteriak kepada Mala sembari tertawa yang juga Julliant dan Clara pun ikut tertawa. "Iya," sahut Mala. Mala tidak menghiraukan suami dan anak-anaknya yang sedang menertawakannya karena ia sering kelamaan mandi, bahkan terkadang membuatnya tidak sempat berdandan dan membuat dia mengeluh kepada anak-anak dan suaminya karena mereka selalu mendesak Mala yang juga lama ketika berdandan. "Opaa, Omaa," teriak Clara dengan nada mungilnya seketika berlari ke arah kakek dan neneknya yang baru saja pulang dari lari pagi. "Hai cucu Oma yang imut," ucap Ibunya Evant sembari memeluk tubuh mungil Clara. "Oma sama Opa ikut nggak ke rumah Nenek?" tanya Clara masih dengan suaranya yang masih cadel. "Oma sama Opa nggak bisa ikut, Sayang," sahut Evant. "Kenapa nggak bisa ikut, Pah?" tanya Clara. "Iya Sayang, Opa sama Oma nggak bisa ikut," sahut Ayahnya Evant, "Opa sama Oma kan udah tua, jadi nggak di bolehin sama dokter jalan jauh-jauh, nanti kecapean" sambungnya. "Hhhmmm." Wajah Clara terlihat cemberut, "Padahal, kalau Opa sama Oma ikut pasti lebih seru." Ayah dan Ibunya Evant hanya bisa tersenyum melihat tingkah menggemaskan dari Clara, walau Julliant yang sejak tadi sedang asik menyantap sarapan dengan lahap sampai tidak menyadari kedatangan Kakek dan Neneknya. "Cucu Opa yang satu ini asik sekali makannya, sampai nggak sadar kalau Opa sama Omanya datang," ucap Ayahnya Evant kepada Julliant cucunya ketika menepuk pundak Julliant. "Eh, Opa," sentak Julliant kaget, "Hehe," cengir Julliant tersipu malu. Beberapa saat kemudian, tiba Mala yang sudah siap untuk berangkat. "Ayah, Ibu," ucap Mala sembari mencium tangan kedua mertuanya tersebut. "Rencananya berapa hari kalian pergi, Sayang?" tanya Ayahnya Evant kepada Mala. "Berapa hari, Pah?" tanya Mala melirik suaminya. "Eemmmm, kira-kira empat sampai lima hari, Yah," jawab Evant memberitahu Ayahnya. "Ya sudah, kalian hati-hati ya di jalannya," ucap Ibunya Evant tersenyum di ikuti Ayahnya Evant yang juga tersenyum. "Iya, Bu," sahut Evant mengangguk, "Oh iya Sayang, pakaian udah Kamu siapin?" tanya Evant kepada istrinya. "Iya, sudah Aku siapin, ada di depan kamar, Sayang." Mala mengangguk senyum. "Ya sudah, Aku mau ngambil koper dulu ya, Yah, Bu," ucap Evant kemudian berjalan ke arah kamar di iringi oleh Mala yang juga ikut membantu Evant. "Cucu-cucu Opa jangan bandel ya kalau di rumah Nenek," ucap Ayahnya Evant kepada Julliant dan Clara. "Oke Opa," sahut Julliant, "Paling-paling si Dede nih yang suka cerewet," sambungnya. "Iih Kakak, apaan sih, Dede nggak bandel kok," sahut Clara menggembungkan pipinya. Tiba-tiba, Evant dan Mala muncul memberitahu bahwa semuanya sudah siap dan akan segera berangkat. "Julliant, Clara, Ayo," ucap Evant mengajak anak-anaknya. "Asiiiik," seru Julliant dan Clara bersamaan seketika berlari ke arah Evant ayah mereka. "Ayah, Ibu, Kami berangkat dulu," ucap Evant berpamitan sembari mencium tangan kedua orang tuanya di ikuti oleh Mala yang juga mencium tangan kedua mertuanya. "Ayo, kalian juga harus salaman sama Opa dan Oma," ucap Mala menyuruh anak-anaknya. "Ayo sini," ucap Ibunya Evant tersenyum sembari mengulurkan tangan kanannya yang kemudian di sambut oleh Julliant yang terlebih dahulu mencium tangan kakek dan neneknya lalu di ikuti oleh Clara. Setelah Evant, Mala, Julliant, dan Clara memasuki mobil, terlihat dari luar, Ayah dan Ibunya Evant yang melambaikan tangan ketika melihat mobil di hadapan mereka mulai bergerak dan kemudian perlahan keluar dari area halaman depan rumah yang lumayan luas dan megah tersebut. Setelah beberapa jam perjalanan.... Evant, Mala, dan kedua anak mereka sedang berada dalam mobil yang hampir tiba di kawasan perumahan elit—Perumahan Cempaka. Di tengah perjalanan, Evant merasakan sesuatu yang tidak beres dengan mobil yang dikendarainya. Evant pun membawa mobil itu menepi dan memeriksa. Ternyata mobil yang mereka naiki mengalami kebocoran ban—bagian kanan depan mobil. Mala menoleh ke kanan sambil sedikit mengangkat tubuhnya untuk menatap suaminya yang berjongkok di sebelah kanan ban bagian kanan depan mobil. "Kenapa, Pah?" tanya Mala. "Ini, ban depannya bocor, Mah," jawab Evant sambil memegangi ban yang bocor itu. "Ooh." Mala mengangguk. Evant berdiri, kepalanya menoleh ke kanan kiri, namun tak seorang pun yang melintas. "Di mana ya ada tukang tambal ban sekitar sini?" gumam Evant dalam hati. Di ambilnya smartphone dari dalam mobil, lalu mencoba menghubungi kenalannya yang bekerja di bengkel. Namun, ternyata smartphone miliknya tidak mendapat sinyal untuk melakukan panggilan. "Mah," panggil Evant. "Hmm?" tanya Mala menoleh ke arah Evant yang berdiri di luar mobil. "Mamah tolong telpon bengkel langganan kita dong," pinta Evant, "Punyaku nggak dapet sinyal nih." "Bentar," Mala mengangguk, kemudian melakukan apa yang diminta suaminya. Ternyata, ia juga tidak mendapat sinyal. "Aku juga nggak bisa nelpon, Pah. Nggak ada sinyal di sini." "Duh, gimana nih," Evant bingung tak karuan. Wajahnya terlihat gelisah. "Kasian mereka," gumam Evant pelan sambil menatap kedua anaknya yang telah tertidur di kursi belakang. Tak lama kemudian, tampak sebuah Motorsport berwarna putih sedang melintas. Tidak mau membuang kesempatan, Evant pun melambai ke arah lelaki pengendara motorsport putih itu. Lelaki itu menggendong sebuah tas gitar di belakang tubuhnya. Lelaki itu menepi dan menghampiri Evant. "Ada apa, Bro?" tanya lelaki itu. "Ini, ban saya bocor," jawab Evant. "Di sekitaran sini ada nggak tempat tambal ban?" Lelaki itu menatap ke depan, tepat ke jalan raya beraspal,kemudian menoleh ke belakang. Detik berikutnya, ia kembali menatap Evant. "Kayaknya di sekitar sini nggak ada tempat nambal ban, kalau di , ..." ia menunjuk ke arah depan, "... bundaran alun-alun ada. Tapi, lumayan sih kalau dari sini." "Saya boleh minta tolong nggak? Antarkan saya ke sana sebentar sekalian sama ban saya yang bocor?" tanya Evant. "Ayo," lelaki itu pun bersedia membantu Evant. Lelaki itu meletakkan tas gitarnya dengan bersandar pada badan mobil hitam milik Evant. Sementara Evant sibuk untuk melepaskan ban mobil yang bocor. Setelah selesai melepaskan ban itu, Evant menyempatkan untuk mendatangi Mala. "Mah, aku mau nambal ban dulu. Dikunci aja kaca sama pintunya, Mah. Takut ada orang jahat," ucap Evant. Lelaki itu mengerutkan kedua keningnya, menatap ke arah bagian dalam mobil dan mengetahui bahwa terdapat dua anak kecil sedang tertidur. Detik berikutnya, ia berjalan mendatangi Evant. "Emm, Bro. Kalau loe ikut, kasian istri sama anak-anak loe ditinggal di sini sendirian. Takutnya rawan kalau nggak ada jagain." "Bener sih, tapi gimana sama ban saya?" Evant bingung. "Gini aja, bannya biar saya yang bawa." Evant terlihat tidak percaya dengan lelaki itu. "Loe nggak perlu takut. Gini deh..." Lelaki itu mengambil dompetnya, kemudian menyerahkan kartu identitasnya kepada Evant, "Loe simpan KTP gue sebagai jaminan. Lagian kasian anak sama istri loe kalau ditinggal di sini. Ban loe uang bocor, biar gue yang urus." Evant pun mengangguk percaya. Lelaki itu menaikkan ban mobil ke atas motornya dengan dibantu Evant. "Sebentar," ucap Evant saat lelaki itu telah bersiap untuk mengendarai motorsport putih. "Ini..." Evant menyerahkan lima lembar uang kertas berwarna merah kepada lelaki itu. "Kalau nanti uangnya kurang, kamu ambil lagi aja ke sini," ucap Evant. "Ini malah kebanyakan," sahut lelaki itu, "Biasanya juga kalau nambal ban mobil cuman lima puluh ribu," tambahnya sambil kembali menyerahkan empat lembar uang kepada Evant dan menyisakan satu lembar di tangan kirinya. "Gue berangkat dulu, moga aja di sana nggak antri." Ia pun memacu motorsportnya dengan cepat. Menuju bundaran alun-alun di mana terdapat sebuah tempat tambal ban di sana. Evant terdiam di dalam mobil, menunggu kedatangan lelaki yang membawa ban mobilnya ke tempat tambal ban sambil menatap kartu identitas milik lelaki yang membawakan ban mobilnya. "Andrew Sanjaya," gumam Evant sambil menatap kartu identitas di tangannya. "Siapa Andrew Pah?" tanya Mala. "Ini, Mah," Evant menunjukkan kartu identitas kepada istrinya, "KTP punya cowok yang tadi bantuin kita." Mala membulatkan mulutnya dengan suara sesuai bentuk mulutnya sambil menggerakkan kepalanya ke bawah. Setelah beberapa puluh menit, Evant melihat di depan, sebuah motorsport putih yang menuju ke arah mobilnya. Motorsport itu membawa ban yang sebelumnya ia titipkan. Evant pun bergegas keluar dari mobil dan mendatangi lelaki itu. Lelaki itu perlahan menurunkan ban dari motorsportnya, kemudian menyandarkan di dekat bagian ban yang lepas. "Gimana?" tanya Evant. "Oh, ini uangnya kelebihan. Ternyata cuman dua puluh lima ribu," ucap lelaki itu sambil mengembalikan kembalian. "Nggak usah, biar buat kamu aja. Itung-itung buat gantiin bahan bakar kamu," ucap Evant. "Ikhlas nih?" tanya Lelaki itu memastikan. "Bener, saya ikhlas. Lagian seharusnya saya yang sangat berterima kasih, soalnya udah mau bantuin saya," ucap Evant. "Sesama pengguna jalan itu harus saling tolong menolong," sahut lelaki itu dengan santai. "Ya sudah, pasang dulu bannya." Evant mengangguk, kemudian memasang ban kanan depan mobilnya ke tempat semula. Setelah selesai, ia kembali berterima kasih kepada lelaki itu. "Sama-sama," sahut lelaki itu kemudian menaiki motorsportnya dan segera pergi. Evant pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan, memasuki kawasan perumahan bernama Perumahan Cempaka. Mobil yang dikendarainya telah tiba di depan rumah Ibunya Mala yang bertempat di sebuah perumahan yang bernama Perumahan Cempaka. Terlihat pintu mobil terbuka, kemudian Julliant dan Clara turun terlebih dahulu disusul Mala dan Evant. Mala mengangkat tangan kanannya dengan posisi jemari mengepal dan mengetukkannya ke permukaan pintu sebanyak tiga kali. "Bu," panggil Mala. "Iya sebentar." Terdengar samar suara seorang wanita paruh baya dari dalam rumah, kemudian diiringi suara langkah kaki yang mendekat ke arah depan. Detik berikutnya, pintu di hadapan Mala perlahan terbuka. "Neneeek," teriak Julliant dan Clara bersamaan ketika melihat neneknya membukakan pintu. Mereka berdua berlari ke arah neneknya. "Hai cucu-cucu Nenek," ucap Ana kepada cucu-cucunya sembari memeluk mereka, "Ayo masuk, kalian pasti capek habis dari perjalanan jauh, pasti lapar, Nenek masak banyak banget loh," ajaknya sembari menuntun kedua cucunya masuk ke dalam kemudian di iringi oleh Mala dan Evant. Mereka lalu mencuci tangan ke kamar mandi dan mengeringkannya hingga bersih, kemudian duduk kursi yang menghadap ke meja makan berbentuk persegi. Ibu Ana menyiapkan makanan untuk Mala, Evant dan kedua cucunya. Karena perjalanan yang lumayan jauh, membuat perut mereka sudah mulai lapar. Ibu Ana tinggal sendiri di rumah, mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Rumahnya sederhana dan juga sangat bersih. Ia senang mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian karena ia merasa tidak nyaman kalau badannya sehari saja tidak bergerak. Itulah alasan dirinya menolak ketika Evant menawarkannya untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya di rumah. "Emm, ini pasti enak," ucap Mala kegirangan, "Sudah lama Aku gak makan masakan Ibu." Ibu Ana tersenyum lembut melihat tingkah anaknya yang masih saja bermanja dengannya. Ia menyiapkan makanan untuk dia makan sambil menyuapi cucu kecilnya, Clara. Evant dan Mala pun makan dengan lahapnya. Karena masakan Ibu Ana memang sangat enak. Kalau beliau punya usaha di bidang kuliner pasti sudah sangat banyak pelanggan yang akan datang dan sudah pasti akan cepat terkenal. "Oh iya Mal, kamu jadi kan mau lihat rumah yang mau dijual sama teman ibu itu?" tanya Ibu Ana memecah keheningan saat mereka makan. Mala meminum segelas air, lalu memandang ke arah Evant yang duduk di sebelah kirinya. Ia mendapati sebuah anggukan dengan senyum tipis di wajah suaminya sebagai tanggapan. "Iya Bu, nanti Aku sama Evant kesana, mau lihat-lihat rumahnya dulu, sama Ibu juga ya," sahut Mala. "Iya, rumahnya bagus loh, besar juga," jelas Ibu Ana. "Nek, Nenek," ucap Julliant, kemudian Ibu Ana menengok ke arah Julliant, "Nenek masih punya PS yang kemaren kan Nek?" sambungnya. "Masih dong, Sayang," jawab Ibu Ana kemudian beranjak dari duduknya, "Ayo, Nenek anter ke ruang PS-nya," sambungnya mengajak Julliant. "Asiiiikkk," teriak Julliant berlari ke arah Neneknya. Setelah terlihat jauh meninggalkan Mala, Evant dan Clara yang tengah melahap hidangan di meja makan, Mala bergumam kepada Evant. "Sayang, Aku nggak pengen," keluhnya. "Nggak ada salahnya kita lihat-lihat dulu, Sayang," bujuk Evant, "Kalau kamu tolak sekarang, takutnya ibu Kamu nanti tersinggung," lanjutnya. "Hhhmmmm, iya deh," sahut Mala. "Nah, gitu dong," ucap Evant sembari mengusap kepala istrinya. Tak berapa lama kemudian Ibu Ana kembali setelah mengantar cucu laki-lakinya ke ruang PS sembari membawa sepiring kue yang baru matang. "Waaaahh," ucap Clara ketika melihat kue yang di bawa Neneknya. "Clara suka, kan?" tanya Ibu Ana. Clara mengangguk. "Dede habisin ya, Nek," ucapnya. "Hus, Dede, nggak boleh kayak gitu," ucap Mala menegur. "Nggak apa-apa, Sayang," sahut Ibu Ana, "Di dapur masih banyak kok," sambungnya. Clara dengan lahap segera menyantap kue yang tergeletak di atas meja makan tersebut. "Mala, kapan kalian mau melihat rumah yang Ibu bilang barusan?" tanya Ibu Ana. "Emmm, terserah Ibu aja, Bu," sahut Mala tersenyum. "Gimana kalau sekarang, mumpung yang punya rumah masih ada lagi beres beres di sana," ucap Ibu Ana. "Baik, Bu." Mala melirik Evant kemudian menatap Ibunya lagi sembari mengangguk. "Ayo, kita siap siap dulu," ucap Ibu Ana. "Ayo, Dede, beresin dulu makanannya, mau ikut nggak?" ajak Mala kepada Clara. "Ikuut," teriak Clara, "Kakaaak ikut nggak," teriaknya mengajak kakaknya. "Kakak di sini aja, main," teriak Julliant dari dalam kamar yang letaknya tidak jauh dari ruang makan. Mereka pun bersiap untuk pergi bermaksud melihat-lihat rumah yang di tawarkan oleh Ibunya, kemudian Evant menyiapkan mobil. "Nggak usak naik mobil, Sayang," ucap Ibu Ana, "Rumahnya nggak jauh kok dari sini, kita jalan kaki aja, Clara biar Ibu yang gendong," sambungnya. "Oh gitu ya, Bu," sahut Evant kemudian mematikan mesin mobilnya, "Ayo!" lanjutnya. Mereka pun berjalan kaki menelusuri jalan ke arah rumah yang mereka tuju, kurang dari tiga menit mereka telah tiba di depan rumah yang di maksud. "Gimana, Sayang?" tanya Ibu Ana kepada Mala anaknya. Mala hanya terlihat senyum terdiam tanpa kata ketika melihat rumah yang ditunjukkan Ibunya tersebut, bukan tidak suka, melainkan mata Mala seakan tak mau berpaling dari rumah tersebut dan bermaksud segera hendak memilikinya. Rumah itu begitu indah dengan warna cat biru muda menambah keindahannya, meski terlihat sedikit tua tapi, rumah itu tetap bersih dan terawat. Saat memandangi rumah itu Mala seakan masuk kedalam sebuah khayalan. Benar-benar indah rumah itu seperti hidup Mala tidak mampu berpaling dan terus menatap keindahannya. "Sayang?," ucap Evant memegang bahu Mala. "Eh." Mala tersentak. "Gimana rumahnya, Sayang?" tanya Evant melanjutkan pertanyaan dari Ibu Ana. "Iya, aku mau, Sayang," jawab Mala tersenyum ke arah Evant dan Ibunya. "Rumahnya sangat indah, Sayang. Bagaimana menurutmu?" tanya Mala kepada Evant. Evant hanya mengangguk perlahan, "Iya indah, jika Kamu menyukainya, maka Kita akan segera membelinya," jawabnya kemudian. Mala tersenyum senang begitu pun dengan Ibu Ana yang berharap anak dan cucunya bisa segera pindah rumah agar tidak jauh dengannya. Evant juga merasa bahagia karena melihat istrinya begitu bahagia. "Lalu, kapan kita akan pindah?" tanya Evant kemudian. "Besok," jawab Mala dengan pasti. "Hmm, besok apa tidak terlalu cepat Sayang, lalu bagaimana dengan liburan kita?" tanya Evant lagi dengan nada sedikit bingung melihat Mala yang terlihat buru-buru ingin pindah. "Liburan bisa kita tunda setelah pindah, kan?" jawab Mala meyakinkan suaminya. Evant menghela nafas panjang dengan keputusan istrinya yang selalu terburu-buru. Lalu dia tersenyum dan mencubit hidung Mala dengan gemas sehingga membuat Mala meringis kesakitan. "Baiklah besok kita pindah," sahut Evant. Mala tersenyum dan Ibu Ana pun terlihat begitu gembira. "Kita cari orang dulu buat bersih-bersih di rumah baru kamu, Mal," ucap Ibu Ana sembari menggendong Clara cucunya. "Ibu tahu nggak, di mana ada orang yang mau bantu bersih-bersih rumah?" tanya Mala. "Iya, nanti Ibu tanyakan ke tetangga Ibu," jawab Ibu Ana. Setelah beberapa jam mereka melihat-lihat rumah tersebut, mereka pun kembali pulang ke rumah Ibunya Mala untuk beristirahat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook