Chapter 5 - Ngadat

574 Words
Bretttt. Bretttt. Brettttt. Tiga kali aku menggunakan kaki untuk menyalakan motor dengan kick starter tapi tak juga kunjung berhasil. Maklum gaesss, ini motor tua, jadi wajar kalau sering ngadat. Setelah kecapekan melakukan usaha yang sia-sia selama beberapa kali itu, aku hanya bisa terduduk lemas di atas bale-bale bambu yang ada di teras depan rumahku. Bale-bale bambu ya, bukan baling-baling bambu milik Doraemon. “Ngapain An? Telat ya?” terdengar suara seorang wanita menegurku dari sebelah kanan rumah. Aku menoleh ke arah kanan dan melihat sesosok wanita mengenakan daster panjang sedang menjemur pakaian di teras depan rumahnya. Siapa lagi kalau bukan Mbak Yanti yang barusan selesai dengan urusannya di kamar mandi. Senyumnya teduh, wajahnya adem, pakaiannya juga sopan, menampilkan sosok ibu rumah tangga idaman. Tapi semua itu tidak bisa menyembunyikan kecantikan tubuhnya dariku. Aku masih bisa melihat dengan jelas miliknya yang menggumpal padat dan terangkat ke atas saat dia sedang menjemur baju dan sedikit membungkuk ke belakang, tepat membelakangiku. Asuuuuuu. Aku menepuk sendiri kepalaku. Sudahlah terlambat, motor macet, malah kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran kotor yang tak seharusnya kumiliki untuk tetanggaku sendiri. Mbak Yanti tertawa kecil melihat tingkahku, “ngapain kaya orang gila gitu? Tahu-tahu mukul kepala sendiri?” tanya Mbak Yanti pelan. Akhirnya aku pun membuang napas panjang dan menyenderkan tubuhku ke dinding papan di belakangku. Go to hell!! Sumpahku dalam hati sambil mencoba rileks dan melupakan semuanya. Eh? Tapi tunggu dulu, aku kan nggak pandai bahasa inggris, kenapa juga aku menyumpah pake bahasa itu? Aku kemudian melirik ke arah Mbak Yanti dan bergumam pelan, “kemarin Bapak dibawa polisi, semalam mimpi buruk dikejar hantu, tadi pagi mas penjual soto nggak mau ngejualin lagi, tadi pagi mau berangkat sekolah malah perut mules, ini sekarang malah motor ngadat. Komplit bener kan Mbak?” kataku ke arah Mbak Yanti. Mbak Yanti mendengarkan kata-kataku setelah itu dia pun terkikik geli setelah aku selesai cerita. “Iya, apes bener deh nasibmu, An,” kata Mbak Yanti masih sambil tertawa kecil. Di kampung, memang aku biasanya dipanggil An, biar keren dikit maksudnya gitu, maklum, sekarang kan jaman anak-anak namanya keren-keren. Tapi karena Bapak single parent dan pendidikannya rendah, dengan santainya dia memberiku nama Handoyo, di saat nama anak lain adalah Rangga atau pun Rexy atau Salsabilla. Sempakk bener kan? “Sudahlah apes sepagian, masih jomblo lagi ya kan?” lanjut Mbak Yanti setelah kami berdua terdiam sebentar sambil tertawa ngakak. Aku pun tersenyum kecut, “Jangan diulang-ulang terus gitu napa sih Mbak? Masih mending aku jomblo ya kan, memang belum punya pasangan, daripada punya suami tapi masih mainan jari di kamar mandi,” kataku dengan niatan ingin membalas ejekan Mbak Yanti dan tanpa sadar menyebutkan kejadian barusan di kamar mandi saat tanpa sengaja aku mendengar dia, lagipula mungkin dia pikir aku jomblo, padahal, belum tahu dia. Tapi ternyata reaksi Mbak Yanti setelah mendengar kata-kataku sungguh di luar dugaan, mukanya langsung merah padam dan dengan cepat dia langsung membawa ember berisi cucian yang ada di dekat kakinya. Tanpa berkata apapun, dia langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu depan rumahnya dengan keras. Setelah itu tidak terdengar suara apapun dari rumahnya. Aku cuma mengangkat bahuku, “Kalau kamu ngejek orang, ya kudu siap-siap bales diejek. Jangan nganggep kalau orang bakalan diem aja deh kalau diejekin terus,” batinku dalam hati mencari pembenaran. Meskipun sebenarnya, aku deg-degan dan sedikit ketakutan juga. Takut kalau Mbak Yanti lapor ke suaminya terus nanti suaminya ngamuk, kan panjang coi urusannya. Mana Bapak sedang ada masalah ya kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD