Beberapa saat kemudian, Mbak Aminah memutar badannya dan berniat memberikan korek itu kepadaku, aku menerimanya dengan tangan kanan sedangkan tangan kiriku meremas celana abu-abu tepat di bagian burung kecilku. Tentu saja aku sengaja melakukannya. Aku ingin melihat reaksi Mbak Aminah yang ada di depanku.
Benar saja, seperti dugaanku, tatapan mata Mbak Aminah turun ke arah tangan kiriku yang ada di bawah sana.
‘Eh? Apaan sih anak ini? Masa iya mainan burung kek gitu?’
Aku kembali mendengar suara Mbak Aminah tanpa melihatnya membuka mulut sama sekali dengan tatapan mata yang masih tertuju ke arah tangan kiriku. Kini aku yakin kalau yang kudengar barusan bukanlah suara dari mulutnya, mungkin suara hatinya atau suara pikirannya?
Apakah aku kini bisa membaca pikiran orang lain?
Gila!!
“Kamu ngapain An? Kamu tu kurang ajar banget ya!!” maki Mbak Aminah tiba-tiba sambil mendelik ke arahku.
Dengan cepat aku melepas tangan kiriku.
“Kamu diajari kek gitu ya di sekolahmu??” lanjutnya lagi.
Aku menundukkan kepala dan tak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wanita di depanku itu. Setelah itu, aku mendengar lebih banyak lagi cercaan yang sama sekali tak kudengarkan. Kepalaku hanya dipenuhi satu hal saja saat ini.
Suara-suara bisikan itu, aku sekarang yakin kalau itu adalah pikiran dari Mbak Aminah.
“Maafin aku ya Mbak?” jawabku setelah hampir lima menitan diberondong cercaan dari bibir tipis wanita di depanku itu.
“Iya. Tapi janji jangan diulangi lagi. Nggak sopan tau!!” kata Mbak Aminah.
Aku terdiam dan sebenarnya tak peduli. Aku tahu pasti apa yang terjadi barusan. Sesaat tadi setelah Mbak Aminah melihatku, aku mendengar bisikan itu darinya. Kini aku ingin segera pulang dan mencari tahu apa penyebab keanehan yang aku alami sedari pagi ini.
“Makasih ya Mbak, aku pulang dulu,” jawabku setelah Mbak Aminah terdiam. Mungkin dia kecapekan setelah beberapa menit ngomeli aku. Ngomel-ngomel kan butuh tenaga juga cuy.
“Eh? Mau kemana?” tanya Mbak Aminah ketus.
“Pulang, Mbak,” jawabku.
“Enak aja. Kamu tu dah kurang ajar sama Mbak,” kata Mbak Aminah sambil menuding ke arahku.
“Kan, aku sudah minta maaf, Mbak,” jawabku.
Mungkin karena suara Mbak Aminah agak keras dan dia juga sudah ngomel-ngomel selama beberapa menit, seorang wanita muda yang menjadi karyawan dia di toko kelontong ini datang mendekat.
“Napa, Mbak?” tanya si Mbak yang baru datang ke arah Bossnya sambil melirik curiga ke arahku.
Mbak Aminah sedikit tergagap dan menatapku marah, tapi aku tidak melihat rasa benci disana. Kalau aku sendiri? Jelas deg-degan lah. Kalau sampai Mbak Aminah cerita soal kejahilanku tadi, bisa-bisa aku dihajar tetangga-tetanggaku karena melakukan perbuatan tak senonoh. Yah, meskipun sebenarnya aku cuma iseng tadi.
Melihat Bossnya masih saja terdiam, si Mbak mendekat dan bertanya dengan nada curiga, “Mbak?”
Mbak Aminah menolehkan kepalanya ke arah si Mbak, “Ndak pa-pa kok, udah sana,” kata Mbak Aminah sambil memberikan isyarat lambaian tangan agar si Mbak kembali ke tempatnya tadi.
Fyuuhhh.
Aku menarik napas lega. Untung saja, Mbak Aminah memilih untuk diam. Kalau dia bercerita ke karyawannya barusan soal tingkah kurang ajarku, bisa-bisa cerita Life of An ini berhenti sampe di sini. Lha iya lah, kan aku bakalan diseret rame-rame oleh warga desa kalau sampai kelakuanku tadi ketahuan.