Claret Room pagi itu terasa sunyi dan eksklusif. Langit-langit tinggi dan tirai beludru marun memantulkan sinar matahari pagi yang menyentuh permukaan meja marmer dan aroma kopi segar di udara. Di ruangan ini, waktu berjalan lebih pelan. Lebih mewah. Lebih … terkontrol.
Lucien Clairmont duduk santai di kursi antik dekat jendela, setumpuk dokumen di tangannya. Kemeja putihnya tergulung rapi di lengan, satu kaki disilangkan dengan elegan. Matanya fokus pada halaman terakhir yaitu hasil tes DNA.
Damien sedang rebahan di sofa sebelah, memainkan ponselnya sambil ngemil coklat batang premium dari koper pribadinya.
Seojun, seperti biasa, duduk menyendiri di sisi ruangan, earphone cuma terpasang di satu telinga. Tapi matanya melirik ke arah Lucien, menunggu kesimpulan.
Lucien mendengus pelan lalu menyodorkan hasil tes ke atas meja. “Negatif,” katanya tenang.
Damien langsung terduduk. “HA! Gue bilang juga apa! Gila, drama Evelyn tuh kayak plot sinetron jam sebelas malam. Kalo positif, gue udah siap cari baby stroller emas buat lo, Bro.”
Lucien tidak tersenyum tapi tatapannya ke Damien seperti ingin melempar ponsel itu ke kolam koi. “Lo lupa, gue bahkan nggak pernah keluar di dalam,” sahutnya datar, nada suara setipis silet.
Damien terbahak. “Lo tau nggak, kalimat itu kalo dipotong setengah bisa jadi tweet viral.”
Seojun akhirnya buka suara. Dingin. Pelan. “Harusnya lo kirim bunga ke Evelyn sekalian. ‘Terima kasih sudah mempermalukan diri sendiri.’”
Damien menyeringai, “Gue bisa bikinin kartunya. ‘Dari ayah yang bukan ayahmu.’”
Lucien menatap keduanya dengan ekspresi lelah. “Kalian serius pengin gue gantung di balkon sekarang?”
Damien mengangkat tangan. “No violence before brunch, bro.”
Seojun hanya kembali menatap ke luar jendela. Tapi sudut bibirnya sedikit terangkat walaupun nyaris tak terlihat.
Lalu pintu otomatis Claret Room terbuka. Beberapa detik kemudian, udara yang tadinya tenang berubah. Beberapa Flameborns masuk.
Senyum manis mereka mengembang, langkah mereka luwes seperti model runway. Aroma parfum mahal, heels yang berbunyi di lantai marmer, dan niat yang jelas terpampang di sorot mata mereka, mendekat ke Tridents.
Damien adalah yang pertama bereaksi. Dia langsung bangkit dengan senyum nakal penuh misi sosial. “Ah, pagi juga, ladies,” sapanya sambil berdiri setengah menyambut, setengah menyebar pesona.
“Pagi, Damien,” sahut salah satu dari mereka, suaranya sengaja dilirihkan setengah desahan. “Kamu makin glowing, deh.”
Damien tertawa pendek. “Itu karena gue mimpiin lo semalem.”
Sementara itu, dua Flameborns lain sudah mendekat ke arah Lucien. Salah satu dari mereka menyandarkan tubuh ke kursi kayu antik tempat Lucien duduk, jari-jarinya menyentuh ringan sandaran tangan kursi. “Lucien … kamu udah baca puisi yang aku kirim lewat DM MIRÁGES, belum?”
Lucien mengangkat alis sekilas, tatapannya tajam seperti biasa. “Yang kutulis ulang jadi esai tentang ‘toxic longing’? Sudah.”
Si Flameborn salah tingkah. Tapi masih mencoba tertawa manja.
Sementara itu, Seojun sedang didekati oleh Flameborn lain yang tampil dengan atasan off-shoulder dan tatapan i-just-woke-up-pretty. “Seojun … kamu tuh tipe yang cool banget, sih. Pasti nggak gampang jatuh cinta, ya?”
Seojun menoleh sekilas. “Nggak gampang. Dan nggak sekarang.” Boom. Shot fired. Flameborn itu pura-pura ketawa, padahal kakinya hampir keseleo sendiri karena mental breakdown instan.
Damien hanya bisa tertawa pelan dari kejauhan sambil mengangkat gelas kopinya. “Biasa. Seojun tuh nggak main slow burn. Dia main no burn at all.”
Lucien, yang sudah dikelilingi dua Flameborn, meletakkan file DNA di meja dengan gerakan pelan, lalu bersandar sedikit. “Boleh minta tolong?” katanya pada salah satu dari mereka, suaranya tenang.
Yang ditanya langsung berseri. “T-tentu!”
Lucien menyodorkan map bersegel. “Titip ini ke bin,” ujarnya.
Flameborn itu membeku. “Bin...?”
“Tempat sampah. Di luar pintu.”
Tertawa Damien meledak. Di tengah hiruk-pikuk flirting yang semakin absurd, tiba-tiba ada suara Bip.
Suara notifikasi terdengar dari ponsel Seojun. Dia mengeluarkannya dari saku, masih duduk seperti biasa. Jemarinya menyentuh layar. Matanya membaca cepat. Biasanya ekspresinya tidak berubah, selalu datar, dingin, nyaris anti-emosi. Tapi kali ini … ada sesuatu yang berbeda. Sudut bibirnya naik sedikit.
Seojun tersenyum. Bukan smirk sarkastik. Bukan ejekan. Tapi senyum yang asli dan lembut.
Lucien yang biasanya tak terusik apa pun, menoleh pelan ke arahnya.
Damien langsung menghentikan tawanya. Matanya menyipit dramatis. “Eh, lo tumben senyum?”
Flameborn yang barusan mencoba menggoda Seojun jadi bingung sendiri, masih setengah duduk di sandaran sofa, tak tahu harus merasa tersaingi … atau tersingkir.
Tapi Seojun tidak menjawab. Dia hanya memasukkan kembali ponselnya ke saku, bangkit dari kursi, dan tanpa berkata apa-apa, melangkah keluar dari Claret Room. Santai tapi ada aura purpose dalam langkahnya.
Lucien menatap punggungnya yang menjauh.
Damien bersandar ke sofa, mengangkat alis sambil berseru ke arah pintu yang mulai tertutup, “Woi, itu senyum yang kayak gitu cuma buat dua hal. Satu dapet gacha SSR, atau satu lagi dapet cewek!”
Lucien menggeleng pelan. “Dan Seojun nggak main gacha.”
Damien mengangguk penuh keyakinan. “Berarti fix. Kakaknya sh4dow.”
Lucien nyaris tersedak kopi.
Flameborns? Masih clueless. Tapi mulai bertanya-tanya siapa “sh4dow” itu. Dan di luar ruangan, Seojun baru saja membuka chatnya.
Jia: “Jason bilang kamu jago banget. Tapi jangan biarin dia nyuruh kamu farming terus ya.”
Seojun menatap layar. Senyumnya bertahan dua detik lebih lama dari biasanya. Lalu dia membalas.
“Aku dibayar gorengan. Worth it.”
***
[Elysian Garden]
Salah satu sudut paling tenang di St. Heliora yang jauh dari tatapan Flameborns, dari gossip MIRÁGES, dari segala kemewahan yang terlalu bising. Dan di sanalah Jia berdiri, duduk sebentar, lalu berdiri lagi. Jemarinya memegang kantong plastik kecil yang berisi bekal, aroma tumis sayur dan ayam goreng buatan ibunya masih hangat terperangkap di dalamnya.
Langkah kaki terdengar pelan. Yoon Seojun akhirnya muncul dari balik lorong kaca taman, masih mengenakan kemeja hitamnya yang rapi dan ekspresi yang dingin dan tak terbaca seperti biasa.
Hingga matanya menangkap sosok Jia yang berdiri dengan gugup, dan tangannya yang buru-buru menyodorkan sesuatu. “Ini,” kata Jia, agak cepat. “Mama nyuruh bawain. Katanya sekalian.”
Dia mengangkat kantong plastiknya ke arah Seojun. “Katanya kamu suka sup ayam kemarin itu.”
Seojun berhenti tepat di hadapannya dan menatap kantong itu. Lalu menatap Jia. Bukan dengan ekspresi tersentuh berlebihan. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang melembut. "Mamamu inget?” tanyanya pelan.
Jia mengangguk. “Iya. mamaku bilang kamu anaknya sopan dan baik.”
Seojun menerima kantong itu tanpa banyak kata. Tapi tangannya memegangnya hati-hati. Seolah itu bukan sekadar bekal, tapi sesuatu yang jauh lebih besar. Lebih … akrab.
Mereka diam sebentar. Angin lembut menyentuh dedaunan. Cahaya matahari jatuh di sela-sela batang pohon, menciptakan pola di tanah.
Jia berdeham pelan, mencoba mencairkan suasana. “Kalau kamu nggak suka, nggak apa-apa, kok. Bisa—”
“Aku suka,” potong Seojun, suaranya rendah tapi mantap. “Aku cuma … nggak sering dapet yang kayak gini.”
Jia menatap Seojun lembut lalu melirik jam di ponselnya. “Hmm … aku masih ada kelas habis ini,” gumamnya pelan, sambil merapikan tas di pundak.
Seojun mengangguk kecil. Tak menahan. Tak bertanya. Tapi sorot matanya jelas merekam tiap gerakan gadis itu.
“See you later, Yoonsei99,” ucap Jia sambil melangkah mundur, sempat tersenyum kecil sebelum berbalik pergi.
Seojun tidak menjawab. Tapi bekal di tangannya masih hangat dan untuk pertama kalinya, dia tidak merasa tergesa untuk kembali ke rutinitas. Dia hanya berdiri sebentar, menatap punggung Jia yang menjauh, lalu berbalik.
Dan melangkah kembali ke Claret Room.
***
[Claret Room]
Ketika pintu otomatis terbuka, semua kepala menoleh.
Lucien masih membaca buku, Damien sedang menjawab DM dari tiga Flameborn sekaligus, dan tentu saja para Flameborns itu masih berkeliaran, entah mencari validasi, gosip, atau perhatian.
Tapi yang membuat semua berhenti sejenak adalah … Seojun kembali. Membawa bekal rumahan dalam kantong plastik.
Dia duduk seperti biasa. Santai tapi kali ini membuka kantong itu perlahan, mengeluarkan wadah plastik kecil berisi tumisan sayur, nasi hangat, dan ayam goreng buatan tangan ibu Jia.
Lucien hanya mengangkat satu alis.
Damien? Tertarik seperti biasa. “Bro, lo serius bawa bekel?” Damien duduk lebih dekat. “Kayak … bekel rumah?”
Seojun mengangguk pelan. “Dari mamanya sh4dow.”
Dia membuka tutup kotak, aroma sedap langsung menyeruak di udara elit Claret Room yang biasanya cuma diisi aroma kopi mahal dan parfum Flameborn.
“Aroma nostalgia gitu ya,” Damien bergurau, matanya sudah fokus ke ayam gorengnya. “Gue coba dikit ya ... ” Tangan Damien hampir mengambil satu potong ayam ketika Seojun memblok-nya dengan sumpit secara cepat.
“Nggak boleh.”
Semua orang berhenti.
Damien bengong. “Lo serius?”
Seojun mengunyah tenang. “Ini punya gue.”
Para Flameborns di sekitar yang tadinya coba ikut nimbrung langsung saling melirik. Salah satu dari mereka berbisik, “Seojun … makan makanan kayak gitu?” Yang lain menambahkan, “Kupikir dia diet makronutrisi?”
Lucien menghela napas sambil menutup bukunya. “Dia bukan diet. Dia cuma jarang dikasih makan beneran.”
Damien masih nyengir. “Gila, lo galak banget buat bekel.”
Seojun melirik ke arah kotaknya. Kemudian tanpa ekspresi, dia berkata, “Karena ini bukan sekadar bekel.”
Lucien hanya menatapnya sejenak. Tak berkata apa-apa, tapi satu sudut bibirnya sedikit terangkat.
Dan Damien? “Lo tau nggak,” katanya sambil duduk lagi, “gue butuh cewek yang bisa bikin gue ngerasa kayak gitu soal nasi kotak juga.”