Part 25

2195 Words
Carina menopang dagunya di atas meja bar. Matanya memperhatikan gerak-gerik sang tante yang saat itu tengah memasak hidangan makan malam mereka. "Mata kamu gak pusing apa Cuma lihatin doang? Gak mau gitu ngambil pisau trus ngiris sesuatu?" Tantenya bicara tanpa sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari tumisan yang sedang diaduknya. "Carin kan tamu. Dimana-mana, tamu itu disuguhin. Bukannya malah disuruh bantu-bantu." Jawabnya dengan santai. Caliana hanya bisa menggelengkan kepala. Kalau saja bukan keponakannya, mungkin dia sudah memukul bibir Carina dengan spatula. Beruntung saja Carina itu keponakannya. Caliana berbalik dan meletakkan tumisan yang masih mengepul itu di atas meja. Setelahnya ia mengambil piring lain yang akan ia isi dengan ayam goreng tepung yang sudah ia tiriskan sebelumnya. ia kemudian meletakkan piring berisi ayam itu di meja yang sama dan kemudian kembali berbalik untuk mengulek sambal dalam cobek batu yang tak jauh dari jangkauannya. Sambal cikur, ayam goreng tepung dan oseng buncis telur sudah siap disantap. Caliana memindahkan semua itu ke atas meja makan. Kali ini dengan bantuan Carina. Carina sudah mengambil nasi dan bersiap mengambil lauk-pauk ketika bertanya. "Papanya Qilla di kantor kayak gimana, Tan?" pertanyaan itu berlanjut dengan suapan penuh pertamanya. "Kenapa emang?" tanya Caliana dengan datar. Ia mulai mengambil satu sendok besar sambal dan dipindahkan ke atas piringnya. "Ya penasaran aja. Apa dia kayak Om Lucas, atau gimana?" "Emangnya Lucas kelihatan gimana?" "Ganteng." Jawab Carina dengan polosnya. Caliana tertawa mendengar jawabannya. "Selain ganteng?" Carina mengerutkan dahi. Ia kembali menyuapkan makanannya sebelum menjawab. "Dia ramah, dia juga kelihatannya sayang sama Syaquilla. Pokoknya dia tipe uncle yang keren deh." "Kayak Uncle Gilang?" "Ya, setipe dua tipe lah. Kalo Papanya Qilla gimana? Menurut Itan, Papanya Qilla termasuk ganteng, gak?" Kini giliran Caliana yang mengerutkan dahi. Tak lama kemudian ia mengangguk. "Ya, untuk ukuran pria matang, dia termasuk ganteng." "Apaan tuh, pria matang?" "Ya, pria yang usianya udah gak bisa dibilang remaja, tapi juga udah lebih dari dewasa." Carina mencebik. "Bilang aja tua, apa susahnya sih." Komentarnya seraya kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. "Apa menurut Itan dia papa yang baik?" Caliana mengedikkan bahu. "Menurut kamu? Kan kamu yang lebih tahu." Caliana balik bertanya. "Kapan Carin tahu? Kan yang lebih lama ngabisin waktunya sama Om Adskhan itu Itan, bukan Carin." Caliana kembali menggelengkan kepala. "Durasi Itan ketemu sama Papanya Qilla itu seharinya Cuma hitungan menit, Rin. Dia itu atasan, jauh posisinya sama Itan. Kalo kamu, kamu kan sering denger ceritanya dari Qilla. Berarti kamu lebih tahu dia itu Papa seperti apa." Carina mengangguk. Mengerti dengan ucapan sang tante. "Gitu ya. kalo kata Carin sih dia gak jauh beda sama Ayah. Sama-sama sibuk. Cuma bedanya, Ayah lebih banyak habisin waktu sama Carin, sama Bunda juga. Tapi Om Adskhan engga." "Syaquilla cerita apa aja sama kamu selama ini? Tentang Papanya?" Kali ini balik Caliana yang penasaran. "Qilla bilang, dia jarang ketemu sama Papanya. Itan tahu sendiri kan kalo dia malah lebih banyak ngabisin waktunya sama Om Lucas." Caliana mengangguk. "Apa menurut Qilla papanya itu galak?" tanya Caliana lagi. Carina menggelengkan kepala. "Qilla gak pernah bilang Papanya galak. Cuma ya gitu, Qilla bilang Papa nya tak acuh. Soalnya Papanya lebih mentingin kerjaan daripada Qilla. Bahkan di hari libur pun Papanya lebih suka kerja daripada nemenin Qilla." "Menurut Qilla, Papanya jahat?" Caliana kembali bertanya dan Carina lagi-lagi menggelengkan kepala. "Apa menurut Qilla, Papanya gak sayang sama dia?" Carina lagi-lagi menggeleng. "Apa dia sayang sama Papanya?" Carina kini mengangguk. "Qilla bilang, dia tahu kalau Papanya sayang sama dia. Soalnya kalo Papanya gak sayang sama dia, gak mungkin Papanya ngasih apa yang dia mau. Kalo Papanya gak sayang sama dia, dia mungkin saat ini bakalan tinggal sama Mamanya. Tapi ya gitu, Qilla bilang dia tetep aja kesepian." Caliana menganggukkan kepalanya. Jelas saja ia mengerti. Anak mana yang tidak menginginkan keberadaan orangtua. Bahkan meskipun selama ini Syaquilla disebut tak pernah kekurangan dalam segi harta, tapi jauh dalam hatinya ia pasti begitu membutuhkan figur ayahnya. "Apa Qilla pernah ketemu sama ibunya?" entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba mengusik Syaquilla. Carina menggelengkan kepala. "Granny pernah mau nunjukkin foto mamanya sama Qilla, tapi Qilla nolak.” "Kenapa?" "Dia bilang dia gak perlu tahu. Kalo pun Mamanya emang sayang sama dia, seharusnya Mamanya yang datang nemuin dia. Karena dia yakin kalo Granny gak akan halang-halangin Mamanya buat ketemu Qilla. Menurut Itan, apa yang dibilang Qilla itu bener? Tentang Mama sama Granny nya?" Caliana kembali mengangkat bahunya. "Kan yang kenal sama Granny nya Qilla itu kamu. Itan malah baru sekali ketemu." "Iya juga, sih." Carina mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Gadis itu sudah menyelesaikan makan malamnya, dan kini menjilat jari-jarinya. Menghabiskan seluruh bumbu yang menempel disana. "Itan, semisal Itan jadi mamanya Qilla, Itan mau gak?" Pertanyaan itu bernada datar, namun entah bagaimana begitu menohok Caliana. Caliana memandang keponakannya dengan tajam. “Pertanyaan itu lagi?” tanyanya tak paercaya. Carina mengangguk. “Itan udah bilang alasannya beberapa hari lalu, bukan? Masa iya kamu udah lupa. Kamu gak sepikun itu, kan?” ledek Caliana. Carina menggelengkan kepala. “Iya itu kan beberapa hari yang lalu. Tapi Carin nanya hari ini, itu beda Tan.” Gumamnya. "Aneh." Caliana balas bergumam. Ia malah meraih piring kosongnya dan piring kosong Carina lalu membawanya ke bak cuci piring. Carina mengekorinya dengan membawa gelas kosongnya. "Kok aneh sih, Tan. Pertanyan Carin ini bener-bener lho. Dari lubuk hati Carin yang paling dalam. Ter.da.lam." jawabnya dengan nada berlebihan. Caliana mendelik ke arahnya. Memilih mengabaikan bocah ingusan itu dan melanjutkan mencuci piring. Bukannya beranjak pergi, Carina malah membalikkan badan dan menyandarkan punggungnya di meja dapur. "Pertanyaan kamu yang aneh. Mendadak nanyain Itan mau enggaknya jadi Mama Qilla." "Ya gak aneh dong, Tan. Itu pertanyan wajar dari seorang sahabat yang peduli akan masa depan sahabatnya." Jawabnya lagi, masih dengan gayanya yang berlebihan. "Maksudnya?" "Itan gak tahu sih gimana Syaquilla nangis-nangis, mohon-mohon sama Carin supaya Carin mau bujukin Itan supaya jadi mama nya dia. Sebagai sahabat yang baik, ya, Carin kan mau Syaquilla bahagia. Dan dia juga bilang kalo dia bisa bahagia kalau dia bisa jadi saudaranya Carin. Nah, coba Itan pikir. Gimana caranya Qilla jadi sodara Carin? Sementara Carin gak mungkin minta Ayah sama Bunda buat ngadopsi dia jadi adik atau kakak Carin. Karena Qilla punya ayahnya. Carin juga gak mungkin minta Oma buat jadiin dia cucunya. Kan dia udah punya Carin sama adik-adik Carin. Jadi solusi terakhir dan terbaik dari permintaan Qilla itu ya dengan Itan nikah sama Papanya Qilla. Kan gak mungkin Carin minta Uncle Gilang yang nikah sama Papanya Qilla." "Trus kalo Itan nikah sama Papanya Qilla. Dia jadi anak Itan trus kamu sama dia bisa sepupuan, gitu maksud kamu?" tanya Caliana dengan tatapan tajamnya. Carina berseru dan bertepuk tangan sebelum mencubit pipi Caliana. "Ih... Itan kok pinter banget. Pasti nurun dari Carin pinternya." Caliana mencebik. Ia malah mencipratkan air di tangannya ke wajah Carina. Membuat gadis itu berjengit dan menjauh seraya mengusap wajahnya yang basah. "Itan ih, Carin nanya serius." Pekiknya. Ia lari menjauh sementara Caliana hanya tertawa dibuatnya. "Serius sih serius. Tapi dipikir dulu!" jawab Caliana kesal. "Ini juga Carin pikir-pikir dulu, Itan. Udah hasil doa subuh, pagi, siang, sore, magrib, malem" "Kamu mikir apa? Doa apa?" "Ya Carin mikir untung ruginya kalo Itan nikah sama Om Adskhan. Ya doanya supaya Carin dapet lebih banyak untung." Jawabnya jujur. Caliana memutar bola matanya. Melipat kedua tangan di depan d**a, ia memandang langsung pada keponakannya. "Terus, apa untungnya? Apa ruginya?" "Untungnya, Carin punya saudara kaya. Jaminan buat bisa sering makan-makan enak. Shoping-shoping. Beli-beli komik. Sama banyak lainnya." "Ruginya?" "Ruginya sih lebih buat Itan." "Apa?" Tanya Caliana dengan sebelah alis terangkat. "Dapet suami ketuaan." Carina lalu tertawa terbahak. Sementara Caliana menganga mendengar jawaban keponakannya yang seenaknya. "Tapi kan tadi Itan bilang Om Adskhan ganteng, jadi Itan juga gak rugi-rugi amat." Katanya membela diri. Caliana melempari gadis itu dengan kanebo basah bekas melap piring bersihnya. Carina terus tertawa seraya masuk ke dalam kamarnya. Menghindari amukan tantenya. Caliana hanya bisa geleng-geleng kepala. Jelas sekali ia bisa menebak maksud pembicaraan keponakannya sejak awal. Meskipun ia pura-pura tak mengerti dan memilih menjadi interogator. Sekitar pukul sembilan malam, Carina kembali keluar dari kamarnya. Dilihatnya sang tante sedang duduk di atas sofa dengan kedua tangan memeluk betis. Telinganya disumbat headset dan matanya menatap pada layar laptop. Dan Carina bisa menduga kalau tantenya itu sedang menonton drama Korea. Ia berjalan menuju dapur dan mengambil minuman. Setelah segelas tandas, ia mengisi ulang gelas itu untuk dibawanya ke kamar. Namun bukannya terus berjalan menuju kamar, Carina malah duduk di samping tantenya dan ikut melihat layar. Ternyata ia salah. Tantenya sedang menonton sebuah tayangan Hollywood. "Itu film?" tanya Carina penasaran. "Bukan, ini serial." "Tentang?" "Wanita yang berambisi menaklukan dunia." "Waaw. Wanitanya yang itu ya?" Carina menunjuk sosok perempuan cantik berambut keperakan. "Iya." "Kenapa dia mau taklukin dunia? Cewek mah kan baiknya di rumah aja. Ngurusin anak sama suami." Komentarnya lagi. Caliana mencebik. Melepas headsetnya dan menatap keponakannya tajam. Keponakannya itu memang memiliki kecerewetan tingkat dewa. "Kamu mau ngomong apa sih? Bisa gak, kamu gak usah gangguin Itan lagi nonton." "Jadi, Itan mau nemenin Carin ngobrol?" tanyanya dengan mimik yang ia buat lucu. Caliana menggelengkan kepalanya. "Itan itu mau menikmati hidup." Jawab Caliana enteng. "Memangnya selama ini Itan gak menikmati hidup Itan?" tanyanya polos. "Iya. Hidup Itan itu gak nikmat karena adanya kamu!" Caliana menoyor kepala Carina. Carina bersungut-sungut seraya mengusap dahinya. "Itan, Carin itu serius. Beneran selama ini Itan gak menikmati hidup? Kenapa? Itan kekurangan uang? Capek kerja keras mulu? Ya udah, kalo gitu nikah aja sama Om Adskhan. Nanti Itan bisa menikmati hidup Itan. Kalo orang-orang jaman now bilangnya jadi 'Sosialita' gitu." "Itan gak mau jadi sosialita. Justru jadi sosialita itu gak bisa menikmati hidup." "Kenapa?" "Karena jadi sosialita itu kerjaannya saling unjuk gigi. Pamer hari ini punya apa, besoknya beli apa, anaknya sekolah dimana, suaminya kerja jadi apa. Males, tahu." "Maksud Itan, unjuk gigi pamerin behel? Atau unjuk gigi hasil bleaching gigi?” “Cariiiinnn.” Geram Caliana kesal. Carina malah menahan tawa seraya mengedikkan bahu. “Ya udah, kalo Itan gak mau jadi kayak mereka, ya Itan jadi ibu rumah tangga aja." Tawar Carina lagi. "Nanti Itan jadi ibunya Qilla, habis itu kasih dia adik yang banyak. Kan waktunya Itan nanti habis buat ngasuh anak. Itan bisa menikmati hidup." Caliana lagi-lagi menoyor Carina. "Kamu itu, ngebet banget pengen Itan jadi ibunya Qilla. Pasti ada udang dibalik gorengan ya?" "Udah dibalik batu, kali?" "Gak. Dibalik batu itu adanya cacing." "Itan, Ih.." Carina jadi kesal sendiri. "Carina itu lagi ngomong serius." "Itan dua rius." Jawab Caliana yang malah mendapat delikan Carina. "Kamu itu anak kecil. Gak usah urusin urusan orang tua kayak Papanya Qilla." "Emang Itan gak tua?" "Itan itu baru lulus jadi anak ABG. Belum tua. Kalo kamu mau nyariin istri buat Mamanya Qilla, kamu salah orang. Om Adskhan itu udah punya calon sendiri. Kamu juga tahu kan, sama yang namanya Anastasia itu." "Tapi Qilla gak suka sama dia. Dia kekeuh bilangnya bilangnya mau Itan yang jadi mamanya dia." Caliana menatap Carina dengan maya menyipit. “Kamu, dibayar berapa sampai mau jodoh-jodohin Itan sama papanya Qilla?” Carina berpura-pura tak mendengarnya. Matanya memandang berkeliling tanpa niatan untuk memandang Caliana. “Bilang sama orang yang udah minta bantuin kamu buat jodohin Itan. Sorry, Itan bukan istri cadangan." Jawab Caliana dingin. Sadar bahwa tantenya marah. Carina memegang lengan tantenya dengan kedua tangannya. "Itan, Carin gak bohong, Carin gak disuruh sama siapa-siapa.” Ucapnya dengan nada merengek. “Qilla beneran sayang sama Itan, dia bilang dia mau Itan yang jadi mamanya dia. Dan dia gak suka sama tante Ana situ. Lagian, Om Adskhan juga maunya sama Itan, kok.” Ucapnya keceplosan. Lagi-lagi Caliana menatap keponakannya dengan tajam. "Jadi, beneran kamu disogok sama Papa nya Qilla?" tanyanya penuh selidik. Carina menggelengkan kepala. "Bilang sama Papanya Qilla. Kalau dia mau punya istri, dia usaha sendiri. Dan kalau dia mau nikah, tentukan pilihan yang jelas. Jangan hari ini bawa Anastasia besoknya bilang suka sama cewek lain. Itan bukan istri cadangan ya, dimana Anastasia nolak lantas dia lari sama Itan. Big No! Lagian, emangnya Itan mau sama dia? Masih banyak pemuda single diluar sana yang mau sama Itan kali." Jawab Caliana dengan nada berapi-api. Carina memandang tantenya dengan tatapan bingung. Caliana mengambil laptopnya tanpa mematikannya. Ia beranjak dari duduknya dan menatap Carina. "Kamu itu bocah, gak usah belajar jadi comblang segala." Kalimat itu menjadi penutupnya sebelum meninggalkan Carina yang masih terpaku di tempatnya. ___________ Spin off Caliana, Bukan Istri Cadangan - Syaquilla's Diary - Ilker's Bride - Terjebak Cinta Pria Italia - To Lost You, I Wont jangan lupa untuk tap ♥️ di cerita ini & cerita lainnya. follow juga akun penulisnya. Info bisa dipantau di OG story Restianirista.wp ya. jangan lupa komeeen
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD