Bab 10: Belum Bisa Merelakan

1690 Words
Bab 10: Belum Bisa Merelakan Rumah Axel & Clarissa… “Cla…?” Celina melangkah pelan mendekati putrinya. Clarissa yang tengah fokus mengaduk kopi seketika menghentikan gerakannya. Dia menoleh ke arah suara itu, dan sepasang mata cokelatnya menangkap sosok sang ibu yang mendekat. Seulas senyum tipis mengembang di bibirnya. “Ya, Mom?” sahutnya lembut. Nada suaranya terdengar sangat berbeda jika dibandingkan dengan saat dia berbicara dengan orang lain. Dia memiringkan tubuhnya sedikit, lalu berhadapan dengan ibunya. “Nico masih di hotel?” tanya Celina sambil melirik sekilas ke arah cangkir kopi di atas meja. “Tidak. Mereka sudah dalam perjalanan. Mungkin sebentar lagi tiba,” jawabnya tenang. Celina mengangguk pelan sebagai respons. “Mengapa Mommy menanyakan mereka?” Dia bertanya balik. Celina menggeleng pelan, lalu tersenyum. “Tidak ada alasan khusus, Sayang. Mommy hanya penasaran saja. Tadi Daddy sempat menelepon Nico, tetapi katanya tidak diangkat. Mungkin dia sedang sibuk,” jelasnya panjang lebar. “Oh…” Dia mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan dan kembali mengaduk kopi sebentar. Hanya beberapa putaran, lalu dia berhenti dan meletakkan sendok kecil yang digunakannya ke dalam wastafel. Sementara itu, Celina dalam diam terus memperhatikan putrinya. Setiap gerakan wanita itu tak lepas dari pengamatannya. Ketika Clarissa menoleh dan kembali menatap ibunya, dia mendapati wanita itu sedang menatapnya lekat-lekat. Dahi Clarissa mengernyit samar. Ada rasa heran yang muncul. Dia bertanya-tanya dalam hati—ada apa dengan ibunya? “Ada yang ingin Mommy tanyakan? Atau sesuatu yang ingin Mommy bicarakan denganku?” tanyanya akhirnya. Celina menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Namun, pandangan matanya yang mulai menua tetap terpaku pada wajah putrinya. “Daddy-mu belum sarapan. Sudah Mommy bujuk sejak tadi, tetapi dia terus menolak,” ucap Celina. “Coba temui dia sebentar, Sayang. Mungkin kamu bisa membujuknya agar mau makan, meski hanya sedikit,” lanjutnya. Dia menatap Clarissa dengan sorot mata penuh harapan. Sejenak, Clarissa terdiam. Dia memandangi wajah sang ibu yang mulai dipenuhi keriput. Beberapa detik kemudian, dia membuka suara. “Mommy yakin ingin aku yang menemuinya?” “Sayang, Mommy mohon. Untuk kali ini saja, berhentilah melawan Daddy-mu. Nanti kalau dia jatuh sakit, bagaimana?” “Aku tidak berniat bersikap kurang ajar, Mom. Tapi aku hanya melakukan apa yang menurutku pantas. Dan… Dad tidak sependapat denganku,” ucap Clarissa. Dia memberi jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan, “Mommy juga tahu bagaimana kondisi kita sekarang. Situasinya seperti apa. Tapi Dad…?” Dia menghela napas pendek. Lelah. Sungguh, dia benar-benar lelah. Sejak kemarin, setelah dia mengambil keputusan sepihak—memaksa putranya, Nicolas, untuk menikahi Catherine—sang ayah, Morgan, sama sekali tidak mau berbicara dengannya, bahkan sepatah kata pun. Clarissa tahu betul… pria itu sangat marah dan kecewa padanya. Namun, disisi lain, dia sendiri tidak memiliki banyak pilihan. Selain mempertimbangkan nama baik keluarga di mata publik, Clarissa juga memikirkan masa depan Catherine. Dia takut, jika suatu saat nanti Catherine ternyata mengandung anak dari Damon—yang tak lain adalah calon cucunya—sementara status mereka tidak jelas. Karena alasan itu, dia dengan terpaksa mengorbankan putra sulungnya, Nicolas, untuk menikahi Catherine. Sesungguhnya, Clarissa tidak berniat menghancurkan masa depan putranya. Tapi, kembali lagi… situasi yang mendesak seolah tidak memberinya ruang untuk memilih. Satu-satunya jalan keluar hanyalah Nicolas. Dan dengan kesadaran penuh, Clarissa tahu, putranya itu pasti sangat kecewa padanya. Atau, yang lebih buruk lagi—Nicolas akan menganggap bahwa dirinya tidak pernah benar-benar menyayanginya. Namun, semuanya telah terjadi. Clarissa mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini adalah bagian dari takdir, sesuatu yang memang tidak bisa dihindari. ** Sementara itu, di dalam kamarnya Morgan duduk termenung di sebuah sofa yang menghadap langsung ke jendela. Tatapan matanya yang mulai menua menembus hamparan taman luas di luar sana. Di tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Tok! Tok! Tok! Morgan sempat tersentak kaget. Namun, segera setelah itu dia menoleh dan melempar pandangan ke arah pintu. Lalu berseru, “Masuk!” Detik berikutnya, pintu kamar terbuka perlahan. Muncullah sosok sang sahabat—Davien Margatama. “Masih betah di kamar? Kukira sudah innalillah…” ucap Davien, santai. Morgan menatap sahabatnya dengan ekspresi datar yang khas. Tak lama kemudian, dia mendengus malas. Jengkel rasanya melihat wajah menyebalkan itu. Sementara Davien hanya tertawa pelan melihat raut wajah Morgan. Dia mendorong daun pintu lebih lebar sebelum melangkah masuk dengan santai. Langkahnya terarah langsung ke tempat Morgan berada. Kini, Davien berdiri di sisi sofa, tanpa berniat duduk. “Ayo, yang lain sudah menunggumu sejak tadi,” katanya. “Ayo ke mana?” tanya Morgan sambil mendongak sekilas, menatap wajah Davien. “Ke surga. Grandpa Mark dan Uncle Jordan katanya sudah menunggumu di sana,” jawab Davien enteng. Morgan mendengus lagi. “Ya keluar, Morgan. Masa ke klub? Serius? Orang setua kamu mana boleh masuk klub. Nanti malah nyusahin orang kalau tiba-tiba kena serangan jantung… atau encok, misalnya.” Davien mengedikkan bahu dengan ringan. “Berisik!” desis Morgan, sebal dan muak. Muak melihat wajah menyebalkan sahabatnya itu. Davien terkekeh pendek. Lalu berkata, “Kasihan Celina. Dari tadi dia gelisah karena suaminya belum mau sarapan. Dia takut kamu mati, Gan. Kamu serius nggak masalah kalau Celina jadi janda? Serius bisa ikhlas?” semburnya tanpa jeda. Morgan berdecak kesal. “Apa sih, Vien?! Berisik!” serunya. Dia menatap pria itu dengan dahi berkerut, jelas menunjukkan kekesalan yang memuncak terhadap sahabatnya itu. “Namanya juga masih hidup. Masih bernapas. Wajar saja kalau berisik. Justru aneh kalau diam,” balas Davien sambil mendengus santai. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, Davien tetap dengan ciri khasnya yang menyebalkan. Dan hal itu—seperti biasa—sangat membuat Morgan muak. Sampai detik ini, Morgan masih belum bisa menerima kenyataan bahwa cucu kesayangannya telah menikah dengan wanita yang tidak diinginkan. Dan… semua itu terjadi karena ulah putrinya, Clarissa, dan juga cucunya, Damon. Sejak bangun tidur, Morgan sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Bahkan, ia tidak ikut sarapan bersama anggota keluarga lainnya. Selera makannya benar-benar hilang, meskipun Celina telah berulang kali membujuk. “Ayo, Gan. Yang lain sudah bosan menunggu dari tadi. Astaga…” keluh Davien, tetap bersikeras membujuk Morgan agar keluar dari kamarnya. Sejenak, Morgan melirik Davien dengan tatapan tajam khasnya. Lalu, ia mengalihkan pandangan dan menghela napas dengan kasar. Setelah dibujuk berkali-kali, akhirnya Morgan menyerah dan bersedia keluar bersama sahabatnya itu. Mereka berdua menuju salah satu ruangan—tempat berkumpulnya sahabat-sahabat dekat Morgan. Di sana sudah hadir Alvino Alexander's, Elnino Alexander's, Sean Pratama, Alvan Abrisam, Riccard Roberto, dan Heros Easton. “Sudahlah, sebaiknya relakan saja,” ujar Sean membuka percakapan. Tatapannya tertuju pada Morgan. Morgan membalas tatapannya dengan sorot dingin. “Semuanya sudah terjadi, Gan. Mau bagaimana lagi?” lanjut Sean sambil mengedikkan bahu. Morgan menarik napas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu menjawab, “Tidak semudah yang kalian bayangkan. Kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.” Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Mereka semua terdiam. Tak satupun dari mereka angkat bicara. Mereka hanya mampu menatap iba terhadap Morgan. Semua, kecuali satu orang: Davien. Wajah pria itu tampak santai—tidak menunjukkan empati sedikit pun. Seperti biasa, menyebalkan. “Kasihan, ya. Dia kalah sama benih sendiri. Dan yang lebih parah… kalahnya sama perempuan. Bukan Lucas, tapi Clarissa,” bisik Davien di telinga adik iparnya, Alvan. Pletak! Sebuah pemantik tiba-tiba melayang, dilempar Morgan ke arah Davien. Pria itu terkejut dan langsung menatap tajam ke arah sahabatnya. “Apa-apaan kau ini? Melempar segala!” sungut Davien, tak terima. Morgan mendengus. “Kau pikir aku tidak tahu kau sedang berbisik soal aku?” “Cih, percaya diri sekali,” sangkal Davien seenaknya. “Sudah, cukup! Astaga… kalian ini kenapa, sih? Setiap bertemu, selalu saja ribut,” tegur El sambil menatap Morgan dan Davien bergantian dengan wajah jengah. Memang begitulah mereka. Setiap kali bertemu dalam acara besar seperti ini, keributan hampir tak pernah absen. Dan biang keroknya? Sudah jelas—Davien. Hanya dia yang gemar memancing emosi orang lain. Seperti yang baru saja terjadi, membuat Morgan semakin kesal dan muak. Namun, apakah Davien peduli? Tentu saja tidak. Menyebalkan, bukan? Keturunan Margatama yang satu itu memang berbeda dari yang lain. ** Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya Nicolas dan Catherine tiba di rumah. Mobil yang membawa mereka berhenti tepat di depan teras utama. Mereka masih duduk di dalam mobil. Dari tempatnya, Nicolas dapat melihat ayahnya, Axel, berdiri di teras bersama mertuanya, Zev dan Ophelia, serta ibunya, Clarissa. Keempat orang tua itu tampak bersiap menyambut kepulangan mereka. Nicolas mengalihkan pandangannya dari sosok-sosok tersebut ke arah Catherine yang duduk di sampingnya. Wanita itu juga tengah memandangi teras, dengan tatapan yang sama—penuh kegugupan. Mata Nicolas menatap lekat mata Catherine yang tampak sembab. Ia tahu pasti, jika Catherine turun dan menemui orang tua mereka dalam kondisi seperti ini, mereka pasti langsung menyadari bahwa istrinya baru saja menangis. Beberapa detik kemudian, Nicolas menarik napas pelan dan memalingkan wajah. Dia membuka pintu mobil, lalu turun. Sadar Nicolas telah turun lebih dulu, Catherine segera tersadar dari lamunan singkatnya. Dia buru-buru membuka pintu dan menyusul sang suami. Keduanya berjalan ringan menuju teras, bersisian seperti pasangan suami istri pada umumnya. Setibanya di teras, orang tua mereka menyambut dengan sikap hangat. Namun, suasana tetap terasa dingin dan kaku. “Matamu sembab, Cath?” tanya Zev. Tangannya perlahan mengangkat dagu sang putri, membuat Catherine menatap wajah ayahnya. Nicolas hanya diam. Dia tidak berniat memberi penjelasan apapun mengenai kondisi istrinya. “Tidak apa-apa, Dad. Aku baik-baik saja,” jawab Catherine pelan. Zev tak bertanya lebih lanjut. Dia hanya melirik Nicolas sekilas. Pria itu tetap bungkam. Bahkan tak ada sapaan sopan yang keluar dari bibirnya kepada sang ayah mertua. “Kalian sudah sarapan?” tanya Clarissa, menatap Nicolas dan Catherine bergantian. Catherine sempat melirik suaminya sebelum menjawab. Karena Nicolas tetap diam, akhirnya dia mengambil alih. “Sudah, Aunty. Kami sarapan di hotel tadi,” jawab Catherine sopan. Clarissa mengangguk pelan sebagai tanggapan. Dia lalu melempar pandangan sekilas ke arah Nicolas, sebelum kembali menatap Catherine. “Ayo kita masuk. Ada hal yang perlu kita bahas,” ucap Clarissa kemudian. Tanpa banyak tanya, Nicolas dan Catherine mengikuti orang tua mereka yang mulai melangkah menuju perpustakaan pribadi milik Axel. ‘Kira-kira… apa yang ingin mereka bicarakan?’ gumam Catherine dalam hati. Rasa cemas menyergap. Ketakutan tak bisa dia hindari. ‘Ya Tuhan… semoga saja aku tidak dipaksa bercerai sekarang dari Nicolas.’ batinnya penuh kekhawatiran. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD