Bab 1: Ditinggal Calon Suami

1400 Words
*** Catherine menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya berkaca-kaca, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. "Catherine, maaf aku tidak akan datang. Aku tidak bisa menikah denganmu karena aku tidak mencintaimu. Mungkin keputusanku ini akan membuatmu marah, malu, dan merasa dicampakkan, tapi percayalah, ini jauh lebih baik dibandingkan kau menikah dengan pria yang tidak mencintaimu. Sekali lagi, aku minta maaf, Catherine." —Damon— Dada Catherine seketika mencelos. Jantungnya berdetak kencang, tapi terasa begitu nyeri. Jemarinya yang masih menggenggam ponsel perlahan melemah, sementara tubuhnya mulai bergetar hebat. Setetes air mata jatuh di atas layar, memburamkan pesan singkat yang baru saja menghancurkan dunianya. Sesak. Sakit. Begitu menyakitkan hingga rasanya sulit bernapas. Bagaimana mungkin pria yang selama ini begitu ia harapkan memilih meninggalkannya seperti ini? Hari ini, seharusnya mereka berdiri berdampingan di altar, mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan dan semua orang yang datang. Namun, kenyataannya? Damon pergi. Dia tidak datang. Dia memilih meninggalkan Catherine di hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan mereka bersama. Marah? Tentu saja. Kecewa? Lebih dari itu. Namun bukankah ini semua salahnya juga? Catherine tahu betul bahwa sejak awal Damon tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Dia yang memaksa. Dia yang bersikeras agar mereka menikah, meskipun ia menyadari cinta Damon padanya tidak sebesar yang ia harapkan. Dan sekarang, ia harus menerima konsekuensinya. Sebuah isakan lolos dari bibirnya. Ia meremas dadanya yang terasa begitu nyeri, seolah ada sesuatu yang menekan kuat hingga membuatnya sulit bernapas. "Tega ya kamu, Damon... tega kamu meninggalkan aku di hari pernikahan kita..." Lantas, apa yang harus ia lakukan sekarang? Semua orang sudah menunggu. Gaun pengantinnya sudah ia kenakan. Pernikahan ini telah dipersiapkan dengan sempurna. Tapi kini, hanya dia yang tersisa—berdiri sendirian dalam kehancuran. ** "Keterlaluan! Ini benar-benar keterlaluan, Axel!" suara Zev Harrington menggema di ruangan. Wajahnya memerah karena amarah, matanya menatap tajam ke arah Axel Addison, pria yang seharusnya menjadi besannya. Axel tetap diam, bukan karena tak peduli, melainkan karena pikirannya sendiri dipenuhi dengan kekacauan. Keputusan Damon, putranya, benar-benar di luar dugaan. "Bagaimana mungkin Damon tega melakukan ini?! Bagaimana dia bisa pergi di hari pernikahannya sendiri?! Kenapa harus hari ini?! Kenapa bukan kemarin jika dia memang tidak ingin menikah?!" Zev menggeram, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap. "Kenapa dia harus mempermalukan aku dan keluargaku di depan begitu banyak orang?!" Napas Zev memburu, dadanya naik-turun menahan ledakan emosi. Dia menatap Axel penuh kekecewaan, berharap pria itu memberikan jawaban, memberikan kejelasan. Namun, yang dia dapatkan hanyalah kesunyian. Axel, pria paruh baya dengan rahang yang mengeras, menundukkan kepalanya. Bukan hanya karena merasa bersalah, tapi juga karena kepalanya terasa berat. Denyut pusing menyerangnya sejak menerima kabar bahwa Damon memutuskan untuk pergi. Putranya telah melakukan hal yang tak hanya menghancurkan hati Catherine, tapi juga mencoreng kehormatan kedua keluarga. Addison dan Harrington. "Dan sekarang, apa yang harus aku lakukan, Axel?!" suara Zev kembali meninggi, tangannya mengepal kuat. "Bagaimana aku harus menyampaikan kepada para tamu bahwa calon suami putriku telah pergi meninggalkannya begitu saja?!" Zev tidak bisa berhenti. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa beban emosinya yang seakan tidak akan habis. Ini bukan hanya masalah perasaan Catherine, tetapi juga harga diri keluarganya. Axel akhirnya menghela napas berat. Dengan satu tangan, ia memijat keningnya yang berdenyut. Ia lelah, frustasi, dan tidak tahu harus berbuat apa. "Sebentar, Zev," ujar Axel dengan suara rendah. "Beri aku waktu untuk berpikir. Aku juga sama sepertimu, pusing." Zev menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. Ia lalu berkacak pinggang, pandangannya menerawang ke arah lain. Pikirannya dipenuhi kecemasan tentang bagaimana ia harus menghadapi para tamu, bagaimana ia harus menjelaskan bahwa pengantin pria telah pergi—melarikan diri dari tanggung jawabnya. Bagi Zev, ini bukan sekadar pernikahan yang batal. Ini adalah penghinaan. Axel akhirnya menatap Zev. "Tunggu sebentar, Zev. Jangan lakukan apa pun untuk sekarang. Aku akan membicarakan hal ini dengan istriku dan keluargaku yang lain. Kita harus mencari solusi terbaik sebelum semuanya semakin kacau." Zev mengalihkan pandangannya ke arah Axel, menatap pria itu dengan ekspresi penuh harap. “Baiklah. Aku tunggu kabar baik darimu,” ujarnya, suaranya lebih tenang. “Bagaimanapun, pernikahan ini tidak mungkin kita batalkan, Xel.” Axel menatap Zev sejenak sebelum mengangguk pelan. “Ya, aku mengerti,” jawabnya singkat, lalu berbalik, melangkah pergi untuk menemui istrinya. Sementara itu, Zev menarik napas panjang sebelum akhirnya beranjak menuju ruangan tempat putrinya menunggu. ** Ruangan Pengantin… Ruangan tempat Catherine menunggu seharusnya menjadi tempat penuh kebahagiaan dan harapan. Ruangan khusus di gereja ini didesain dengan indah—dindingnya dipenuhi ornamen klasik berwarna krem keemasan, dihiasi lilin-lilin dalam tempat kaca yang berpendar hangat. Sebuah cermin besar berdiri di sudut ruangan, memantulkan bayangan seorang gadis bergaun pengantin yang kini duduk tertunduk. Catherine, gadis berusia 23 tahun itu, duduk di kursi dengan tangan tergeletak lemas di pangkuannya. Gaun putih yang menjuntai indah di tubuhnya kini terasa seperti beban. Mahkota kecil yang menghiasi rambutnya tampak begitu kontras dengan wajah sendu yang penuh kesedihan. Di belakang kursinya, berdiri dua wanita yang sejak tadi memperhatikannya—Ophelia, ibu tirinya, dan Zinnia, kakak tirinya yang berusia 27 tahun. Ophelia menatap Catherine dengan tatapan dingin dan penuh penghinaan. Kemarahan yang ia tahan sejak tadi akhirnya meledak. “Kau seakan tidak pernah puas mempermalukan ayahmu, Cat!” suara Ophelia menggelegar di ruangan yang sepi itu. Matanya menyala penuh kebencian. “Setelah skandal yang kau buat, sekarang kau malah ditinggalkan oleh calon suamimu. Benar-benar memalukan! Kau tahu, kau telah mempermalukan kami semua di depan khalayak?!” Di sampingnya, Zinnia berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a. Tatapannya dingin dan penuh cemoohan. “Anak pembawa sial,” desisnya sinis, bibirnya melengkung penuh ejekan. Catherine tetap diam. Matanya yang sembab menatap gaun putihnya yang indah, gaun yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan di hari istimewanya. Namun kini, semua terasa kosong. Hatinya hancur, bukan hanya karena ditinggalkan Damon, tetapi juga karena kata-kata yang terus menusuknya dari orang-orang di sekitarnya. Ia menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin pecah. Hari ini, seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya—hari di mana ia tidak hanya menikahi pria yang selama ini ia harapkan, tetapi juga hari di mana ia akhirnya bisa terbebas dari cengkraman ibu tiri dan kakak tirinya yang selama ini memperlakukannya dengan kejam. Pernikahan ini seharusnya menjadi awal baru, sebuah kebebasan yang telah lama ia dambakan. Namun kenyataannya, semua harapan itu hancur seketika. Alih-alih berjalan menuju altar dengan senyum bahagia, ia justru ditinggalkan begitu saja. Tidak ada kebebasan, tidak ada kebahagiaan—yang tersisa hanyalah luka, kehancuran, dan penghinaan yang menyesakkan. ** Di sebuah ruangan berbeda, Axel berdiri di tengah-tengah ruangan dengan ekspresi tegang. Di sekelilingnya, keluarga inti duduk di sofa yang tersedia, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Di samping Axel, berdiri Clarissa, sang istri, dengan wajah dingin. Di sudut ruangan, seorang pria berusia sekitar 25 tahun duduk dengan laptop di pangkuannya. Cahaya dari layar yang menyala terang menerangi wajahnya yang tampan dengan rahang tegas khas keturunan Blaxton. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, matanya fokus menatap layar, mencoba mencari sesuatu—seseorang. Oscar Grey Blaxton, sepupu Damon, akhirnya mendesah pelan sebelum membuka suara. “Aku tidak bisa melacak keberadaannya. Ponselnya mati. Tidak ada jejak yang tersisa,” katanya, nada suaranya datar. Mendengar itu, Axel menghela napas panjang, kepalanya menengadah ke langit-langit sebelum kedua tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. Wajahnya mencerminkan frustasi yang mendalam. “Ya Tuhan…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia membuka mata kembali. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa yang akan kita sampaikan kepada semua tamu?” tanyanya dengan suara berat. Axel menoleh ke arah istrinya, mencari jawaban di wajah wanita itu. Clarissa hanya diam, menatap suaminya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Namun, sesaat kemudian, tatapannya beralih ke pria yang juga berdiri di hadapannya. Pria itu adalah putra sulungnya—Nicolas Delcan Addison berusia 30 tahun. Merasa tatapan ibunya tertuju padanya, Nicolas langsung menggeleng pelan. Ekspresinya berubah cemas, dan tubuhnya sedikit bergerak mundur, seakan ingin menjauh dari kemungkinan yang sudah ia duga. “M-Mom, tolong jangan lakukan itu padaku,” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan. Suaranya rendah, penuh penolakan, seolah ia tahu apa yang akan diminta darinya—dan ia sama sekali tidak menyukainya. Clarissa menatap putranya dengan penuh harap. "Jadilah suami pengganti untuk Catherine, Nak. Gantilah adikmu." Deg! Seakan dihantam oleh sesuatu yang tak terlihat, Nicolas merasakan jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya menegang, tatapannya membelalak tidak percaya. Ia menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir ibunya. Menjadi suami pengganti untuk Catherine? Oh… sungguh ini benar-benar gila! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD