“Mau ke mana kamu?”
Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.
Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam.
“Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin.
Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya.
“Memangnya saya ngizinin?”
Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”
Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas.
Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya.
Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan langkahnya.
“Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Luna mencengkeram pegangan tangga dengan erat, mencoba meredam gemuruh di hatinya. Dadanya terasa sesak, dan rahangnya mengeras menahan air mata yang nyaris tumpah.
Tanpa menoleh, Luna mempercepat langkahnya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Rencana untuk ke kantin berubah seketika. Ia memilih taman, tempat yang lebih sepi untuk menyendiri.
Sesampainya di taman, Luna langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang. Kepalanya tertunduk, dan jari-jarinya meremas ujung kursi dengan erat, menahan emosi yang meluap-luap.
“Hiks… hiks…”
Isakan tangis akhirnya pecah. Ucapan Ardan terlalu tajam, menusuk hingga menghancurkan pertahanan hatinya.
Selama beberapa tahun ini, tak ada yang membuatnya menangis selain drama korea sad ending. Namun kini, luka yang ia pikir sudah sembuh kembali dibuka oleh pria yang sama.
“Cio, Bunda sumpahin wajah kamu nanti persis sama Ayah kamu kalau udah besar, Nak. Nggak apa-apa sekarang Bunda dibilang pengkhianat. Suatu saat, Bunda bakal buktiin kalau semua tuduhan itu salah.”
Kalimat itu sudah sering Luna ucapkan sejak putranya lahir ke dunia. Ia selalu berharap Cio memiliki wajah yang sama persis dengan ayahnya, agar suatu hari ia tidak perlu repot-repot menyangkal segala tuduhan yang pernah dilontarkan padanya.
Di tengah kegalauannya, suara ponsel yang berdering dari saku celananya memecah lamunan.
Luna mengambil ponsel itu dengan gerakan malas. Namun, begitu melihat nama pengirim pesan yang tertera di layar, senyum tipis langsung terukir di wajahnya.
Dokter Dylan:
[Nanti biar aku aja yang jemput Cio ke sekolah. Aku udah janji mau ngajak dia makan pizza.]
Luna tersenyum tipis. Jika part terburuk dalam hidupnya adalah bertemu dengan Ardan dan Wulan. Maka part terbaik dalam hidupnya adalah kehadiran Cio dan Dylan.
Meskipun hubungan mereka belum memiliki ikatan resmi, Dylan selalu berhasil memberikan kenyamanan di tengah kehidupan Luna yang penuh lika-liku. Mereka saling menyukai satu sama lain, namun belum ada yang berani mengungkapkan.
*****
Setelah jam perkuliahan berakhir, Luna pergi ke kantin terlebih dahulu untuk mengambil box kue yang tadi ia titipkan di salah satu penjual.
Sudah lama Luna melakukan ini. Menitipkan kue yang ia buat di kantin. Ia bekerja sama dengan ibu-ibu di kantin yang sangat baik hati. Beruntungnya, banyak mahasiswa yang menyukai kue buatannya. Keuntungannya memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membiayai hidup anaknya.
"Lun, minggu depan bisa, kan, buat pesenan 300 pcs? Ini ada pesanan dari tetangga Ibu buat hajatan," ujar wanita paruh baya itu. Namanya Yanti, dia sangat baik pada Luna.
Luna mengangguk sambil tersenyum manis. "Bisa banget, Bu. Tapi mungkin agak lama selesainya, soalnya Ibu saya mau pergi keluar kota, jadi nggak ada yang jagain anak saya."
"Iya, nggak papa, Lun. Yang penting jadi," jawab Bu Yanti sambil tersenyum hangat.
"Yaudah, saya pulang dulu ya, Bu."
Luna berbalik dan melangkah meninggalkan kantin. Namun, ia terkejut saat melihat Ardan yang berdiri di depan kantin dengan wajah datar dan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku. Tak ada orang di sana, karena kantin sedang sepi.
"Syukurlah kalau kamu hidup susah. Itu karma buat kamu karena sudah mengkhianati saya," ujar Ardan dengan nada sinis.
Luna hanya menghela napas, tak ingin membuang waktu untuk menanggapi ucapan Ardan yang begitu menyakitkan. Dengan cepat, ia melanjutkan langkahnya, melewati Ardan begitu saja.
"Hidup susah katanya? Dia nggak tahu aja kalau omsetku perbulan bisa tembus puluhan juta. Belum lagi uang dari adik-adikku yang selalu ngasih jatah buat Cio," gerutunya kesal.
Selain menitipkan makanan di kantin, Luna juga membuka lapak di depan panti setiap sore. Kebetulan letak pantinya yang berada di depan jalan raya, jadi sering dikunjungi oleh pembeli.
Adik-adik lelakinya yang sudah beranjak dewasa juga sudah bekerja semua. Mereka tidak ingin Luna mengorbankan hidupnya lagi demi mereka, jadi mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga kebutuhan anak Luna.
"Apa kamu nggak pernah baca kutipan Mimi Novic? Keindahan karma adalah Anda tidak perlu menyaksikannya bekerja. Lakukan saja apa yang benar, dan dia akan melakukan sisanya." Sepertinya Ardan belum puas mengganggu Luna. Ia terus mengikuti langkah Luna dengan cepat dan kembali melontarkan kata-kata yang menyinggung soal karma.
Luna yang sudah lelah akhirnya berhenti dan menatap pria itu dengan sorot tajam. "Apa kamu nggak punya kerjaan lain? Kamu udah tua loh, Mas. Kamu nggak malu ngomong kayak gini? Kayak anak kecil banget, sumpah," ucapnya kesal.
Ardan terdiam sejenak. Namun, ia tetap menatap Luna dengan tatapan penuh dendam. Luna mendengus kesal, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa peduli lagi.
Tiba di parkiran, Ardan masih mengikutinya. Namun kali ini, Ardan sedikit menjaga jarak, karena banyak mahasiswa yang sedang berada di sana.
"Saya belum puas membalas semua pengkhianatan kamu. Tunggu saja, penderitaan kamu akan semakin bertambah," ucap Ardan, suaranya masih penuh kebencian.
Luna mengabaikannya, ia tidak ingin ada yang curiga, terutama teman-temannya. Dengan cepat, Luna berjalan menuju motornya dan segera menaikinya. Meski hatinya masih kesal, ia berusaha untuk tidak terprovokasi.
Ketika sudah di jalan raya, Luna merasa ada yang mengganjal. Ia menyadari ada mobil yang terus mengikutinya dari belakang. Curiga jika itu adalah Ardan, Luna langsung membelokkan motornya dengan cepat, membuat mobil itu langsung mengerem mendadak.
Luna tersenyum miring, merasa puas dengan reaksinya. Ia kemudian berhenti dan memarkir motornya di depan sebuah toko. Dalam hatinya, ia yakin pria itu pasti akan berbalik arah dan menghampirinya.
Dan benar saja, tak berselang lama, mobil itu langsung berbalik arah dan menghampirinya.
"Aku curiga sama kamu deh, Mas. Dari tadi ngikutin aku mulu. Kamu masih suka sama aku?" tuduh Luna blak-blakan saat Ardan baru saja membuka kaca mobilnya.