Bab 1. Perkuliahan

1452 Words
Mungkin pandangan orang lain status duda atau janda itu begitu miris sehingga dianggap tidak layak untuk dimiliki. Kenyataannya banyak jaman sekarang duda atau pun janda bahkan hidup lebih bahagia setelah mereka menjalani rumah tangga dengan orang yang salah lalu mencari orang baru. Namun, hal itu sama sekali tidak berlaku untuk sosok duda yang satu ini. Dia tetap memilih single setelah mantan istrinya meninggal. Zia adalah mantan istrinya yang telah melahirkan putra mereka lalu meninggal dunia. Sudah 5 tahun ia melajang dan tidak ada niat mencari wanita baru sebagai pendampingnya atau memang pria itu belum niat? Entahlah. Wajah Zia selalu terbayang di kelopak matanya siang dan malam. Cara Zia memperlakukannya sangatlah telaten, sabar dan lembut. Bahkan Farraz menjamin tidak akan ada wanita selembut dan setelaten Zia dalam melayani dan membuat rumah tangga itu selalu disertai tawa di dalamnya. Saat ini Farraz sedang menunggu puteranya yang bersekolah di Jakarta Intercultural School. Sekolah terkenal yang melahirkan anak-anak berbakat dengan biaya yang tidak kecil. Ia menyewa antar jemput puteranya karena memang dirinya benar-benar sibuk. Bekerja sebagai dosen dan dokter sekaligus, lalu belum lagi perusahaan yang hendak diturunkan kepadanya oleh orang tuanya membuat Farraz sama sekali tidak ada waktu bersama puteranya. Sebab itulah kedua orang tuanya menyuruhnya untuk segera menikah. Pintu depan terbuka lebar dan puteranya yang berusia lima tahun masuk dengan wajah tampan sambil tersenyum lebar. “Daddy!” Farraz tersenyum kecil. Hal yang membuatnya bahagia adalah melihat puteranya yang sangat mirip dengan Zia. Wanita cantik, baik, dewasa, dan juga shalehah. Hidung mancung Aziz mungkin turunannya, selebihnya adalah milik Zia membuat lelaki itu sangatlah tampan di usianya sejak dini. “Hello boy.” Ia mengacak rambut puteranya dengan gemas. “Ayo, ganti baju karena Daddy ingin mengajakmu makan.” “I love food, Daddy.” Farraz tertawa pelan lalu segera memanggil babysitter yang merawat Aziz. Setelah perempuan itu tiba, Farraz langsung bergumam. “Kamu ganti pakaian dia lalu bawa dia ke dapur.” “Baik, Pak.” Gadis bernama Irma itu menatap Aziz dengan senyumnya. “Ayo, kita ganti baju.” Aziz menurut. Sejak kecil dia memang sudah bersama Irma yang menjaga dan selalu mengasuhnya. Gadis itu kemungkinan berusia 25 tahun saat ini karena ia bekerja ketika umurnya 20 tahun. Kedekatannya dengan Irma seperti adik dan kakak. Walau diam-diam Irma menyimpan rasa yang seharusnya tidak boleh ia rasakan kepada majikannya ini. Lagi pula, siapa yang tidak jatuh cinta kepada perangainya Pak Farraz? Terkenal dengan wajah tampan, hidung mancung yang sedikit banyaknya keturunan Arab, lalu kulitnya yang putih serta badannya yang begitu gagah di usianya yang sangat matang. Semua wanita akan jatuh hati pada pria itu hanya dalam sekali pandang saja. Irma segera menarik Aziz untuk masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaian lelaki kecil itu sebelum membawanya ke dapur bertemu dengan papanya. * “Pak Farraz ngasih materi nggak nanggung. Selalu sulit nggak pernah yang mudah.” Neina mengendikkan kedua bahunya tidak acuh mendengar sahabatnya Jihan memprotes tingkah salah satu dosen yang terkenal killer. “Gue heran, kalo laki-laki wajah tampan itu emang suka begitu ya. Seenaknya dan semaunya.” Memutar bola matanya malas, Neina langsung menjawab. “Jangan samakan Pak Farraz sama mantan lo.” Karena Neina tahu bahwa Jihan sedang menyindir mantannya. Ia menipiskan bibirnya sejenak. “Lagian selama ini Pak Farraz menduda, dia sama sekali belum niat tuh cari istri baru.” “Dari mana lo tahu kalau Pak Farraz belum niat cari istri baru?” Jihan bertanya heran. “Emang lo saudaranya Pak Farraz apa?” “Ya enggak sih. Tapi, menurut gue emang dia belum mau aja.” Neina mengendikkan bahunya. Tak lama ponselnya berbunyi. “Wait, abang gue telfon.” Jihan mengangguk dan membiarkan Neina mengangkat teleponnya. “Ya, Bang?” “Masih di kampus, dek?” “Masih. Kenapa, Bang?” “Adel ada telepon kamu?” Neina mengernyit seketika lalu menggeleng. “Memang Kak Adel kenapa, Bang?” Terdengar abangnya menghela napas pelan. “Dia nangis terus dari tadi di kamar dan nggak keluar-keluar sampai sekarang.” “Hah? Nangis kenapa, Bang?” tanya Neina bingung karena tidak biasanya kakak nomer duanya itu menangis. Neina anak ketiga dari empat bersaudara. Ia memang memiliki adik perempuan yang paling kecil dan masih berumur empat tahun. Mereka bertiga memang perempuan dan anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu ialah abang mereka, anak sulung yang kini sudah bekerja namun belum menikah. “Mama sama papa mau jodohin Adel.” “Hah? Kenapa tiba-tiba?” tanya Neina bingung. Terdengar abangnya berdecak. “Ya sudah, nanti di rumah abang cerita kalau kamu sudah pulang. Jangan ngebut-ngebut, hati-hati bawa mobil.” “Iya, Bang.” Neina menutup teleponnya seketika. Ia menatap sahabatnya sejenak lalu melirik jam ditangannya. Ya, masih ada satu mata kuliah lagi sebelum ia benar-benar bisa pulang lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. * Neina baru saja masuk ke dalam rumah yang suasananya terasa sepi dan sedikit mencekam. Dimana semua orang? Tanyanya dalam hati kemudian memilih untuk kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas karena rumah Neina terdiri dari satu lantai. Lantai dasar, dan lantai satu dimana terdiri dari kamarnya, kamar abangnya, kakaknya dan juga kamar si kecil, Ica. “Baru pulang, dek?” tanya Bang Rega dengan kedua tangan ia selipkan di saku celana pendeknya. “Papa sama Mama mana? Terus, Kak Adel gimana?” Rega menghela napas pelan lalu ikut masuk ke kamar adik perempuannya itu dan memilih duduk di kasur. “Papa sama Mama keluar. Mereka juga ajak Ica, sementara Adel masih di kamarnya dan nggak mau keluar.” “Emang kok bisa sih Papa sama Mama tiba-tiba mutusin buat jodohin Kak Adel?” Rega mengendikkan bahunya. “Gih kamu ke kamar Adel. Coba ngomong baik-baik. Biasanya sesama perempuan kan lebih bisa saling memahami.” Neina mengangguk. Ia segera keluar dari kamarnya diikuti oleh kakak lelakinya, kemudian mengetuk kamar kakak perempuannya. “Kak Adel, buka kak. Neina mau ngomong.” Tak ada jawaban, namun sesaat Neina hendak bersuara dan mengetuk pintu kamar kakaknya, suara pintu yang tadinya terkunci langsung terbuka. Ia melihat kakaknya dengan hijab yang sedikit berantakan dan matanya yang berwajah sembab. Rega seketika berdecak melihat adiknya itu lalu melengos masuk ke kamar Adel yang diikuti oleh Neina. “Kenapa nggak ngomong sama Mama Papa aja kalau kamu nggak setuju?” tanya Rega kesal. “Dari pada kamu nangis nggak jelas kayak gini.” “Aku nggak bisa bantah Mama sama Papa. Kan abang tahu sendiri aku gimana.” Adel menjawab dengan suara parau akibat tangisannya. “Apalagi saat Mama sama Papa mau jodohin aku sama duda anak satu lagi. Masa sih mereka tega sama aku?” Neina melebarkan matanya tidak percaya. “Duda anak satu?!” seru Neina dengan mata membola jernih. Rega menahan tawa melihat Neina seakan tidak percaya. “Kamu diem dulu coba!” Rega menarik Neina lalu membiarkan adik ketiganya itu mencium keteknya. “Cium ketek abang biar nggak kaget.” “Abang bau! Abang, lepas ih!” seru Neina berusaha sekuat tenaga melepaskan rangkulan abangnya. Seketika melihat Neina yang tampak kehabisan napas karena melawan membuat Rega tidak tega dan memilih melepaskannya. Hal itu membuat Adel mau tidak mau tersenyum. Ia bahagia memiliki saudara yang menyayanginya dan menghiburnya seperti ini. “Jadi,” tanya Rega berusaha kembali memfokuskan matanya pada Adel dan mengabaikan Neina yang terlihat mendumel sendiri. “Kamu nggak mau coba ketemu dulu sama dia? Siapa tahu cocok ‘kan? Nggak mungkin Mama sama Papa jodohin kamu dengan orang yang sembarangan.” Rega tahu persis bagaimana orang tuanya itu yang pemilih dalam segala hal bahkan pendidikan yang diberikan untuk keempat anaknya ini bukanlah main-main. Rega sendiri sekarang bekerja di perusahaan asing bagian minyak bumi dengan gaji sekitar 70an juta perbulan. Sementara, Adel memiliki butik yang lumayan terkenal dengan harga gaun yang fantastis dan banyak digunakan oleh model-model ternama. Neina sendiri sekarang memilih kuliah di kedokteran karena ingin menjadi seorang dokter bedah kardiovaskular. Ica yang masih umur empat tahun sekolah di JIS dengan fasilitas yang juga tidak main-main. “Tapi tetep aja sama duda, Bang!” seru Adel tidak terima. “Malam besok keluarga laki-laki itu mau ke rumah buat ketemu sama aku.” Neina sejenak berpikir. “Tapi, kayaknya kali ini aku setuju sama Bang Rega deh, Kak. Siapa tahu kan duda itu pilihan terbaik. Ya ketemu dulu, kalau nggak cocok kakak boleh nolak kok.” Adel terdiam lama sambil menatap kedua saudaranya ini dengan seksama. “Ya udah, besok aku temuin tapi kalau misal nggak cocok—” Matanya memicing menatap abang dan adiknya bergantian. “Kalian berdua harus bantu aku ngomong sama Papa dan Mama untuk membatalkan perjodohan ini.” “Siap kak!” jawab Neina cepat bahkan sangat cepat. “Kalau nggak cocok untuk aku aja. Duda lebih menggoda soalnya dijaman sekarang,” lanjutnya yang langsung mendapat jitakan dari abangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD