Hari itu Fajar mengantarkan Rini pergi ke pasar, dia juga membawakan barang-barang belanjaannya. Mereka berjalan bersama melewati jalan kecil di antara meja para pedagang. Rini menoleh ke arah Fajar sejenak.
“Pak Fajar kenapa nggak mau saya bekerja di komplek?”
Fajar menghela napas panjang, bahkan mereka sudah sering membahas masalah itu, tapi Rini masih tetap bertanya tentang keputusan Fajar.
“Aku nggak suka,” Sahutnya singkat.
Rini menundukkan wajahnya. “Kenapa?”
“Nggak suka saja.” Fajar kini ganti menoleh ke arah Rini, menatap sosok wanita muda yang masih berjalan dengan kepala menunduk. “Jangan berpikiran lain tentangku, aku tahu harga diriku sudah minus di mata kamu. Jangan ditambah lagi,” lanjutnya.
Mereka hampir tiba di dekat mobil, Fajar mendahuluinya berjalan untuk membuka kab mobil lalu memasukkan barang belanjaan ke dalam, Rini menyusul dan memasukkan barang yang dia bawa ke dalam. Mereka berdiri bersebelahan di depan kab mobil yang kini masih terbuka.
“Aku sama sekali nggak berpikir kamu seperti itu,” ucap Rini lalu menoleh sejenak menatap wajah tampan Fajar di sebelahnya. “Terimakasih,” ucapnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca lalu berjalan pergi dan masuk ke dalam mobil.
Fajar tertegun sejenak, kedua bola mata jernih milik Rini barusan, ucapan terimakasih-nya, semuanya benar-benar tulus dan bukan sandiwara.
Fajar menyusulnya lalu duduk di kursi belakang kemudi, dia melihat Rini tidak memakai sabuk pengaman. Fajar mendekat untuk memakaikannya, beberapa kali ujung hidung Fajar menyentuh kening, pipi, bahkan bibir Rini. Hembusan napas Fajar yang menerpa wajahnya membuat Rini meremas roknya sendiri. Ada sesuatu yang dia rasakan, tanpa sadar wajah Rini memerah tepat saat Fajar berhenti dan tetap membiarkan ujung hidungnya tinggal pada ujung hidung Rini.
Rini membuka bibirnya sedikit, bibir Fajar turun dan menyambut bibir Rini. Hanya sejenak keduanya saling memagut bibir satu sama lain. Fajar segera berhenti dan menarik diri. Tiba-tiba Rini memegang tangan Fajar.
“Kenapa?” tanya Fajar lirih.
“Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri.”
Fajar menghela napas, agak sakit hatinya. Kebohongan besar ketika dia bilang bahwa dia tidak memiliki nafsu tatkala Rini memberikan ruang untuk menyentuh tubuhnya.
“Tapi pada kenyataannya aku sangat sulit menahan diri,” balas Fajar.
Rini melepaskan tangannya dari lengan Fajar, membiarkan Fajar mengemudikan mobil dengan benar.
“Bukan salahmu, aku yang salah karena tidak bisa membayar hutang Mas Ranto.”
Mendengar Rini menyebutkan nama Ranto, Fajar memiliki pertanyaan yang ingin dia ajukan pada Rini.
“Tentang Ranto, apakah kamu tidak ingin bercerai darinya?”
Rini tersenyum pahit, kedua matanya berkaca-kaca menatap jalan di depan sana. Fajar tidak tahu apa sebabnya, dan air mata Rini mengalir pada kedua pipi Rini tanpa suara isakan. Cukup lama Rini terus mengusap air mata yang mengalir pada kedua pipinya. Meski Rini sudah menyeka air matanya, sepertinya matanya tetap tidak bisa berhenti menangis.
Fajar merasa tidak enak, jadi dia segera berkata, “aku minta maaf, aku sudah lancang. Sebenarnya aku tidak bermaksud ingin membuat dirimu bercerai dari Ranto, akan tetapi melihat kondisi Kela dan kamu saat ini aku pikir akan lebih baik kalian bercerai. Mungkin suatu hari kamu bisa menemukan pria yang lebih baik dan lebih mapan darinya.”
Rini terus menyeka air matanya, dia menoleh sekilas ke arah Fajar di sebelahnya. “Ya aku merasa sudah masuk ke dalam lubang dan hancur di dalamnya. Tidak ada yang tahu jalan hidup seseorang. Tidak ada yang tahu juga bagaimana asal mulanya semua kisah yang terjadi belakangan ini. Aku sempat berpikir bagaimana jika aku tidak dipertemukan dengan Mas Ranto? Apakah aku akan menemukan pria yang lebih baik darinya? Aku lebih sering memikirkan saat Kela mengerang memegangi perutnya yang sakit karena lapar karena tidak ada yang bisa dimakan. Dan aku bertanya bagaimana jika aku tidak menikah dengan Mas Ranto. Apakah akan ada Kela di dunia ini? Apakah aku tidak akan melewati masa sulit ini meski aku menikah dengan pria lain? Dulu Mas Ranto juga pria yang baik tidak berbeda dengan pria yang lain. Aku tidak berpikir banyak, aku juga tidak berharap banyak padanya lagi, aku hanya ingin Kela hidup dengan baik, bisa sekolah.”
Kini Fajar mengerti, Rini tidak ingin mencari tambatan hati yang lain meski pada suatu hari bercerai dari Ranto. Rini hanya memikirkan kehidupan Kela.
“Bagaimana jika ada seorang pria yang ingin meminangmu?” kejar Fajar lantaran dia merasa sangat penasaran dengan jawaban Rini.
Rini tertawa tanpa suara, air matanya belum kering dan masih menggenang di pelupuk kedua matanya.
“Hanya pria sejenis yang akan datang padaku,” jawab Rini putus asa.
“Mungkin ada banyak pria seperti Ranto, tapi tidak semuanya seperti dia. Kamu mengenalku dan aku tidak seperti Ranto.”
Rini agak terkejut, dia mengerti maksud ucapan Fajar. Fajar ingin mengambilnya sebagai istri, akan tetapi ini terlalu mendadak. Dan mereka juga baru bertemu beberapa minggu yang lalu.
“Aku tidak ingin terlalu banyak berharap padamu,” jawab Rini.
“Bagaimana jika karena hutang Ranto kita berdua memang dipertemukan?” Fajar menepikan mobilnya, menatap kedua mata Rini dengan tatapan serius.
“Aku pikir ini hanya sebuah kebetulan,” sanggah Rini seraya menggelengkan kepalanya.
“Aku yakin ini sebuah takdir!” Fajar berkeras pada keyakinan dalam hatinya.
“Kamu tetap pada keyakinanmu, dan aku akan tetap pada keyakinanku,” ucap Rini kemudian segera menundukkan wajahnya mengabaikan Fajar di sebelahnya.
Rini tidak ingin terlalu banyak terlibat, mungkin karena hidupnya sendiri sudah terasa pelik dan sulit. Rini tidak ingin muncul masalah lagi. Apalagi Fajar adalah suami dari Nuril.
Karena tidak ada yang dikatakan lagi, Fajar kembali mengemudikan mobilnya menuju ke rumah. Fajar membantu Rini memasukkan barang belanjaan ke dalam rumah. Rini tahu akan banyak waktu bagi dirinya dan Fajar saat mereka sedang berada di rumah. Dan ketika dia sampai, Kela masih bermain di halaman samping. Anak itu tidak berkata apa-apa melihat ibunya masuk ke dalam rumah membawa banyak barang. Anak sekecil itu seharusnya menangis melihat ibunya pergi. Tapi tidak dengan Kela, mungkin karena kondisinya terlalu buruk ketika masih tinggal di tengah hutan sehingga membentuk psikologis yang tidak normal untuk anak seusianya.
Fajar menata barang berat seperti beras, minyak goreng, dan lainnya. Dia memasukkannya ke dalam wadah besar yang ada di dapur. Melihat Rini membersihkan meja dapur di dalam ruangan yang sama Fajar kembali mengatakan sesuatu pada Rini.
“Aku ingin kamu membantuku di klinik. Renovasi hampir jadi, aku sudah membicarakannya dengan Nuril,” ucapnya.
Rini mengelap meja dapur dan kompor, pekerjaan itu terhenti sejenak. Rini memutuskan mendengarkan perkataan Fajar dengan baik.
“Apakah Bu Nuril setuju?” tanya Rini sambil menoleh menatap Fajar dengan ekspresi wajah sedikit terkejut.