"Papiiiii!" Teriakan nyaring disertai gedoran pintu yang bersemangat membuat Kirana kaget setengah mati. Instingnya ingin menyembunyikan diri, tapi Bramasta justru mendekapnya lebih erat, menahannya tetap di tempat.
"Tenang," bisiknya dengan suara rendah yang menenangkan. "Itu Sheila, putriku."
Dengan suara lebih keras yang ditujukan ke pintu, Bram menjawab, "Papi sudah bangun, sayang! Terima kasih ya. Kita ketemu di meja makan, oke?"
Suara kaki yang berlari menjauh terdengar. Kirana memandang Bramasta dengan perasaan baru. Di sini, di ranjang ini, dia melihat sisi lain dari pria yang biasanya dingin dan berwibawa di kantor, dan begitu garang dan menguasai di ranjang. Tapi saat merespons panggilan putrinya, ada kelembutan yang tulus yang membuat Kirana merasa sesuatu di dadanya bergetar. Sesuatu yang membuatnya terlihat sangat manusiawi.
"Selama ini Sheila yang membangunkanku kalau ada jadwal keluar kota atau keluar negeri," jelas Bram tanpa diminta, seolah bisa membaca pikirannya. "Dia kelas 11. Nanti di meja makan akan aku kenalkan kalian."
Sebuah perasaan hangat—yang sama sekali tidak ia duga—menyusup ke dalam d**a Kirana. Ia merasa dihargai, diakui, bukan hanya sebagai objek pemuas nafsu semata.
"Kirana," ucap Bramasta sambil membelai pipinya, "ayo kita lanjutkan di kamar mandi. Kamu sudah tidak lemas lagi, kan?"
Capek? Tentu. Tapi Kirana mendapati dirinya tidak hanya tidak bisa menolak karena kewajiban, tapi juga karena ia mulai... menginginkannya. Saat itu juga, sebuah pencerahan muncul: selama ini, norma dan budaya telah membentuknya menjadi wanita yang pasif di ranjang, selalu menunggu diberi tanpa berani meminta. Rasanya tabu, bahkan buruk, jika seorang istri yang terlalu aktif atau mengejar kepuasan sendiri. Tapi di sini, dengan Bram, semua batasan itu runtuh.
Di balik pintu kamar mandi mewah yang penuh dengan uap hangat, Bramasta memandanginya dengan sorot mata yang berbeda—seperti memberikan izin. "Sekarang, tunjukkan padaku apa yang kau inginkan, Kiran. Jangan hanya menerima."
Dengan jantung berdebar kencang—bukan karena takut, tapi karena kebebasan yang mendebarkan—Kirana mengambil inisiatif untuk pertama kalinya. Tangannya yang biasanya pasif kini aktif menjelajahi tubuh perkasa Bramasta. Mulutnya yang biasanya hanya merintih kini membalas setiap ciuman dengan keberanian yang baru ia temukan.
Bramasta terkesima, dan kemudian sangat terangsang. "Ya... seperti itu, Sayang," desahnya, mendorongnya lebih jauh.
Di bawah aliran air hangat yang mengguyur mereka berdua, Kirana menjadi versi paling liar dan paling bebas dari dirinya sendiri. Dia tidak lagi hanya penerima, tapi juga pengejar—mengejar kenikmatannya sendiri, menyuarakan keinginannya tanpa malu. Setiap sentuhan, setiap ciuman, setiap gigitan kecil adalah deklarasi kebebasan.
Dan ketika mereka akhirnya mencapai puncak bersama-sama, erangan mereka menyatu dengan desahan air pancuran. Kirana menyadari, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak hanya memberikan tubuhnya—tapi juga menemukan bagian dari jiwanya yang selama ini terpendam.
"Aku bangga padamu, Kiran!" pujian Bramasta yang tulus membuat Kirana lemas dan hanyut. Dengan kesadaran penuh, ia memeluk tubuh pria itu yang sama basahnya di bawah guyuran air shower, menyandarkan kepalanya di d**a bidang Bram, mendengarkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Saat itulah Kirana menyadari—ia tidak hanya mengkhianati suaminya secara fisik, tapi kini juga secara emosional.
Dengan lembut, Bram memutar tubuh Kirana, menuangkan shampoo dan mencuci rambutnya dengan penuh perhatian. Sebuah keintiman kecil yang selalu ia impikan dengan istrinya, namun tak pernah ia dapatkan. Mereka saling membersihkan tubuh satu sama lain, dan Kirana tersipu malu saat harus membersihkan bagian Bram yang kembali tegang akibat sentuhannya.
Setelahnya, mereka saling membantu mengeringkan badan. Kirana melayani Bram dengan hati berdebar—seolah ia adalah istri yang sah, bukan sekadar selingkuhan.
Di Surabaya, ribuan kilometer dari rumah yang dulu ia sebut keluarga, Huda menurunkan kopernya di lobi apartemen mewah yang sudah sangat ia kenal. Bau lavender dari diffuser otomatis menyambutnya—aroma yang sejak dulu selalu mengingatkannya pada satu orang: Nadira, cinta pertamanya, sekaligus alasan utama ia meninggalkan Kirana tanpa pernah benar-benar mengaku.
Pintu lift terbuka. Begitu ia masuk, jantungnya mulai berdebar dengan rasa yang sama sekali tidak ia berikan pada istrinya selama bertahun-tahun terakhir. Hasrat, bukan harapan. Obsesi lama yang tak pernah ia akui.
Setibanya di lantai 20, pintu apartemen sudah terbuka sedikit—pertanda Olivia memang menunggunya.
Begitu Huda melangkah masuk, sosok perempuan berambut panjang dengan gaun tipis satin muncul dari balik dinding. Cantik. Dewasa. Memabukkan.
“Huda…” suaranya lembut, namun penuh nyala yang hanya dimiliki perempuan yang tahu persis bagaimana menundukkan seorang laki-laki.
Huda langsung memeluknya, seolah segala penat perjalanan hilang lenyap. Aroma tubuh Olivia menyelimuti hidungnya, membuatnya lupa bahwa di rumah jauh di sana ada perempuan bernama Kirana yang dulu ia pilih karena dianggap paling aman—paling penurut—paling mudah dikendalikan.
“Mas kangen kamu,” ujar Huda, mengusap pinggang Nadira dengan familiaritas yang tidak pernah ia lakukan pada Kirana.
Olivia tersenyum kecil, mengecup bibir Huda sekilas. “Telat datangnya. Aku sudah nunggu dari tadi.”
Rasa bersalah tidak pernah muncul dalam dirinya. Tidak hari ini, tidak malam ini. Yang ada hanya euforia.
Dua tahun lalu, ia menukar Kirana dengan kenyamanan seperti ini—cinta pertama yang membuatnya merasa hidup, merasa muda, merasa berharga. Dan semakin lama, semakin mudah ia melupakan bahwa Kirana pernah begitu tulus, begitu polos… begitu percaya padanya.
Kini, Kirana hanya bayangan samar di sudut pikirannya. Perempuan yang ia tinggalkan untuk mengejar seseorang yang menurutnya lebih pantas ia perjuangkan.
Olivia menarik wajah Huda, menatapnya seolah ia adalah satu-satunya pria di dunia. “Kamu mau minum dulu?”
“Tidak,” jawab Huda cepat, suaranya serak. “Aku mau kamu.”
Ia meraih pinggang Nadira dan mencium bibirnya dengan panas yang meletup sekaligus membutakan.
Kirana tidak ada di pikirannya.
Tidak ada pengkhianatan yang terasa salah.
Tidak ada mimpi buruk tentang Bram.
Yang ada hanyalah Nadira—perempuan yang sejak dulu ia yakini sebagai “yang seharusnya”.
Dan dengan mendaratkan ciuman panas itu, Huda benar-benar menutup pintu nurani yang tersisa dalam dirinya, tanpa pernah tahu bahwa di tempat lain, Kirana sedang menyerahkan dirinya pada laki-laki lain untuk alasan yang jauh lebih pahit dan menyayat.
Kembali di Jakarta, Bramasta dan Kirana turun untuk sarapan dengan wajah yang bersinar bak pengantin baru. Sheila, putri Bram yang berusia 16 tahun dan secantik ibunya, sudah menunggu di meja makan.
"Wah, Papi kapan punya mama baru?" canda Sheila dengan polosnya, membuat Kirana tersipu malu.
"Hush! Jangan bicara begitu. Ini Tante Kirana, asisten pribadi Papi," perkenalkan Bram dengan sopan.
"Hai Tante Kirana! Aku Sheila," gadis itu menyambut dengan ramah, menjabat tangan Kirana.
Suasana meja makan terasa hangat dan riang. Sheila terus saja bercanda, "Tante Kirana hati-hati ya sama Papiku, dia ini pria kesepian!"
"Sheila..." Bram mencoba menegur, tapi Sheila terus melanjutkan.
"Iya kan Pi? Mami never around. Papiku bisa saja memungut teman-teman genjek Sheila yang bersedia dengan ikhlas menjadi sugar baby-nya!"
Tawa mereka mengisi ruangan, namun di balik senyum Kirana, ada kerinduan mendalam pada putrinya sendiri yang kini jauh darinya.
Pesawat pertama menuju Bali akan segera membawa mereka meninggalkan Jakarta—dan kenyataan—untuk sementara waktu. Di balik pintu first class yang tertutup, akan terbuka babak baru dimana kenikmatan dan pengkhianatan akan berpadu dalam ketinggian 35.000 kaki di atas tanah.
Setelah sarapan yang penuh dengan canda Sheila, sopir pribadi Bramasta sudah menunggu. Perjalanan ke bandara terasa seperti mimpi. Begitu tiba, segala sesuatu berjalan lancar dan cepat sebagai penumpang first class.
Begitu pintu pesawat tertutup dan mesin mulai menderu, sebuah getaran aneh menyusup di tubuh Kirana. Dia benar-benar meninggalkan suami dan anaknya.
Saat pesawat lepas landas, Bramasta memegang tangan Kirana erat.
Dan di ketinggian 35.000 kaki, Bramasta mengangkat tangan Kirana dan menciumnya perlahan. "Sekarang," ujarnya dengan suara rendah, "kita punya sekitar dua setengah jam sebelum mendarat di Bali. Cukup waktu untuk... menikmati ketinggian baru bersama."
Sorot matanya yang gelap dan penuh janji membuat Kirana sadar—perjalanan ini menjadi ujian terbesar bagi kesetiaannya yang sudah tidak utuh, karena ini bukan lagi tentang pengorbanan seorang istri untuk keutuhan rumah tangganya namun kenyamanan dan kesenangan yang mungkin semu. Dan mungkin titik di mana ia akhirnya menyerah sepenuhnya pada kenikmatan terlarang yang ditawarkan Bramasta di atas awan-awan yang membawa mereka menuju surga dunia—dan neraka pribadinya sendiri.
Dan mungkin inilah titik di mana Kirana akhirnya menyerah sepenuhnya pada kenikmatan terlarang yang ditawarkan Bramasta di atas awan-awan yang membawa mereka menuju surga dunia—dan neraka pribadinya sendiri.
"Kirana...." desis Bramasta, suaranya serak penuh nafsu yang tertahan. Ciumannya semakin turun, membakar setiap inci kulit Kirana yang semakin memanas
"Mm...Pak Bram..." erang Kirana, tangannya tak lagi menolak, justru meraih bahu Bramasta yang kokoh. Di ketinggian 35.000 kaki ini, dalam kabin pribadi yang hanya berisi mereka berdua, dunia seolah benar-benar milik mereka—terpisah dari kenyataan, terlepas dari segala aturan.
Di antara ciuman yang semakin dalam, tangan mahirnya membuka kancing baju Kirana satu per satu.
Tiba-tiba, lampu peringatan menyala. Suara pilot terdengar melalui speaker: "Para penumpang, kami akan mengalami turbulensi. Harap kembali ke kursi dan mengenakan sabuk pengaman."