“Wajah Lo?” Alifa menunjuk ke wajah Maureen, dimana tanda merah itu masih terlihat disana.
“Padahal gue udah pake bedak setebal lima senti, tapi masih kelihatan ya?” Maureen mengusap wajahnya yang masih terasa sedikit sakit dan meninggalkan jejak merah di sana.
“Lo kenapa?” Alifa mengambil minum miliknya.
“Tempelin ini di wajah Lo, bisa meredakan kemerahan dan sakit.” Alifa menempelkan botol minumannya yang terasa begitu dingin di wajah Maureen.
“Lo kenapa sih, Ren? Datang sepagian gini dengan wajah bengkak kayak habis dipukul.”
Alifa membawa menarik tangan Maureen, menuju kursi yang ada di ruang khusus karyawan itu.
“Lo abis berantem?” selidiknya.
Maureen mengangguk, “Iya. Tapi tenang, gue berhasil balas.” ia terkekeh.
“Hobi banget berantem sih?! Lo nggak ada takutnya,”
Beberapa bulan mengenal Maureen, Alifa mulai mengerti bagaimana tabiat temannya itu. Maureen memang sangat baik, tapi ia memiliki sikap tempramental yang cukup tinggi. Saat seseorang mengusiknya, Maureen tidak akan segan membalas. Entah dengan menegur atau yang paling parah dengan berkelahi.
Sosoknya sudah mulai dikenal sebagai si OB bar-bar, karena pernah beberapa kali terjadi pertengkaran.
“Bisa nggak sih, jangan main fisik gini? Lo bisa celaka, apalagi lawan Lo lebih kuat.” Alifa khawatir dengan keadaan Maureen, ia juga kerap mewanti-wanti agar bisa lebih tenang saat menghadapi masalah. Tapi sepertinya Maureen sudah terbiasa menyelesaikannya dengan kekerasan
“Gue nggak takut! Apalagi gue nggak salah, ngapain takut walaupun itu orang anak presiden sekalipun, kalau dia salah, harus di balas dong.”
Alifa menghela lemah. “Tapi bahaya, Ren. Lihat nih, wajah Lo babak belur kayak gini. Nggak cantik lagi, gimana mau dapat suami CEO kalau muka Lo jelek.”
Maureen tertawa. “Lagipula mana ada CEO yang mau sama pegawai OB kayak gue? Mimpi boleh, tapi jangan ketinggian. Sakit jatuhnya.”
“Jodoh, mati dan rezeki nggak ada yang tahu, Ren. Bisa aja satu hari nanti Lo beneran jodoh sama CEO.”
Maureen hanya tertawa saja, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mengaminkan doa Alifa.
Maureen dan Alifa bekerja sebagai OB di salah satu kantor terbesar Jakarta, Adiguna grup di kawasan elite Sudirman.
Kawasannya memang menjadi tempat paling elit untuk para pekerja kantoran, siapapun yang bekerja di segitiga emas jakarta itu, dipastikan kehidupan keuangannya sejahtera. Selain karena gaji yang besar juga menjadi standar tinggi bagi siapapun yang mengadu nasib di Jakarta.
Maureen memang memenuhi impiannya, dengan menjadi salah satu karyawan di perusahaan ternama, hanya saja ia tidak ditempatkan di salah satu ruangan khusus karyawan yang memakai seragam mahal dan rapi, tapi Maureen ada di bagian belakang, lebih tepatnya ada di bagian karyawan khusus OB.
Sudah hampir enam bulan lamanya ia bekerja di tempat itu, selain karena gajinya yang cukup besar dibandingkan tempat kerja sebelumnya, juga karena Maureen kerap mendapat tips dari beberapa karyawan kantor, yang kerap meminta bantuannya.
“Ren, tolong bersihkan ruangan dua, kami mau meeting.” ucap Pak Budi, salah satu staf kantor di sana.
“Baik, Pak.” Maureen bergegas mengambil peralatan tempur, yakni sapu, lap dan cairan pembersih khusus.
“Yang bersih, ya? Hari ini ada pertemuan penting.”
“Oke, Pak! Laksanakan.”
Karena keduanya sudah cukup akrab, Maureen tidak segan lagi bicara dengan Pak Budi.
Maureen hanya sendirian, sementara Alifa ditugaskan di ruangan lain.
Di ruang yang cukup luas dengan meja bundar dan dua belas kursi, Maureen mulai menjalankan tugasnya, membersihkan semua sudut ruangan dan memastikan tidak ada satupun debu yang tertinggal.
Pintu terbuka, dimana dua orang wanita muncul dan langsung menempati salah satu kursi.
Wanita cantik yang mengenakan blazer hitam itu tersenyum ke arah Maureen. Dia adalah, Siska salah satu petinggi perusahaan Adiguna atau mungkin dia adalah penerus dari perusahaan Adiguna grup.
“Mbak, masih belum selesai?” tanya asisten pribadi Siska, namanya Wulan.
“Sebentar lagi,” jawab Maureen.
“Nggak apa-apa, lanjutkan saja jangan terburu-buru. Yang penting rapih dan bersih.” balas Siska.
Salah satu hal yang membuat Maureen cemburu pada sosok Siska adakah tutur bahasa dan sikap lemah lembutnya. Terlahir dari keluarga ternama Adiguna, tidak lantas membuat Siska sombong. Justru asistennya yang selalu terlihat sombong dengan segala aturan yang terkadang membuat Maureen ingin menyapu wajahnya.
“Hari ini Anjas datang?” tanya Wulan.
“Iya. Sekalian mau bahas kerja sama dan proyek baru bulan depan.”
Maureen menguping, walau tidak ada niat dalam hati ingin mendengar obrolan mereka berdua tapi karena ia masih ada di ruangan yang sama, mau tidak mau, apa pun yang mereka bicarakan pasti didengar Maureen.
Tapi sepertinya ada yang tidak asing dengan nama yang baru saja disebut Wulan.
“Kapan kalian tunangan? Pacaran udah lama tapi nggak ada hilal tunangan.” pertanyaan bernada candaan itu terdengar biasa saja, sementara Siska hanya terkekeh.
“Nggak tahu, gimana Anjas aja.”
Lagi-lagi Maureen mendengar nama yang tidak asing diingatan, tapi di dunia ini ada banyak nama Anjas, mana mungkin orang yang sama.
“Bu, saya sudah selesai. Saya pamit,” karena tugasnya sesudah selesai, Maureen pamit pergi.
“Oke. Makasih ya, Ren. Ini untuk kamu, buat beli minuman.” Siska mendekat, memberikan satu lembar uang seratus ribu pada Maureen.
“Terimakasih, Bu.”
Salah satu nilai tambah untuk Siska, selain cantik dan baik, wanita itu juga sangat dermawan.
“Sama-sama.” balasnya.
Maureen segera keluar dari ruangan itu, hendak kembali ke ruang belakang dimana tempat ob istirahat dan menaruh alat kebersihan. Maureen lebih sering menggunakan tangga darurat daripada lift, karena beberapa orang enggan satu lift dengan pekerja bawah seperti OB.
Saat ia melewati lift, saat itu juga pintu besi itu terbuka. Beberapa orang keluar dari dalam sana, dan Maureen mempercepat langkahnya agar tidak berpapasan langsung dengan mereka.
“Mbak, ruangan dua dimana ya?”
Langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang. Ia menoleh ke arah kerumunan.
“Ruang dua ada di,,,” ucapannya terhenti saat melihat sosok yang sangat dikenalnya. Tidak hanya satu, tapi dua orang.
“Lo,,, yang semalam?” pertanyaan bernada ejekan itu terdengar di iringi seringai di wajah cantiknya. Gadis itu lagi, gadis yang semalam berkelahi dengannya.
“Lo OB disini? Lo OB sekaligus LC? Ya ampun, kenapa dunia ini sempit sekali.” Dengan senyum pongah, wanita itu mendekat.
“Lo kerja disini, dan perusahaan ini jadi mitra bisnis keluarga gue.” Ia tersenyum, menyeringai menikmati keterkejutan Maureen.
“Nasib Lo ada di tangan gue,” ia mendorong pundak Maureen.
“Jangan cari ribut, disini kita tamu.” lelaki yang sejak tadi menatap ke arah Maureen mendekat.
“Maaf, adikku memang sedikit rese.” ucapnya, dengan tidak memutus pandang.
Entah karena terkejut atau mungkin terkesima dengan sosok lelaki itu, Maureen hanya terdiam saja.
“Ayo, jangan cari ribut.” ajaknya, sambil menarik tangan si wanita yang belum diketahui namanya itu. Namun sebelum benar-benar pergi Anjas berhenti tepat di samping Maureen.
“Senang bertemu denganmu lagi, Maureen.”
Ternyata lelaki itu masih mengingatnya, entah diingat sebagai mantan kekasih atau wanita yang telah mencampakkannya karena dianggap miskin oleh Maureen.