Ice Cream

1211 Words
"Mama." Dua orang yang sedang saling pandang dalam diam itu harus menoleh ketika suara Akram mengalihkan perhatian mereka. Elaine tampak gugup, karena melihat Akram ada di dekatnya. Tanpa sadar, dia sampai mendorong kasar Devan dari hadapannya. Lelaki itu pun tak kalah kagetnya dengan Elaine. Devan mengalihkan pandangan, menatap ke sekeliling. Tak ingin dilihat Akram jika dirinya sedang salah tingkah. "Akram." Dengan cepat Elaine menghampiri anaknya. Dia berjongkok untuk bisa sejajar dengan bocah lelaki itu. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala Akram. "Ada apa?" tanya Elaine lembut. "Akram lapar," jawab bocah itu dengan polosnya. Seolah tak memperdulikan apa yang telah dilihatnya barusan. Dahi Elaine berkerut, tapi tak urung dia tetap berdiri. Wanita itu menggandeng tangan Akram dan melangkah menuju ruang makan. Tak ingin ditinggal sendirian, Devan pun akhirnya mengikuti ibu dan anak tersebut. "Anda ingin makan juga?" tanya Elaine dengan sebelah alis terangkat, melihat Devan duduk di sebelah Akram. "Tidak, aku sudah kenyang," tolak Devan. "Kalau begitu tunggulah di ruang tamu. Anda membuat saya tidak nyaman," kata Elaine sedikit ketus. Mata Devan langsung memicing mendengar itu. Dia melirik kesal ke arah Elaine. Lalu merebut piring yang sejak tadi dipegang oleh wanita itu. "Kalau begitu aku ikut makan." Lelaki itu benar-benar terlihat plin-plan. Ucapannya bahkan bisa berubah hanya dalam sekejap. Hal ini membuat Elaine menghela napas pelan. Entah kenapa dia seperti menghadapi Akram besar yang sedang merajuk. Jika dilihat-lihat, sikap Devan begitu mirip dengan Akram. Tak ingin pusing memikirkannya, Elaine segera duduk dan mengambilkan makanan untuk Akram. "Kamu tidak makan?" tanya Devan melihat Elaine malah menyuapi Akram. "Tidak," jawab Elaine dengan gelengan kepala. "Saya sedang diet." Entah kenapa Devan tak bisa menyembunyikan tawanya. Lelaki itu terkekeh menatap lekat tubuh Elaine. Wanita itu sudah sangat kurus, tapi bisa-bisanya masih melakukan rutinitas diet. Devan makan dengan lahap. Masakan Elaine benar-benar terasa pas di lidahnya. Lelaki itu bahkan tak menyadari jika Elaine sejak tadi memandang dirinya. Dia benar-benar menikmati makanan tersebut. "Elaine," panggil Devan tiba-tiba di sela makannya. "Hem," jawab Elaine singkat. "Mulai besok, aku ingin kamu menyiapkan bekal untukku." Dahi Elaine berkerut dalam menatap Devan. Apa dia tidak salah? Bekal? "Masakanmu sangat enak, aku menyukainya," puji Devan. Jantung Elaine berdegup kencang mendengar ucapan gamblang Devan. Baru kali ini dia dipuji tentang masakan oleh orang lain. Bisanya dia hanya mendengar itu dari mulut Akram atau mbok Sri. Tapi kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa Elaine merasa tersanjung. "El," panggil Devan menatap Elaine heran, karena wanita itu hanya diam. Sedangkan Elaine tampak tergagap. Dia terlihat salah tingkah saat ini. Wanita itu sedikit menunduk dan kembali menyuapi Akram. Dia tidak ingin Devan melihat jika wajahnya memerah sekarang. "Baiklah," jawabnya dengan lirih. Selesai makan bukannya pulang, Devan malah mengajak Akram bermain kembali. Hal ini membuat Elaine merasa aneh dengan sikap bosnya itu. Dia juga heran, mengapa Akram cepat akrab dengan orang yang baru dikenal. "Mama." Suara Akram membuat Elaine yang sedang mencuci piring segera menoleh. Dia menatap anaknya yang sudah ada di sampingnya entah sejak kapan. "Ada apa, Akram?" Dengan cepat Elaine menyelesaikan pekerjaannya. "Bolehkah Akram pergi bersama Om Devan?" tanya Akram dengan suara imutnya. "Pergi ke mana?" Dahi Elaine langsung berkerut dalam. "Membeli ice cream." Tiba-tiba saja Devan menyela. Lelaki itu berdiri di belakang Akram dengan tangan menyilang d**a. Elaine yang mendengar itu langsung menatap Devan kesal. Lalu menggendong Akram dan membawanya duduk di kursi. Elaine berjongkok agar bisa menatap Akram saat berbicara. "Ini sudah malam, Sayang. Besok saja, ya?" ucap Elaine memberi pengertian. "Tapi, Mama." Entah kenapa Akram mulai merajuk. Bocah yang bisanya selalu menurut itu tampak membantah ucapan ibunya. "Akram ingin makan ice cream sekarang." Embusan napas pelan terdengar di bibir Elaine. Dia menunduk untuk meredakan amarahnya sesaat. Dia tahu, Akram tidak akan meminta hal aneh jika tidak ada pemicunya. Dan Elaine yakin, jika permintaan Akram ada sangkut pautnya dengan Devan. Tiba-tiba saja Elaine berdiri. Dia menghampiri Devan dengan sorot mata yang tajam. Tanpa aba-aba, dia menarik tangan Devan untuk keluar dari ruangan tersebut. "Apa yang Anda rencanakan, Pak?" tanya Elaine begitu mereka sampai di depan rumah. "Apa?" tanya Devan bingung. "Kenapa Anda mengajak Akram keluar dengan alasan membeli ice cream?" tanya Elaine lagi dengan mata memicing. "Itu bukan alasan, Elaine. Aku memang mengajak Akram. Tapi tidak ada niatan lain," ucap Devan terdengar tulus. "Kenapa kamu selalu mencurigaiku, sih?" Devan menatap Elaine dengan dahi yang berkerut dalam. Elaine terlihat bingung dalam menjawab. Dia sendiri tidak tahu, kenapa dia selalu berpikiran buruk tentang Devan. "Jika tidak boleh yasudah, aku tidak akan mengajak Akram lain kali. Tapi bukannya jika kamu melarangnya dia akan marah padamu?" ungkap Devan terdengar tak acuh. Elaine benar-benar merasa kesal pada Devan. Bibirnya mengerucut, menunjukkan sikapnya yang tidak menyukai Devan. "Hanya malam ini, tidak ada lain kali," ucap Elaine ketus yang langsung berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Devan tersenyum puas. Sebenarnya apa yang dituduhkan Elaine tidak salah. Dirinya juga mempunyai alasan lain mengajak Akram keluar. Dia ingin mempunyai waktu lebih bersama Elaine. Devan masih penasaran dengan kepindahan yang diucapkan Elaine tadi. Pintu kembali terbuka, Akram tampak riang sambil menghampiri Devan. "Ayo, Om." Tangan Devan meraih tubuh kecil Akram. Lelaki itu membawa Akram dalam gendongannya. "Di mana mamamu?" tanya Devan celingkukkan. Tak berapa lama, orang yang ditanya akhirnya keluar. Wanita itu terlihat sederhana, tanpa mengganti baju tidurnya. Hanya dilapisi sebuah jaket rajut dengan rambut yang dikuncir kuda. Wajah Elaine begitu cemberut. Tapi entah kenapa Devan yang melihat merasa terpesona dengan kecantikan alami wanita itu. "Ayo," ajak Devan dengan wajah berseri. Lelaki itu mulai menghampiri mobil, mendudulan Akram di bangku depan. Tak lupa memasangkan seatbelt untuk bocah lelaki itu. Setelahnya dia memutar mobil untuk masuk di bagian kemudi. "Akram benar-benar mengabaikanku sekarang," gumam Elaine tidak suka. Dia sedikit membanting pintu mobil saat masuk ke dalam. Mobil mulai melaju meninggalkan kawasan rumah kontrakan Elaine. Bukannya membeli di supermarket, Devan malah mengajak mereka ke kedai khusus ice cream. Tentu saja hal ini membuat Akram sangat senang. Dia memilih menu ice cream dengan rasa bervarian. Bocah lelaki itu tampak menikmati sajian ice cream yang belum pernah dinikmatinya. "Jangan terlalu banyak makan ice cream. Kamu bisa sakit perut nanti," kata Elaine menatap cemas anaknya. "Sudahlah, itu hanya ice cream," kata Devan menyela. "Hanya ice cream?" beo Elaine melihat Devan dengan tak suka. "Jika besok Akram kenapa-napa, saya akan meminta pertanggungjawaban Anda." Devan tak menjawab, hanya memutar bola mata malas dengan sikap Elaine yang begitu posesif pada anaknya. "Kamu tidak memesan?" tanya Devan melihat meja di hadapan Elaine kosong. "Tidak," jawab Elaine menggeleng. Setelah itu suasana kembali hening. Elaine membantu Akram. Sedangkan Devan tampak diam mengamati dua orang di depannya. Ada perasaan hangat saat melihat Elaine menunjukkan kasih sayang pada Akram. Tanpa sadar, bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. "Elaine," panggil Devan tiba-tiba yang membuat Elaine reflek melihatnya. "Boleh aku tahu kamu mau pindah ke mana?" tanya Devan. Dahi Elaine berkerut. Dia tampak bingung dengan ucapan Devan. "Pindah ke mana?" "Bukannya tadi kamu sedang memberesi baju karena mau pindah?" tanya Devan begitu serius. Mendengar itu, Elaine langsung terkekeh. Dia tidak percaya jika ucapannya tadi akan dipercaya langsung oleh bosnya. "Saya tidak pindah, Pak," kata Elaine dengan senyuman. "Saya mendapat tugas ke luar kota besok." "Ke luar kota?" pekik Devan terkejut. "Lalu bagaimana denganku?" Senyum yang tadinya terpancar langsung sirna seketika. Elaine menatap heran pada Devan. Apa maksudnya lelaki itu? Memangnya ada apa dengannya? Kenapa dia bersikap seolah-olah sedang ditinggal oleh kekasihnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD