Bab 3

1304 Words
Bunyi alarm yang memekakkan telinga membuatku terbangun lalu mataku mengernyit menahan silau matahari yang masuk dari jendela kamar. Aku menyambar ponsel yang terletak di atas nakas lalu mematikan alarm. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, dengan malas aku duduk di tepi ranjang menatap sinar matahari tadi. Entah kenapa hari ini aku malas kembali ke rutinitas setelah masa cutiku habis. Entah sudah berapa kali pak Hendrawan mengancam akan memecatku andai hari ini aku tidak kunjung masuk kerja. Rani juga bilang kalau tumpukan pekerjaan sudah menunggu di meja kerjaku. Argggghhh hari ini akan sangat melelahkan. "Pagi cantik, sahabat ganteng elo datang dengan sarapan mewah khusus untuk wanita tercantik di hidup gue," sapaan dari Rakha membuka pagiku. "Gombal loe cong," balasku malas. Jiwa dan ragaku belum kembali sempurna dan gombalannya membuat perutku tiba-tiba bergejolak antara mau muntah dan kelaparan ditambah aroma wangi dari nasi goreng buatannya semakin membuat cacing-cacingku bernyanyi minta diberi makan. Aku akui Rakha banyak memiliki nilai plus, selain pintar cari uang Rakha juga pintar masak. Bahkan apartemennya lebih bersih dibandingkan apartemenku yang seperti kapal pecah. Rakha meletakkan baki tadi di atas ranjang lalu duduk di sampingku. "Ingat ya cong, jangan pernah bahas masalah itu di kantor. Gue nggak mau ada gosip tentang kita," kataku memperingatinya. Rakha mengambil sendok lalu menyantap nasi goreng yang tadi katanya buat aku. "Cong, ih kok malah di makan." Aku menyambar sendok dari tangannya. "Ada gosip juga nggak masalah. Bagus dong, jadi mereka nggak bakal tahu kalo gue itu homo." Aku langsung menjentik keningnya. "Sakit tau!" dia memegang keningnya yang memerah. "Gue yang nggak mau cong." "Au dah, makan gih atau gue yang ngabisin. Lama amat makannya, sok cantik loe." Aku mengambil piring tadi lalu membawanya menuju sofa dan langsung menghabiskannya. "Pelan-pelan," Rakha kembali mendekatiku dan menepuk pelan bahuku saat hampir saja nasi goreng buatannya masuk ke dalam hidungku. Beginilah pagiku saat Rakha menginap, aku dilayani bak ratu dengan berbagai makanan enak dan terkadang Rakha juga yang memilihkan pakaian yang hendak aku pakai ke kantor. Setelah sarapan aku langsung bergegas mandi, Rakha masih santai di ranjang sambil memainkan ponselnya. "Cong, elo lagi jomblo ya. Hobi banget datang ke sini," tanyaku sambil memoles makeup sederhana di wajahku. "Tahu aja sih elo. Elo emang sahabat terbaik gue." Tentu saja. Mana mungkin Rakha mau tidur di sini berhari-hari andai di luar sana ada laki-laki lain menunggunya. "Cong, gue boleh nanya nggak?" "Nanya apa, cantik?" "Kok bisa sih elo jadi homo. Padahal ya dulu itu banyak banget wanita-wanita cantik antri mau jadi pacarnya elo. Kok elo jadi bengkok gini? Emang sih kita sahabat dari dulu tapi sejak elo pulang dari Belanda kan orientasi elo berubah?" Ada senyum di wajahnya. "Karena ... RAHASIA!" Selalu itu jawabannya setiap aku bertanya. "Ya ya ya," aku malas membahasnya dan kembali merapikan rambutku. Ada tawa terdengar saat aku terlihat kesal, Rakha mengambil handuk yang tergantung lalu masuk ke dalam kamar mandi. **** Rani ternyata benar, tumpukan berkas sudah menggunung di meja kerjaku. Untungnya Rakha sudah membuatkan sarapan jadi sejak pagi aku memutuskan menyelesaikan pekerjaan tanpa mau diganggu oleh siapa pun. Termasuk pak Hendrawan yang sejak pagi ingin aku datang ke ruangannya. "Mbak, si botak bawel tuh." Rani berdiri di pintu dengan wajah tidak enak. Aku meletakkan pena dengan kesal lalu meninggalkan ruangan menuju ruangan pak Hendrawan. Tok tok tok "Masuk," balasnya ramah. Tumben. Aku membuka pintu dan melihat Rakha sedang duduk di sofa membaca beberapa dokumen. Rakha terlihat sangat serius seakan tidak mau diganggu oleh siapapun. Aku lalu duduk di sofa samping Rakha. "Siang pak," sapaku seramah mungkin. "Hmmm," balasnya singkat. Aku melihat ke arah pak Hendrawan untuk bertanya tujuannya memanggilku. "Ada apa pak?" tanyaku pelan. "Perusahaan memutuskan melanjutkan kerjasama dengan PT. CINTRA ANDALAS dan pak Rakha mau kamu mengaudit laporan keuangannya." Oke, berita ini sungguh mengejutkan. Sudah dua tahun ini aku mencurigai aliran dana ke perusahaan ini tidak sesuai peruntukan dan tumben Rakha menugaskan aku untuk mengaudit. "Dan ..." "Dan berarti kamu sampai akhir bulan harus ke Padang," sambung pak Hendrawan. "Padang? Bukankah kantor pusatnya di Jakarta ya?" tanyaku bingung. "Pak Rakha mau audit kantor cabang dulu baru pusat. Besok kamu berangkat dan jangan pulang sebelum semua laporan selesai." Aku melihat ke arah Rakha dan dia masih sibuk dengan dokumennya. "Baik pak," balasku singkat. Aku lalu pergi tanpa minta izin ke Rakha. Ada sedikit rasa kesal dengan keputusannya, bukannya nggak mau pergi tapi aku butuh persiapan untuk tinggal selama dua minggu di kota asing yang bahkan aku tidak pernah ke sana. "Gema," panggilan Rakha membuatku memutar badan. "Ya pak." "Kalo di Padang jangan pakai rok mini." Aku melihat rokku, aku menantangnya seakan tidak suka dia membahas pakaianku di depan pak Hendrawan. "Ada yang salah dengan rok saya pak? Otak m***m jangan dipelihara, masa h***y lihat wanita memakai ini?" "Gema!" Astaga, aku terpancing. "Maaf pak, pekerjaan saya masih banyak." Aku keluar dari ruangan pak Hendrawan dan mulutku masih menyumpahi si b*****g homo sialan. Tak lama ponselku berbunyi, ada nama Rakha di layar ponselku. Rakha : Elo marah ya cantik, gue kan cuma ngingatin. Gema : Kita kenal? Jangan sok akrab ya cong! Jangan tidur di apartemen gue malam ini. Gue lagi syebel sama elo! Rakha : Terus gue tidur di mana? Gema : Bodo! Aku kembali menyimpan ponsel dan bergegas menuju ruanganku. aku harus menyelesaikan semuanya sebelum berangkat ke Padang. **** Dua minggu aku berkutat dengan berbagai macam laporan keuangan sejak tahun pertama kerjasama sampai tahun terakhir dan ternyata Rakha benar, banyak kejanggalan dalam laporan keuangan bahkan beberapa alat tambang yang dilaporan terbeli dengan harga mahal saat aku cek kondisinya tidak layak pakai. Bahkan aku berani taruhan kalau alat itu tidak dibeli dengan harga tinggi. "Mbak ada titipan," ujar resepsionis hotel saat aku hendak membayar tagihan. Rencananya siang ini aku kembali ke Jakarta dan sebelum ke bandara aku ingin menyusuri setiap sudut kota indah yang sejak kedatanganku belum sempat aku jelajahi. "Dari siapa?" Resepsionis itu lalu mengangkat bahunya. Aku membuka amplop coklat dan mengeluarkan sebuah kertas berbentuk tiket pesawat. Taddaaaaa Kejutan! Waktu elo di sini diperpanjang sampai besok dan nikmati keindahan kota Padang. Anggap saja sebagai permintaan maaf gue yang lancang membahas rok seksi elo di depan pak Hendrawan. Rakha. Sahabat terganteng elo. Aku tertawa membaca suratnya, bahkan aku lupa pernah marah. "Baik kan gue?" aku semakin terkejut saat melihat Rakha berdiri di belakangku. "Ngapain elo di sini cong?” "Pacar gue orang Padang. Ya sekalian ke sini buat jengukin elo. Takutnya elo selama dua minggu sudah berubah jadi rendang," balasnya sambil ketawa pelan. "Sialan loe! Mana pacar elo cong. Kenalin ke gue dong," aku mencari keberadaan pacar baru Rakha. "Lagi ngambek, biar deh nanti juga baikan." "Oh." Rakha pun menarik tanganku menuju keluar, di sana sudah menunggu sebuah mobil. "Kita ke mana?" "Wisata kuliner." Air ludahku mulai berkumpul, sejak tadi malam entah kenapa aku sangat ingin makan rendang dan lucunya sejak tadi malam juga aku ingin makan ditemani Rakha. Aneh kan? Sejak kapan aku semanja ini. Mobil Rakha berhenti di depan sebuah rumah makan ternama. Belum masuk saja aroma masakannya membuat perutku semakin keroncongan. Aku bergegas masuk dan kami dilayani beberapa pelayan dengan ramah. Mereka meletakkan berbagai macam hidangan masakan padang di atas meja. Tanpa banyak kata aku langsung menyantap beberapa lauk, seakan sudah lama aku tidak makan. "Santai Gem, elo kayak kesurupan tau." "Lapar cong dan ini sumpah enak banget. Gue boleh nambah ya?" Rakha memanggil pelayan dan entah sudah berapa potong rendang masuk ke dalam perutku. "Enak banget ya?" tanya Rakha yang terlihat tidak berselera. "Enak cong, coba aja." Aku menyerahkan sepotong daging rendang, Rakha menggigitnya tapi sedetik kemudian dia menutup mulutnya. "Nggak enak! Bikin mual!" Rakha lalu berdiri dan bergegas menuju toilet. Aku masih menikmati sajian yang menurutku sangat enak. "Masih mau lagi mbak?" tanya pelayan dengan ramah. "Boleh mas." "Mbak hamil ya? Soalnya suami mbak muntah-muntah." Sialan! Selera makanku langsung hilang. Aku menatap tumpukan piring yang menggunung. Seakan ada manusia lain di perutku minta diberi makan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD