Ternyata menikah itu benar-benar menguras waktu dan tenaga, setelah foto prewedding sekarang waktunya memilih rumah yang akan kami tempati setelah menikah. Awalnya kami ingin tinggal bersama mami Renny tapi dibatalkan saat mami Renny berkeinginan menghabiskan waktu tuanya dengan mengelilingi semua negara di dunia ini.
Mami Renny bilang itu sudah direncanakannya kalau Rakha sudah menikah dan memiliki keluarga jadi mami Renny bisa menikmati masa tua sesuai dengan keinginannya dan sebagai anak Rakha pun menyetujui keinginan mami Renny. Rumah mami Renny terlalu besar jika hanya ditempati oleh kami jadi kami pun memutuskan membeli rumah yang lebih kecil.
"Gue suka rumah itu. Nggak terlalu besar dan juga cocok karena dekat dengan kantor," tunjukku saat kami berdiri di depan rumah minimalis bercat putih, rumah itu tidak terlalu besar karena hanya akan ditempati kami berdua serta calon anak kami kelak. Rakha meletakkan jarinya di dagu seolah sedang berpikir keras.
"Gaya loe cong. Buruan! Suka apa kagak? Kalo suka langsung beli, kalau nggak terpaksa cari yang lain."
"Menurut mata bathin gue ya, daerah rumah ini tidak cocok untuk kita. Menurut desas desus dulu di rumah itu ..." Rakha mengarahkan jarinya ke arah rumah tua tak jauh dari rumah yang aku tunjuk tadi, "rumah itu dulu ada kejadian mengerikan. Seorang suami memutilasi istrinya tujuh potong lalu membuangnya di jalan yang sepi," sambungnya dengan wajah serius.
"Rakha!"
Bulu kudukku langsung berdiri membayangkan tubuh manusia dipotong jadi tujuh bagian oleh suaminya sendiri. Ya ampun, kenapa aku jadi membayangkan nantinya Rakha melakukan hal yang sama padaku?
"Huwahahahahaha, pasti elo lagi ngayal gue memutilasi elo kan?" tebaknya dengan tawa jahil.
"Seraaaahhhhh cong, capek gue ngeladenin elo. Makan hati, jantung, limpa, usus dan otak!"
Napasku saling memburu saking kesel meladeni sikap jahil Rakha yang selalu membuat hari-hariku tidak tenang tapi anehnya kenapa setiap hari aku nggak bisa lepas dari dia, seakan ada magnet kuat yang membuatku semakin dekat dan sulit lepas.
"Loe buka rumah makan padang? Semua organ sapi disebut, elo kanibal ya?"
Aku melepaskan flatshoes yang aku kenakan lalu melemparkan ke arah Rakha. Rakha menghindar lalu mengejekku dengan menjulurkan lidahnya.
Nak, maafkan ibumu ya kalau suatu hari nanti babe kamu yang katanya ganteng itu mama bunuh.
Aku lalu mengelus perutku agar anakku sabar menghadapi sikap bapaknya yang seenak jidatnya.
"Gue yang bakal mutilasi elo! Kalo perlu kon*** sialan yang bikin gue hamil itu gue makan! Puas!"
"Blowj**? Elo modus banget, pakai cara mutilasi dulu. Kalo mau ya udah jujur aja sih," godanya.
Perbincangan unfaedah ini tidak akan berakhir kalau aku terpancing membalas setiap ucapannya. Aku meninggalkan dia sendiri dan kembali masuk ke dalam mobil, mataku melihat ke arah rumah sepi tadi dan bulu kudukku kembali berdiri.
"Jadi beli rumah ini?"
"Nggak."
Rakha pun ikut masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan komplek perumahan yang terbilang cukup mewah itu. Rakha kemudian mengarahkan mobilnya menuju komplek perumahan tidak jauh dari perumahan tadi dan sepertinya ada satu rumah yang masih kosong. Rumah itu terlihat lebih besar dibandingkan rumah yang tadi.
"Gue suka rumah ini, gimana?" tanyaku.
"Boleh," Rakha mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor ponsel si pemilik rumah yang tercantum di papan. Rakha terlihat serius saat membicarakan harga jual rumah, untuk membuang waktu aku mengeluarkan ponsel dan diam-diam memotret Rakha yang terlihat berbeda saat sedang serius.
Babe kamu emang ganteng sih nak cuma isengnya suka kelewatan, mama kan kesel dan suka maki serta ngutuk babe kamu itu. Jadi maafkan ya kalo setiap hari kamu akan dengar makian serta omelan mama ke babe kamu itu.
"Beb."
"Ya."
Aku menyimpan ponsel agar Rakha tidak tahu fotonya aku jadikan wallpaper ponsel. Untungnya Rakha bukan tipe manusia kepo yang suka memeriksa ponsel pasangannya.
"Gimana?"
"Deal, rumah ini udah gue beli atas nama elo dan Jaka atau Jenab."
"Jaka atau Jenab? Siapa?"
"Anak kita lah, kalau laki-laki gue bakal kasih nama Jaka dan kalau perempuan bakal gue kasih nama Jenab," balasnya dan lagi-lagi senyum menyebalkannya itu membuatku lagi-lagi naik pitam.
"Serahhhhhh cong serahhhhhh."
****
Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat dan akhirnya hari yang akan mengubah kehidupanku akhirnya datang. Hari pernikahanku dan Rakha, tentu setelah melewati berbagai macam kejadian yang membuatku harus banyak mengurut d**a menahan diri untuk tetap sabar. Bahkan beberapa kali aku hampir membatalkan pernikahan saat emosiku tersulut, kata orang sih efek mau menikah membuat emosi naik turun dan sialnya Rakha tidak peka.
Kedua keluarga sudah ramai datang bersama anak serta cucu mereka untuk memeriahkan acara pernikahanku dengan Rakha, tamu-tamu undangan dari kedua keluarga juga mulai memenuhi ballroom hotel tempat diadakan acara pernikahan. Sejak kemarin juga aku tidak diizinkan bertemu dengan Rakha, orangtua kami sepakat mengurungku dan Rakha di rumah masing-masing dan ternyata dunia berjalan sangat lambat saat hidupku tidak diganggu oleh manusia aneh bernama Rakha Gailendra.
Sungguh aku tidak menyangka hubungan kami dari sahabat dalam hitungan menit akan berubah menjadi suami istri. Aku benar-benar tidak tahu akan seperti apa nantinya rumah tangga tanpa cinta ini sedangkan pasangan yang menikah dengan cinta saja terkadang tidak berakhir bahagia.
Aku masih menunggu mbak Hanin membawaku ke ruangan untuk memulai acara ijab qabul. Beberapa kali aku melihat layar ponsel untuk menghitung detik demi detik acara akad nikah dimulai.
"Beb."
Aku melihat ke arah pintu. Rasanya aku mendengar suara Rakha tapi pintu tertutup rapat.
"Gema cantik."
Kali ini suara itu lebih keras dan aku yakin pelakunya adalah Rakha. Aku mencoba mencari asal suara dan mataku langsung membesar saat melihat kepala Rakha di jendela. Aku langsung mendekati jendela itu lalu membukanya.
"Astaga Rakha! Elo benar-benar sudah gila ya? Ngapain pakai acara manjat segala, kalo jatuh gimana!" Aku membantunya masuk, hampir saja dia jatuh andai tangannya tidak langsung memegang tanganku.
"Kangen beb, mami nggak kasih izin gue buat lihat elo dan Jaka/Jenab jadi tadi sebelum masuk gue kabur dulu biar nanti pas ijab qabul gue nggak salah sebut nama Gema Putri Bakti Utomo jadi Glen, Yudhi atau Michael."
Ya kali dia sebut nama-nama mantan homonya.
"Cantik banget sih." Rakha mencolek daguku tapi aku halau agar makeup ku tidak rusak.
"Emang, baru tau?"
"Semua udah beres?" tanyaku mengingatkan semua syarat agar pernikahan kami berjalan lancar.
"Sudah beres bebeb, elo tinggal duduk manis di samping gue dan setelah itu gue yang ganteng ini akan sah menjadi suami elo," balasnya penuh percaya diri.
"Ya ya ya." Aku hendak kembali duduk tapi songket yang aku kenakan sangat sempit dan membuatku sulit melangkah, "bantu gue napa sih," pintaku dengan wajah memelas.
Rakha mendekatiku lalu memegang pinggangku.
"Yang suruh pegang pinggang siapa?"
"Elo ini sewot mulu ya. Dibantu bukannya terima kasih malah sewot, malas ah nolong."
Rakha lalu melepaskan pelukannya dan berjalan menjauhiku tapi kakinya tanpa sengaja menginjak ujung songket dan kami berdua langsung terjatuh, untungnya aku jatuh di atas badannya.
"Arghhhh Rakhaaaaa! Jatuhkan kita! Kalo Jaka/Jenab kesakitan gimana!"
"Maafin babe dan enyak ya nak," dia mengelus perutku dengan wajah menyesal. Pelan-pelan aku berniat bangun tapi aku hentikan saat mendengar suara bunda dan mami Renny yang mengucap berkali-kali.
"Nah kan jeng, untung kita nikahkan mereka kalau nggak udah berapa dosa yang mereka lakukan. Ckckckck!"
Aku buru-buru berdiri, sebelum berdiri dengan normal aku sengaja menginjak kaki Rakha untuk melampiaskan kekesalanku.
"Beb, elo nginjak kon*** gue!"
Aku melihat ke arah bawah dan ternyata bukan kaki yang aku pijak tapi ....
****