2

1838 Words
Juliet telah pergi. Tidak ada satu orang pun mengucapkan selamat tinggal. Sebab tak seorang pun tahu bahwa Juliet telah tiada. Hanya aku seorang. Aku, manusia yang sama-sama tidak menginginkan kehidupan seperti Juliet. Kami berdua, aku dan Juliet, seolah terlahir hanya demi membenci kehidupan. Aku mengenal Juliet dari setiap keping kenangan miliknya yang tertancap di otak. Datang seperti tsunami yang menggulung setiap ons empati dalam diriku. Pria yang dianggap sebagai ayah hanya menganggap Juliet sabagai sebuah tanggung jawab kepada mendiang wanita yang tidak pernah membalas perasaannya. Ibu asuh Juliet tidak sampai melakukan tindakan kekerasan, tetapi tidak cukup baik pula hingga sanggup memberikan kasih sayang. Sementara kedua kakak lelakinya, kakak yang sebenarnya tidak berbagi setetes darah pun dengannya, menganggap Juliet sebagai aib. Hanya Yevette. Hanya Yevette seorang yang mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga Charion. Terhitung dua minggu semenjak aku menempati tubuh Juliet. Duke Charion melarang penempatan benda-benda berbahaya, benda yang mungkin bisa dijadikan sebagai alat bunuh diri, di kamar Juliet. Vas, sisir, cermin, jendela dipalang demi mencegah kemungkinan Juliet melompat, makanan disajikan tanpa perlu menggunakan garpu dan pisau, bahkan selimut ditiadakan. Alhasil kamar Juliet terasa hampa seperti suasana hatiku. Duke Charion melakukan tindakan demikian semata atas nama tanggung jawab terhadap ibu kandung Juliet. * Seekor kenari hinggap di sisi luar jendela. Aku hanya berdiri sembari memperhatikan burung tersebut terbang ke pohon fir lantas hinggap pada salah satu ranting. Sesaat perasaan melankoli membasuhku dalam sensasi sendu. Kenari tidak bernyanyi. Perlahan aku menjulurkan tangan, menyentuh permukaan kaca. Seakan tidak ada batas di antara kami, aku dan si kenari. “Kau pasti tengah mencari kawanmu?” Setelah menghela napas, aku kembali berkata, “Di sini tidak ada siapa pun.” Tidak ada satu pelayan pun yang ditempatkan di kamar Juliet. Mereka hanya datang saat mengantar makanan dan membantuku berganti pakaian. “Hanya ada aku seorang.” Pada akhirnya kenari pun memilih terbang meninggalkan ranting pohon fir. Dia mungkin berpikir bahwa manusia dalam sangkar ini tidak memiliki kehendak bebas seperti dirinya. Juliet telah pergi. Kini ia tidak perlu mengemis cinta kepada keluarga Charion. Aku mempertimbangkan meninggalkan kediaman Charion. Tanpa perlu pikir panjang, aku mencoba membuka pintu. Namun, nihil. Duke Charion memerintahkan pelayan mengurung Juliet sampai batas waktu yang tidak ditentukan. “Kenapa aku terjebak di sini?” raungku. Darah mendidih karena emosi yang selama ini tertahan dalam diriku. Saat aku hendak menendang pintu, tiba-tiba kenop bergerak—tanda seseorang membuka kunci. Seseorang masuk dan menatapku dengan sorot menuduh. “Apa kau tidak bisa berhenti menyengsarakan orang lain?” Aeron Charion. Putra tertua keluarga Charion. Dia merupakan versi muda dari Duke Charion. Aku tidak menyangka Aeron akan menemui Juliet. Bahkan sebenarnya, sangsi bila lelaki ini bersedia menyempatkan diri datang ke kamar Juliet. “Aku tidak habis pikir dengan keegoisanmu,” desisnya. Dia tampak tinggi menjulang ketika berdiri di hadapanku. “Bahkan setelah Yevette berbaik hati menawarkan diri merawatmu.” Juliet pasti akan gemetar ketakutan mendengar gertakan Aeron. Namun, aku bukan Juliet. “Kenapa kau tidak bisa belajar dari Yevette?” “Karena aku tidak peduli,” jawabku. Tidak ada emosi apa pun dalam nada suara milikku. Amarah, kekecewaan, kesedihan; semuanya seolah serupa, tidak ada bedanya. “Karena aku adalah aib yang tidak ingin kaulihat, Kakak.” Kedua tangan Aeron terkepal. Saat aku mengira akan mendapat hantaman darinya, ia berkata, “Bukan seperti itu.” Daguku terangkat, siap berperang. “Tapi, itulah yang kaupikirkan,” kataku menambahkan, “selama ini. Bukan, begitu?” “Ada apa denganmu?” Aeron hendak meraih lenganku, tetapi aku menghindar. “Juliet, apa kaupikir bunuh diri bisa menyelesaikan segalanya?” Tidak, jawabku dalam hati. Namun, hanya itu yang dimiliki Juliet. Di sini dia terkekang, sekarat. “Tapi, apa yang orang sepertimu bisa mengerti?” Nyeri berdenyut di dada, seakan ada tangan yang mencekik leher dan membuatku tidak berdaya. Sekuat tenaga aku berusaha meluapkan setiap kata hingga bisa terdengar: “Apa ada yang pernah menyangsikan keberadaanmu, Kakak?” Kali ini Aeron terdiam. Tidak bisa membalas. “Bagaimana rasanya mendapat perhatian tanpa perlu berusaha?” Bertubi-tubi kulontarkan seluruh kekesalan. “Seperti apa rasanya disayangi tanpa perlu berusaha? Apa kau pernah merasa tidak berguna lantaran terlahir sebagai ‘dirimu’? Apakah kau sempat memikirkan perasaan orang lain saat mengungkapkan pendapat? Katakan kepadaku, Kakak. Bagaimana rasanya menjadi orang yang diterima?” “Juliet....” “Tidak, tentu saja tidak,” kataku, getir. “Kau adalah Charion. Tidak ada seorang pun berani mempertanyakan keberadaanmu.” “Omong kosong macam apa ini?” “Aku bukan seorang Charion,” tegasku. Kedua mata Aeron membelalak seakan petir menyambarnya. “Ayahmu menerimaku karena belas kasih terhadap ibuku. Di dalam nadiku tidak ada setetes darah pun milik Charion. Aku adalah orang asing.” “Juliet, hentikan.” Aeron mencengkeram bahuku. Rasa sakit membuatku meringis, tetapi dia sama sekali tidak peduli. “Kau sudah bertindak melewati batas.” Sejenak aku menghela napas, mencoba meredakan derum kebencian yang menggelegar dalam diriku. “Lepaskan aku.” “Biarkan aku pergi,” itulah yang ingin aku utarakan. “Kalian membuatku muak.” Bibir Aeron terkatup rapat. Di matanya aku bisa melihat badai yang bergejolak. Apa pun itu. Aku tidak peduli. “Kau membuatku jijik,” desisku. Aeron berjengit, tetapi tidak melepaskan cengkeramannya dariku. “Kita perlu bicara.” “Sayangnya aku tidak ingin bicara denganmu.” Perlahan Aeron melepaskanku. Sejenak dia menatapku, sebelum pergi meninggalkanku seorang diri. * Semenjak itu, Aeron selalu menyempatkan diri berkunjung. Aku menduga ada yang salah dengan otaknya. Dia sama sekali tidak memahami keinginanku. “Apa kau ingin keluar?” “Tidak,” kataku menolak. “Aku tidak ingin bersamamu.” “Ada butik baru.” “Tidak tertarik.” “Aku bisa meminta desainer mengunjungimu.” “Lebih baik kaukirim dia kepada Yevette.” “Apa kita bisa makan malam bersama?” “Lebih baik aku kelaparan.” Pasti ada yang tidak beres dengan Aeron. Setahuku, dari ingatan Juliet, pria ini sama sekali tidak tertarik mengakrabkan diri dengan Juliet. Sekarang rasanya makin mencurigakan. “Aku akan membujuk Ayah agar membiarkanmu keluar dari kamar.” Oh ya. Seolah aku akan percaya begitu saja. “Juliet, jangan tinggalkan kami.” “...” “Karena aku tidak akan membiarkannya.” Dasar gila! * Aku tidak ingin menjadi Juliet. Meskipun kami memiliki satu kesamaan dalam hal menyedihkan, tetapi selain itu, kami berdua berbeda. Dia putri, aku rakyat jelata. Dia hidup bergelimang harta, aku terlunta dalam lautan kaum papa. Dia rupawan, aku itik buruk rupa. Seolah Juliet menyerahkan dirinya kepadaku sebagai ganti kebebasan yang ia idamkan. Sekarang Juliet, tebakku, telah menghadiri perjamuan para arwah. Mungkin dia bertemu ibu kandungnya, seperti yang selama ini ia idamkan. Juliet tidak memiliki ikatan darah dengan Charion. Layna Magnolia, ibu kandung Juliet, datang kepada Asley Charion yang kala itu telah berstatus suami dari seseorang. Layna, dalam keadaan hamil, meminta Asley menikahinya. Pria normal pasti menolak permintaan Layna. Namun, Asley menerima. Dia menerima Layna meskipun tengah hamil anak dari lelaki lain. Sekarang jelas alasan Aeron dan adiknya membenci Juliet. Bagi Asley, Juliet merupakan penyebab kematian wanita yang paling ia cintai. Bagi Aeron, Juliet sekadar aib. Segalanya terlalu menyesakkan. Aku berharap bisa pergi dengan tenang setelah melewati badai kehidupan milikku sendiri, tetapi tangan takdir menarikku masuk dalam pusaran badai milik orang lain. “Sialan!” Dalam sekali tarikan napas, aku mengumpat. Mengumpat sembari rebahan. Tidak ada salahnya. Gaun tidur dari sutra. Ranjang dan bantal berisi bulu angsa. Aku tidak membutuhkannya! Kembalikan saja kepada Juliet! “Sialan! Kembalikan rute milikku!” “Mulutmu, Juliet.” Tanpa menengok pun aku tahu. Aeron. Lelaki yang satu ini tidak punya urat malu. Saat ia berkata akan mengunjungiku, aku kira itu sekadar basa-basi belaka. Namun, dia benar-benar sering mengunjungiku. Berlagak sebagai kakak baik hati. Seakan tindakan Juliet minum racun merupakan tanggung jawabnya. “Pergi.” Mataku terfokus ke langit-langit. Berharap bisa menciptakan lubang antardimensi dan kabur sesegera mungkin. “Kehadiranmu tidak diharapkan.” Aku butuh “me time”! Bukan “Aeron time”! “Dokter berpesan mengajakmu menikmati sinar matahari.” Aeron mendekatiku, kini aku bisa melihatnya menunduk, menatapku. “Saatnya pergi, Juliet.” “Tidak tertarik.” “Katanya,” mengabaikan penolakanku, “sinar matahari bisa memicu hormon kebahagiaan.” “Yevette lebih membutuhkan kebahagiaan daripada aku,” balasku, sarkas. Melihat wajah Aeron hanya menambah tekanan batinku. Lantas kupejamkan mata, berharap dia bosan dan akhirnya pergi. “Kalian bisa membentuk tim pencari kebahagiaan.” “Kau masih marah karena Ayah tidak menjenguk?” Aku bahkan lebih tidak peduli kepada duke berengsek itu! “Yevette bisa memilikinya. Sebenarnya dia boleh mengambil semuanya. Aku tidak peduli. Tidak peduli!” Tanpa ragu aku menarik selimut, menggulung diriku seperti sushi. “Tinggalkan aku.” “Kenapa kau ini? Balita bahkan lebih mudah dibujuk daripada dirimu.” “Tinggalkan aku.” “Pilih,” katanya, mengancam. “Kau pergi atau aku membopongmu keluar?” NO! Dengan enggan aku merangkak keluar dari gulungan selimut. Seulas senyum tersungging di bibir Aeron. “Bagus.” “Dengan dua syarat.” Perlahan senyum di bibir Aeron pun luntur. * Jalan-jalan bersama Aeron? Tidak masalah. Sebab aku berencana mempermalukannya. Aeron tidak bisa mendebat saat aku memilih mengenakan gaun tidur dan jubah tidur. Sepatu cantik? Nay. Selop merupakan alas kaki ternyaman yang bersedia kukenakan. Gaun, riasan, perhiasan, dan segala keperluan mempercantik diri; semuanya mubazir belaka bila hanya demi kepentingan menyenangkan Aeron. Juliet pasti merias diri demi menyenangkan Aeron. Cih, dia bahkan tidak sekalipun memuji Juliet. Rasanya aku ingin menghantam Aeron menggunakan sekop. Tepat di belakang kepala. Aeron mengajakku berkeliling di taman. Pelayan yang mengekor di belakang kami tampak tidak nyaman melihat busana yang aku kenakan. Samar-samar aku mendengar mereka mengomentari ketidaksopananku. Belum tahu saja mereka. Aku berencana mempermalukan Aeron hingga dia kapok menggangguku. “Juliet, apa kau tidak ingin menggandeng tanganku?” “Gandeng saja tangan Yevette.” Aku sengaja bersidekap, mewaspadai kemungkinan dia meraih tanganku. Kami berhenti untuk mengamati rimbun lili merah dan tulip oranye. Seekor kupu-kupu hinggap di salah satu selop. Sayap berwarna biru dan hitam tampak kontras dengan selop putih. Kupu-kupu itu hanya hinggap sejenak, ia kembali terbang bersama kawan-kawannya. Meninggalkanku. “Yevette pasti senang bila bisa bertemu kembali denganmu.” “Aeron, boleh kupukul kepalamu?” “Huh?” “Sekali saja,” kataku, menatap langsung kepada Aeron. “Biarkan aku memukulmu.” “Apa kau cemburu karena aku mengatakan Yevette pasti senang bertemu denganmu?” Aku menggeleng. “Pasti rasanya memuaskan bisa memukulmu walau sekali.” Tanpa menunggu komentar Aeron, aku bergegas menuju pohon kesemek. Buah berwarna kuning dan oranye menghias sebagian besar ranting dan cabang. “Juliet, tidak bisakah kau meredam amarahmu?” Aeron kukuh mengikutiku. “Tidak baik berlama-lama memendam dendam.” Siapa kau? Tuan Gandhi? “Bukan amarah,” kataku mengoreksi, “tapi kekecewaan.” “Juliet....” Aku menampik tangan Aeron yang berusaha menyentuhku. “Terlambat.” Getir terasa saat kata itu diucapkan. “Kau terlambat. Tidak ada yang bisa kaulakukan.” “Aku tidak mengerti. Juliet, kenapa kau menolak kebaikanku?” “Karena aku tidak membutuhkannya!” Kedua tanganku terkepal. Jantung terasa akan meledak setiap kali mengingat betapa tidak berdayanya diriku. “Aku tidak membutuhkanmu,” desisku. “Selamat tinggal, Aeron.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD