Bag 2

1405 Words
"Anak nakal itu masih tidak ingin membuka pintunya?" "Yes, dan ini salahmu, Leon! Kau apakan anakku?!" pekik Charlotte Addison pada sang suami sambil berkacak pinggang. Sejak Charlotte pulang berbelanja, anak mereka satu-satunya belum keluar dari kamar. Hal itu benar-benar membuat Charlotte khawatir. Feli-nya yang imut tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Dengar, Sayang, anak kita ingin membeli private jet." "Lalu apa masalahnya? Tinggal kau belikan saja, Daddy. Apa susahnya?" "Sayang, mulai sekarang kita tidak bisa memanjakan Feli terus menerus." "What?” Mata Charlotte membulat. Ia menatap suaminya seolah Leonel adalah makhluk asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Memangnya kenapa? Uangmu habis?" tanya Charlotte sambil mengernyitkan dahi tak mengerti. Leon menepuk keningnya frustrasi karena ucapan istrinya yang polos ini. "Bukan seperti itu, Sayang, tapi sepertinya kita harus tegas pada Baby Girl kita mulai saat ini. Gadis itu tidak bisa terus-terusan kita manjakan. Jika dia ingin sesuatu, maka dia harus melakukan sesuatu lebih dulu untuk mendapat imbalannya, agar dia tahu bagaimana rasanya berjuang—" "Tidak!” potong Charlotte. “Anakku tidak boleh merasakan apa itu yang namanya ‘berjuang’, Leon! Enak saja kau main sem—hhmpp..." Charlotte terdiam saat sang suami sudah menyambar bibirnya dengan p4gutan kencang. "Dengar, Charlotte, Cintaku, aku punya rencana untuk anak kita," ucap Leonel setelah menjauhkan bibirnya dari bibir sang istri. "Rencana apa? Tolong kau jangan macam-macam pada Feli-ku!" Leonel terkekeh geli, lalu mengecup singkat dahi sang istri. "Lihat saja nanti, Sayang. Yang pasti aku tidak mungkin memiliki rencana buruk untuk anak kita." "Awas saja kalau sampai rencanamu itu aneh-aneh! Aku tidak akan segan-segan memotong sosis jumbomu itu!" desis Charlotte tajam. "Ugh! Mommy, jangan kejam-kejam padaku. Kalau kau memotong sosis jumboku, kau mau menikmati apa?" "Aku bisa menikmati sosis yang lain—" "Jangan coba-coba, Charlotte!" desis Leonel tak suka. "Lihatlah dirimu, Leon, kau masih saja posesif." "Sampai mati aku akan terus seperti ini padamu! Lihat saja, kalau kau berani macam-macam walau hanya melirik sosis-sosis pria lain, aku tidak akan segan-segan menguliti dan membakar sosis-sosis mereka!" Charlotte ternganga tak percaya. Wanita cantik berusia empat puluh tiga tahun ini memutar bola mata malas. “Terdengar menyeramkan,” ejek Charlotte. Sang suami melotot tak terima. “Aku serius dengan ucapanku—” “Jangan buang waktu dengan omong kosongmu. Lebih baik sekarang, kau bujuk Feli-ku untuk makan, Leon! Aku tidak mau tahu!" Wanita ini langsung berjalan meninggalkan sang suami. Namun tak berapa lama, langkahnya terhenti, lalu kembali membalikkan tubuh ke arah Leonel. "Aku tunggu kau dan anak kita di ruang makan. Kalau sampai kau tidak berhasil membujuk Feli-ku, jangan harap aku mau menikmati sosis jumbo-mu lagi, Sayangku!" ucap Charlotte sambil tersenyum. Namun tatapannya tajam menusuk. Wanita cantik ini berbalik pergi tanpa menunggu sang suami menjawab ucapannya. Sementara itu, Leonel menatap pintu kamar Feli dengan sendu. "Jangan buat mommy-mu tidak ingin menikmati sosis jumbo daddy, Baby Girl," monolog Leonel tersiksa. *** "Feli, Baby Girl... apa kau tidak lapar?" tanya Leonel pada sang anak yang saat ini meringkuk di atas ranjang queen sizenya. Feli langsung terduduk. Ia menatap sang ayah murka. "KENAPA DAD MASUK KAMARKU TANPA IZIN?!" "Daddy tidak tahu kapan kau akan membukakan pintu untuk daddy." Feli mendengus kesal. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Gadis ini mengawasi pergerakan sang daddy yang mendekatinya dari ekor mata. Kedua tangan gadis ini terkepal kuat mengingat penolakan Leonel tadi siang. Leonel menatap sang anak dari samping. Wajah Feli terlihat sembab. Ada rasa bersalah di hatinya, karena membuat Feli-nya menangis sampai sembab seperti itu. "Makanlah, Sayang. Kau tidak lapar? Mommy-mu sudah menunggu kita di meja ma—" "Tidak perlu pedulikan aku! Bukankah Daddy tidak sayang lagi padaku? Untuk apa Daddy peduli aku lapar atau tidak!" sinis Feli. Gadis ini menggeser tubuhnya menjauh saat Leonel yang sudah duduk di atas ranjang hendak menggapai tubuhnya. "Sayang..." "JANGAN GANGGU AKU, DADDY!" teriak Feli kesal. "Apakah Daddy mengajarimu untuk berteriak seperti ini pada orang tua, Feli?" Feli langsung terdiam, lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Di dalam hati kecilnya, gadis ini menyesal telah membentak Leonel seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi, rasa kesalnya terhadap Leonel masih segar, jadi jangan salahkan dia kalau kelepasan seperti itu. "Dengarkan daddy, Baby Girl... daddy akan mengabulkan keinginanmu, asal—" "APA???" Wajah Feli terlihat semringah. Gadis ini langsung mendekati Leonel, merangkul manja lengan kiri pria itu. "Oh Daddy, aku tahu kalau kau tidak akan menolak keinginanku. Aku sayang Daddy!" Pegangan tangan Feli di lengan sang ayah mengerat, lalu gadis ini menyandarkan kepalanya pada bahu bidang Leonel. "Daddy juga sayang padamu, Nak. Tapi dengarkan Daddy dulu sampai selesai berbicara." "Baiklah. Aku akan menjadi anakmu yang baik." Feli melepaskan rangkulan tangannya, lalu menatap Leonel seperti anak kecil yang menanti dengan antusias dogeng terbaik di dunia ini. Kedua mata gadis ini berkedip lucu. Pipi tembamnya membuat Feli benar-benar seperti boneka hidup. Leonel tersenyum lembut, lalu mengusap sayang puncak kepala sang anak. "Kau boleh memiliki semua private jet terbaik di dunia ini, asal kau mau menjalankan misi yang Daddy berikan." Dahi Feli mengernyit. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Pertanda apa ini? "Apa… maksud Daddy? Misi? Memangnya kita sedang bermain game?" "Anggap saja seperti itu, Sayang..." Feli mengerjap polos. "Dad, kita tidak sedang syuting Mission Imposible yang diperankan pacarku yang tampan itu. Kenapa harus ada misi?" "Karena daddy ingin tahu, seberapa hebat usaha anak daddy ini untuk mencapai keinginannya. Daddy ingin melihat Baby Girl daddy yang cantik ini berusaha lebih dulu untuk mendapatkan apa yang dia inginkan." "Ya Tuhan..." Feli memutar bola mata malas. Hal itu terdengar aneh, tapi dia akan berusaha mendengar apa yang diinginkan Leonel. "Misi apa?" "Jadilah Maid di tem—" "Tunggu-tunggu-tunggu!” Feli memotong ucapan Leonel secepat kilat. "Apa aku tidak salah dengar?" Feli menatap Leonel. “Aku mendengar kata MAID. MAID? Dad, aku harus jadi Maid? Yang benar saja, Daddy?! Aku tidak mau!" "Hanya satu bulan, Baby Gi—" "Satu detikpun aku tidak mau!" potong Feli lagi. "Maka tidak akan ada private jet." Tubuh Feli langsung menegang saat Leonel mengatakan itu. "Kalau kau berhasil menjalankan misi yang daddy berikan, bukan hanya private jet yang kau dapatkan, tapi apa pun yang kau inginkan akan terwujud. Bagaimana, Baby Girl?" Feli terdiam. Gadis ini terlihat bimbang. Di kepalanya, begitu banyak barang-barang mewah yang dia inginkan. Salah satunya adalah cincin berlian termahal di dunia yang akan launching beberapa bulan lagi. Belum lagi tas branded yang akan launching satu bulan lagi, tas yang hanya diproduksi lima buah di dunia. Dan Feli, harus menjadi salah satu pemilik dari lima buah tas itu! "Haruskah misinya menjadi Maid, Dad?" tanya Feli lemah. "Hanya satu bulan, Baby Girl. Daddy yakin kau bisa melakukannya." Feli menggigit bibir, lalu memilin jemari tangannya. “Tapi ini ‘Maid’, Dad… Daddy tahu aku tidak bisa melakukan apa pun sendiri.” “Daddy akan mengirimmu ke tempat di mana kau tidak akan terlalu kesusahan untuk melakukan misi itu, Baby. Apa kau percaya pada daddy?” seru Leonel meyakinkan. Feli menatap Leonel ragu. "Apa pun yang aku inginkan, akan Daddy kabulkan setelah aku berhasil menjalani misi itu?" “Apa pun yang kau inginkan!” “Daddy berjanji?” "Hu um... Daddy berjanji, Sayang. Kau sangat tahu, kalau daddy tidak pernah ingkar janji." Feli kembali terdiam. Menjadi Maid? Dalam mimpi saja dia tidak pernah membayangkan kalau dia harus jadi Maid. MAID? Ya Tuhan... Pekerja bersih-bersih? Bagaimana kondisi tangannya yang halus nanti? Lalu cat kuku mahal yang biasa dia gunakan pasti akan rusak. Tapi... kalau dia tidak mengorbankan tangan halusnya, private jet dan semua barang-barang mewah hanya akan jadi angan-angan saja. Feli tidak tahu mengapa sang daddy menjadi tegas seperti ini. Ia menatap Leonel penuh pertimbangan. “Bagaimana, Sayang?” Feli menghela napas pasrah. "Baiklah, Dad... aku... aku mau," ucap Feli ogah-ogahan. "Tapi ingat janji Daddy!" lanjut Feli dengan nada mengancam. Leonel tertawa renyah karena ancaman anak polosnya ini. "Daddy janji, Kekasih Kecilku...” Feli tersenyum geli. Jika Leonel sudah memanggilnya seperti itu, tandanya sang daddy sedang berusaha merayunya agar mereka tidak lagi seperti musuh. “Sekarang sebaiknya kita turun makan. Perut mommy-mu pasti sudah berisik karena menunggu kita terlalu lama," ucap Leonel jenaka. "Gendong aku, Dad!" perintah Feli. Leonel langsung berdiri, lalu membalikkan tubuh. Refleks saja Feli menerjang punggung Leonel, lalu memposisikan tangannya memeluk erat leher pria itu. "Kau sudah besar, tapi masih saja minta gendong." "Daddy selalu bilang kalau aku akan selalu terlihat seperti bayi di matamu, jadi jangan protes, Daddy!" Leonel hanya menggelengkan kepala pasrah. Lalu pria ini melangkah meninggalkan kamar sang anak setelah dirasa posisi Feli di punggungnya sudah benar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD