3. HAI TETANGGA !

2449 Words
Suasana pagi di rumah Giana terasa hangat, sama seperti biasanya. Maria sudah menyiapkan hidangan untuk sarapan berupa bubur kacang ijo, kesukaan putrinya. Walaupun tinggal berdua, hubungan Maria dengan Giana sangat harmonis. Bahkan keduanya lebih terlihat seperti teman yang santai dalam berkomunikasi, walaupun sering ada perdebatan kecil mengenai perbedaan pendapat, namun tidak sampai menimbulkan pertengkaran hebat dan justru membuat hubungan mereka semakin erat. “Pagi Ma,” sapa Giana yang sudah rapi dan siap berangkat kerja. “Harum sekali, Mama bikin bubur kacang ijo, ya?” tanya Giana sambil mengendus wangi aroma gula merah serta daun pandan. “Iya, spesial buat kamu dan tetangga baru kita.” Giana yang sudah mendaratkan tubuhnya di kursi, menatap Maria denga curiga. “Maksud Mama si cowok nyebelin itu?” “Namanya Erlan, kamu nggak lupa kan? Baru juga kenalan kemarin, masa kamu lupa.” Maria meletakkan satu mangkuk bubur kacang ijo di hadapan Giana. “Sarapan dulu, biar kuat menghadapi kenyataan hidup hari ini.” “Mama ngapain sih perhatian banget sama dia?” Maria ikut bergabung dengan Giana di meja makan. “Harus baik dong, Giana. Sama tetangga itu harus menjaga hubungan baik, kalau ada apa-apa sama siapa lagi minta tolong kalau bukan tetangga. Kamu kenapa sih sensi banget sama Erlan?” Giana mengangkat kedua bahunya, “Nggak sensi sih, emang auranya dia aja bikin sebel.” Tangan Giana sudah siap memasukkan satu suap bubur kacang ijo. Namun ada yang Giana lupa, yaitu meniupnya agar tidak terlalu panas. “Aaauuuch,” Giana terkejut saat lidahnya terasa tersengat karena panas. “Mama…” “Kamu itu kualat karena sebel sama Erlan tanpa sebab,” sahut Maria santai tanpa peduli dengan ekspresi wajah putrinya yang hampir menitikan air mata. “Mama ih, bukannya bela anaknya malah bela si Erlan.” Maria menggeleng dengan mulut berisi makanan. “Makan makan, habis itu sebelum berangkat, kamu ke sebelah sebentar dan bawa ini untuk Tante Eva.” “Ma…” protes Giana. Maria mendelik dan itu artinya Giana tidak punya hak lagi untuk protes. “Makan buburnya Giana, nanti keburu siang.” Lelah berdebat dengan ibunya, Giana memilih menghabiskan sarapan agar bisa segera berangkat. Hari senin, adalah hari yang melelahkan baginya, entah darimana teori itu datang. Padahal setiap hari pekerjaannya selalu banyak, tapi tetap saja hari senin seperti membawa kutukan bagi Giana, pasti selalu saja melelahkan baginya. Beres dengan sarapan, Giana sudah bersiap untuk berangkat. Bahkan ia mencoba mengalihkan perhatian Maria agar tidak mengingatkan untuk membawa bubur kacang ijo ke rumah Erlan. “Aku berangkat ya, Ma.” Ucap Giana semanis mungkin. “Mama jangan nakal ya, jaga rumah baik-baik.” “Memangnya Mama mau nakal gimana? Main hingga sore sampai lupa kerjaan rumah? Kamu kira Mama ini anak kecil?” protes Maria yang membuat Giana tertawa. Giana memeluk ibunya dengan erat. “Doakan kerjaan Giana lancar biar bisa punya uang yang banyak terus ajak Mama jalan-jalan.” “Amin, Tuhan selalu menjaga kamu.” Setelah puas memeluk dan mencium Maria, Giana siap untuk melangkahkan kakinya ke luar rumah. Namun, langkahnya tertahan ketika Maria memanggilnya karena melupakan sesuatu. “Bubur untuk keluarga Tante Eva, jangan sampai lupa.” Ucap Maria sambil menyerahkan sebuah rantang dua susun pada Giana. Giana mendesah pelan karena usahanya gagal. “Mama aja deh yang bawa. Aku takut nanti ada guguk, terus nyerang kayak kemarin.” “Kamu banyak alasan, ah.” Suara Maria meninggi. Melihat sang ibu yang mulai emosi, Giana mengalah. Diambilnya rantang tersebut, lalu Giana pergi meninggalkan Maria. “Nggak paham kenapa Mama harus ngomel karena si Erlan. Siapa anaknya siapa tetangganya?” gurutu Giana. Sebelum pergi, Giana membuka pintu mobilnya untuk menaruh tas yang ia bawa. Setelah beres, kemudian ia membuka pagar rumah sambil membawa rantang berisi bubur. Saat keluar dari pekarangan rumah, Giana sudah disambut dengan kedatangan Erlan. Pria itu terlihat sedang joging dan kini berlari ke arah Giana berdiri. “Astaga, malah ketemu di sini. Padahal ngarep ketemunya sama Tante Eva aja.” Giana membatin. Erlan terlihat segar, rambutnya yang sedikit panjang nampak basah karena keringat. Penampilannya juga sangat santai dengan celana training berwarna hitam dan baju kaos olahraga tanpa lengan. Mungkin bagi wanita lain, Erlan sangatlah sempurna tapi bagi Giana, Erlan sangatlah menyebalkan. “Hai tetangga,” sapa Erlan. “Berangkat kerja ya?” “Iya,”jawab Giana pelan. Erlan melirik apa yang dibawa Giana. “Kerja bawa bekal?” Giana menggeleng lalu menyerahkan rantang yang Maria berikan pada Giana. “Dari Mama buat kamu sama Tante Eva.” “Ini apa?” tanya Erlan seraya menerima pemberian Giana. “Bubur kacang ijo.” “Buatan kamu?” “Nggak, Mama yang buat. Tadi kan sudah bilang kalau dari Mama.” Erlan mengangguk paham. “Bilang sama Tante Maria, terima kasih.” “Iya, nanti aku sampaikan. Udah ya, mau kerja dulu.” “Giana?” Dipanggil oleh Erlan membuat Giana menoleh dengan terpaksa, “Iya, kenapa?” “Kapan-kapan, aku boleh main ke toko kamu?” “Boleh, datang sebagai pembeli mah bebas.” “Iya sih, tapi datang sebagai tetangga baru kamu.” Giana memutar bola matanya. “Iya terserah.” Erlan tersenyum melihat wajah jutek Giana, kemudian menggumam. “Menarik, baru kali ini ada yang jutek dan jual mahal sama gue.” Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, mobil yang dikendarai oleh Giana, sampai di toko kue miliknya yang bernama Giana Cake and Pastry. Toko kue ini dirintis Giana bersama ibunya dan sudah berjalan kurang lebih enam tahun. Tidak mudah perjuangan Giana dan Maria, bahkan usaha keduanya dipandang sebelah mata. Namun, dengan kerja keras Giana, akhirnya Giana Cake and Pastry ini menjadi toko yang terkenal. Apalagi hasil karya Giana dalam membuat wedding cake sudah diakui banyak kalangan terutama bagian wedding organizer. Harga wedding cake Giana juga terkenal malah namun sangat sepadan dengan hasilnya. Bangunan yang terdiri dari satu lantai, namun ukurannya cukup luas sebagai toko sekaligus kantor Giana. Disambut dengan plang nama toko Giana dan beberapa tanaman bunga, suasana toko tersebut sangat nyaman dan hangat. Toko kue milik Giana tidak hanya melayani take away, tapi juga dine in. Disiapkan beberapa meja dan kursi, sehingga pengunjung bisa makan ditempat. Giana Cake and Pastry juga menyiapkan menu yang cocok untuk sarapan dan tidak lupa beberapa jenis minuman yang siap menemani dalam menyantap aneka cake dan pasrty. Begitu Giana membuka pintu, aroma butter menguar, memanjakan indera penciuman wanita itu. tidak hanya indera penciuman, tapi juga indera penglihatan. Deretan cake beraneka rupa serta pasrty bermacam rasa siap memanjakan lidah pengunjung. “Good morning,” sapa Giana pada karyawannya yang sudah berkutat dengan pekerjaan masing-masing. “Morning, Mbak Gi,” sahut para karyawan. Giana menebar senyum pada karyawan yang sudah seperti keluarganya. Ingin membagikan energi positif agar semangat memulai hari senin. “Sudah pada sarapan?” Tanya Giana sambil melihat beberapa stok cake dan pastry di lemari etalase. “Sudah kok, Mbak Gi.” “Bagus, jangan sampai tumbang di hari senin yang pasti melelahkan ini.” Ucap Giana. “Siap untuk hari ini?” “Siap!” seru seluruh karyawan Giana. Setelah briefing singkat, Giana sudah siap dengan alat tempurnya di kitchen. Ada beberapa pesanan kue ulang tahun yang diambil besok, jadi Giana akan mulai menyelesaikannya hari ini. Di bantu oleh asistennya bernama Beni, Giana siap mengeksekusi bahan-bahan yang sudah disiapkan dengan rapi. Di sana juga ada tiga karyawan Giana yang khusus membuat pastry yang rasanya sangat enak. “Mbak Gi, WO yang kemarin sempat menghubungi saya.” Ucap Bayu sedikit berbisik. Giana fokus mencampurkan beberapa bahan untuk cake. “Lah, aku kan udah nolak, jadi dia ngerayu kamu?” “Iya, katanya bantu buat meyakinkan Mbak Gi biar mau kerja sama.” Giana tersenyum. “Kontraknya sih bikin nggak nyaman. Masa aku nggak boleh bikin wedding cake untuk pengantin lain. Itu menyalahi prinsipku dong. Kamu tau kan, kalau aku juga suka kasih wedding cake cuma-cuma untuk couple yang kurang mampu. Masa yang seperti itu nggak boleh, memang mereka siapa mau ngiket aku.” “Tapi bayarannya gede, Mbak Gi nggak tertarik?” Giana meletakkan baskom berisi tepuk terigu, lalu menatap Bayu serius. “Kalau semua dihargai dengan uang, maka aku nggak akan pernah merasakan kedamaian. Apa yang aku lakukan sekarang, membantu calon pengantin dari ekonomi menengah ke bawah, membuat hidup aku terasa berarti.” Asisten Giana mengangguk paham. Semua karyawan mengakui kemurahan hati bos mereka maka dari itu semuanya betah bekerja dengan Giana. “Saya setuju dengan prinsip Mbak Gi, kalau dia nanya lagi biar saya yang beresin.” “Oke, bilang aja kalau perlu tinggal pesan. Tapi ingat, harus masuk waiting list.” “Siap.” Setelah berkutat di dapur dan menyelesaikan beberapa pesanan, kini saatnya Giana istirahat. Ia kembali ke ruangan kerjanya setelah membersihkan diri dari sisa bahan untuk membuat cake. “Mbak Gi, mau makan siang apa?” Tanya Riska, karyawan bagian akunting yang sudah seperti tangan kiri Giana. Giana yang sedang duduk nampak berpikir sejenak. “Apa ya? Gado-gado boleh deh.” “Yang ditempat biasa?” “Iya, yang deket aja. Siapa yang jalan?” Riska mengangguk. “Anton sama Ayu, kan gantian istirahatnya.” Giana memberikan jatah makan siang kepada karyawannya. Riska yang mengatur semuanya, agar tidak terjadi masalah. Menu yang diinginkan juga dipilih oleh karyawan sendiri, sesuai dengan budget yang sudah ditentukan. “Ya sudah, hati-hati ya.” “Baik Mbak, saya permisi dulu.” Sambil meregangkan otot yang terasa pegal, Giana mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja. Beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan singkat dari Maria. Giana mengernyit saat membaca isi pesan tersebut. “Astaga, kenapa bukan Mama aja sih yang makan malam. Bukan nggak menghargai Tante Eva, tapi males banget ketemu si Erlan.” Gerutu Giana sebal. *** “Ma, kenapa sih aku harus ikut makan malam sama Tante Eva? Harusnya Mama aja cukup.” Giana masih saja mengeluh bahkan ketika berjalan menuju rumah Erlan/ Maria mencubit lengan putrinya yang terus saja menggerutu. “Kamu ini, jadi anak Mama yang sopan bisa nggak sih? Kalau ada undangan makan malam, harus datang, artinya menghargai orang yang sudah repot-repot masak buat kita. Apalagi ini tetangga sebelah rumah.” Giana tidak menjawab karena sudah berada di depan pagar rumah Erlan. Maria menekan bel rumah itu agar penghuninya tahu ada tamu. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam dan Giana terpaksa pulang lebih awal demi menuruti keinginan Maria. Sesaat kemudian, keluar sosok tampan dengan tampilan santai, yang tidak lain adalah Erlan. “Selama malam, Tante.” “Malam nak Erlan.” “Hai Giana,” sapa Erlan pada Giana. Giana tersenyum singkat. “Hai.” “Ayo masuk Tante, sudah ditunggu sama Mama dan Papa.” “Iya nak Erlan, maaf ya Tante datangnya terlambat karena masih nunggu Giana pulang dari toko.” “Nggak masalah kok Tante.” Maria berjalan mendahului, sedangkan Erlan berjalan beriringan dengan Giana. Pria itu menyenggol tubuh Giana dengan lengannya dan langsung mendapat delikan dari wanita itu. “Apa?” “Kenapa mukanya lecek?” “Nggak sih, biasa aja.” Sahutnya ketus. “Mamaku pintar baca raut wajah. Kalau kamu cemberut begitu, Mamaku mikir kamu nggak suka sama undangan makan malamnya.” Percaya begitu saja dengan ucapan Erlan, Giana langsung memaksakan diri tersenyum lebar. “Nggak kok, aku cuma capek aja. Aslinya aku senang sama undangan makan malam Tante Eva.” Erlan mengangguk. “Kalau begini, Mama nggak akan berpikir macam-macam.” Berhasil mengerjai Giana, Erlan menyembunyikan senyumnya agar Giana tidak kembali marah bahkan bersikap jutek kepadanya. Setelah ngobrol sebentar, kemudian dilanjutkan dengan acara makan malam. Suasana hangat, bahkan terlihat seperti teman lama yang baru bertemu tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Erlan juga menunjukkan sikap yang ramah pada Maria, sehingga wanita paruh baya itu merasa senang. “Kapan-kapan Tante sama Om boleh main ke toko ya, nak Giana,” ucap Eva. Giana tersenyum lalu mengangguk. “Boleh dong tante, Giana tunggu loh.” “Om sudah dengar soal kejadian kemarin. Maafin Brody ya Giana, sudah bikin kamu susah.” Giana menggeleng. “Nggak kok Om, salah Giana juga masuk tanpa permisi. Wajar saja kalau Brody kaget dan nyerang Giana.” “Brody mau kenalan, tapi agak agresif.” Celetuk Erlan. “Dia itu mencontoh kamu, Erlan.” “Idih, kok jadi bawa-bawa aku sih, Ma.” Maria kagum melihat keharmonisan keluarga Eva. Ia juga merasa beruntung bisa mengenal keluarga ini. “Erlan hebat ya Mbak, masih muda tapi sudah mengelola bisnis.” Ucap Maria. “Iya Maria, dari kuliah sudah buka usaha sama kakak perempuannya. Karena kakaknya sibuk ngurus keluarga, jadi bisni wedding organizer-nya diambil alih penuh sama Erlan.” Jelas Eva. “Tapi Giana juga hebat. Merintis usaha dan sekarang toko kuenya sudah sangat terkenal.” Puji Rudi. “Pasti banyak yang mau menjadikan Giana sebagai menantu.” Ucapan Rudi membuat Giana merasa tidak nyaman. Ia memang agak sensitif jika membahas soal pasangan. “Terima kasih pujian untuk Giana,” sahut Maria. “Giana masih jomlo ya, Tante?” tanya Erlan santai. “Atau sudah punya calon suami.” Giana langsung menatap Erlan dengan sebal. Bisa-bisanya menanyakan hal yang cukup pribadi di acara makan malam seperti ini. “Giana masih single, Erlan. Dia terlalu fokus sama kerjaan jadi suka lupa soal asmara.” “Beda dong sama Erlan, teman dekatnya banyak,” sindir Rudi. “Pa, kan cuma teman. Apa salahnya memperbanyak teman biar bisa tau mana yang baik dan yang cocok buat aku.” Giana memutar bola matanya dan hal itu tertangkap basah oleh Erlan. Bukanya tersinggung, Erlan malah tersenyum sambil mengedipkan mata ke arah Giana. “Dasar playboy cap kapal selam. Bisa-bisanya bersikap sesantai ini di hadapan orang tua.” Gurutu Giana dalam hati. Selesai makan malam, Erlan mengantar Maria dan Giana pulang. Meski dekat dan hanya berjalan kaki, Erlan merasa wajib melakukan ini. “Nak Erlan, sekali lagi makasih sudah undang Tante sama Giana makan malam. Kalau kamu perlu bantuan, cari saja Tante ke rumah.” “Siap Tante, kapan-kapan aku main ke rumah.” “Kalau begitu, Tante masuk ya. Giana, Mama duluan.” “Aku juga mau masuk,” gumam Giana namun tangannya ditarik oleh Erlan. “Apaan sih?” protes Giana dengan suara sedikit diredam. Erlan melepaskan pegangan tangannya, namun justru kini berpindah ke pucuk kepala Giana. Ditepuknya dengan lembut kepada wanita itu, sambil tersenyum ke arah Giana. “Sebaiknya, kamu minum obat penurun tekanan darah tinggi, biar mukanya nggak jutek terus sama aku.” Ucapan Erlan berhasil membuat Giana mendelik sebal. “Siapa yang lagi darah tinggi. Kalau aku darah tinggi, itu karena kamu.” Bukannya marah, Erlan justru tertawa dengan ucapan Giana. “Canda kali, ya sudah masuk, gih. Aku mau balik, good night Giana.” “Duh Gusti, jauhkan aku dari makhluk yang bernama Erlan,” gumam Giana sambil menahan emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD