Chapter 10

1418 Words
Rose akhirnya terdampar di sini. Di sebuah bar yang letaknya tidak jauh dari bandara. Sudah dua jam Rose mengasingkan diri dengan minum di tempat ini. Namun bayang-bayang sialan tentang Alex belum juga pergi dari pikirannya. Rose cukup cemburu ketika melihat Alex begitu terbuka dengan wanita itu. Bahkan laki-laki itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan senyuman tampannya. Sangat jauh berbeda ketika berada di dekat Rose. Alex terlihat seperti tidak suka, tidak tertarik, dan kata 'tidak' lain yang bisa mendefinisikan bahwa selama ini Alex membencinya. Rose merasa payah sebagai wanita. Ia merasa terkalahkan. "Kau di sini?" Rose tersentak ketika mendapati pertanyaan tiba-tiba terdengar dari arah sampingnya. Ia melirik dan menemukan laki-laki sedang berdiri menatap Rose yang kini masih terduduk di kursi bar. Oh, bukankah dia Tee? Laki-laki yang ia temukan di Club kemarin malam. "Oh, hai Tee. Kau juga di sini?" sapa Rose balik. Dan laki-laki itu mengangguk sambil ikut duduk di samping tubuh Rose. "Tadi aku ada pertemuan dengan seseorang. Dan setelah selesai aku mampir ke sini," ucap Tee terdengar santai. Rose hanya menanggapi pembicaraan tersebut dengan anggukan, sedangkan tatapan Rose masih fokus menatap minumannya sendiri. Pikiranya masih melayang di kejadian yang membuat hatinya terbakar. "Apa seseorang itu pacarmu?" Namun Rose masih bisa bertanya. Tidak asyik Juga jika ia hanya diam. Terlebih Tee juga sangat tampan tidak mungkin jika saat ini dia belum mempunyai kekasih. Tee terkekeh, meraih minuman yang tadi ia pesan, kemudian meneguknya, meloloskan minuman itu ke dalam tenggorokannya. Entah kenapa mendengar pertanyaan Rose. Tenggorokan Tee seakan megering begitu saja. "Ya, sebut saja begitu." "Wah kau sudah punya pacar ternyata. Sayang padahal aku sedikit tertarik." Tentu saja Rose becanda, walau tidak menampik kemungkinan ia juga akan terpesona dengan Tee. Dan Tee hanya menganggapinya dengan kekehan kecil. "Kita mungkin bisa bermain di belakang mereka," kata Tee menatap Rose sedikit jahil dengan senyumannya. Laki-laki ini juga suka becanda, terdengar dari nada bicaranya. Namun Rose tidak ambil pusing dengan itu. "Kau juga pasti tidak mungkin masih sendiri kan?" lanjut Tee dengan pertanyaan. Rose tertawa. Menganggukkan kepalanya. Memang yang Tee ucapkan barusan adalah kebenaran. "Ya, kau benar. Aku bahkan sudah menikah." Tee terdengar mendesah panjang, seperti kecewa akan jawaban yang Rose ucapkan. "Apa kau bahagia?" "Hah?" Rose melirik Tee dengan tatapan tak mengerti. "Dengan pernikahanmu?" tanya Tee, menyambung kata-katanya lagi. Rose mengedikan bahu, ia juga tidak mengerti entah ia bahagia atau tidak dalam pernikahan ini. "Aku tidak tau jawabannya. Suamiku tidak menyukaiku sedikit pun. Dia bahkan mempunyai peliharaan di luar rumah. Dan itu sangat menyiksaku." "Sangat tragis. Namun kisahku juga demikian. Tidak semulus yang diharapkan. Pacarku dijodohkan orang tuanya. Dan kini dia sudah menikah." Rose melirik ke arah Tee, cukup kaget dengan apa yang diucapkan lelaki itu. "Kau masih berhubungan dengannya?" Tee memainkan gelasnya sambil tersenyum. "Tentu saja. Dia sangat mencintaiku. Dia tidak mau aku tinggalkan." Rose terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Sepertinya aku sedang mabuk." Rose terkekeh. Dan Tee mengernyitkan keningnya. "Kenapa?" "Aku mulai berpikiran tak waras. Sepertinya lebih baik aku pulang." Tee ikut bangkit ketika melihat Rose bangkit dari duduknya. "Mau aku antar?" Tangan Rose mengibas. "Tidak usah. Aku pulang sendiri saja. Semoga kita bisa bertemu lagi, Tee." Setelah memberikan senyuman manis pada Tee. Rose keluar dari bar itu. Tee sendiri hanya tersenyum kecil. Entah kenapa Tee melihat sesuatu yang berbeda pada diri Rose. Dan itu semakin membuatnya penasaran. *** Rose tiba di mansion Alex beberapa saat yang lalu, berpikir kenapa ia tidak berhenti di kamarnya untuk beristirahat dengan tenang dan menidurkan sejenak rasa yang berkecamuk dalam pikirannya. Kenapa Rose harus berakhir di sini. Di kamar Alex dengan penuh aura tak menyenangkan. Bagaimana cara memadamkan api yang masih berkobar di ulu hatinya? Sedangkan saat ini Rose hanya mempunyai air mendidih untuk menyiram hatinya semakin hangus dan panas. Ini sangat menyakitkan. Dan lebih menyakitkan lagi kenapa Alex harus memilih wanita itu? Rose menatap dirinya di cermin besar yang terletak di ruang ganti pakaian lelaki itu. Beberapa kali Rose mengeluarkan napas tertahan. Tidak tahu harus melewati ini dengan cara apa lagi. Sedangkan lelaki itu bahkan tidak tertarik sedikitpun dengan kecantikannya. Haruskah ia menyerah? "Wajah cantik ini tidak berguna." Rose menepuk-nepuk wajahnya dengan kesal. "Dan tubuh seksi ini. Juga sama, tidak berguna." Rose mendengus sambil mengamati penampilannya yang menurutnya begitu sangat memukau. Mengenakan kemeja putih kebesaran milik Alex. Rose bahkan melucuti semua pakaian yang ia kenakan tadi lalu menumpang mandi di kamar mandi Alex sebentar. Dan begini lah hasilnya, sekarang Rose telanjang bulat terbungkus kemeja putih Alex memberikan kesan seksi yang tidak bisa dibantah! Namun apa gunanya jika suaminya sendiri tidak tertarik terhadap tubuhnya sedikitpun. "s**t!" Rose mengumpat frustrasi, menendang pakaian Alex yang berserakan di lantai dengan kemarahan yang sempurna. Demi Tuhan, ia masih merasakan cemburu pada pertemuan Alex dan wanita itu. Rose masih mengumpati Alex dengan sumpah serapah. Tidak menyadari deritan pintu yang dibuka dari luar. Ketika suara seseorang menggema menyeramkan terdengar. Rose baru tersadar. Alex sudah pulang. "Apa yang sedang kau lakukan di kamarku?!" Rose tersentak, mendongkak ke arah pintu dan kemudian tatapan Rose terkunci. Tuhan, apakah itu malaikat atau dewa yang sedang menjelma menjadi manusia. Alex terlihat sangat begitu tampan. Laki-laki itu sepertinya habis membersihkan diri, terlihat hanya lilitan handuk yang melekat di pinggangnya. Rambutnya setengah basah. Dan entah kenapa itu berhasil membangkitkan sesuatu yang sudah tertidur lama di dalam dirinya. Gairah. Suara Alex terdengar tajam. "Aku tidak suka ada yang memakai pakaianku. Dan apa ini?" Tatapan Alex jatuh ke arah lantai. "Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan Rose!" Alex sangat marah. Laki-laki itu kesal ketika melihat ruang gantinya pecah berantakan. Pakaiannya berserakan dan yang lebih membuat Alex tersulut Rose memakai pakaiannya begitu saja tanpa meminta izin sedikitpun darinya. Itu yang membuat Alex sangat marah. Sedangkan Rose hanya dapat terdiam. Kewarasan wanita itu masih fokus di tubuh Alex yang terpahat sangat sempurna. Kau hanya perlu telanjang di depannya. Dia pasti tidak akan menolak. Sekelebat kata-kata Angel melintas begitu saja di pikiranya. Mungkin benar, Rose hanya perlu telanjang dan berperan sebagai w************n untuk membuat Alex berpaling dari kekasihnya. Persetan dengan harga diri, toh Alex sudah terlanjur mengecapnya sebagai wanita liar. Jemari Rose mulai membuka kaitan kancing di kemaja yang ia kenakan, dan itu membuat kedua mata Alex terbelalak. "Apa yang kau lakukan?" "Melepasnya." "Tapi tidak di sini?" Rose tersenyum mengejek. "Memangnya kenapa jika aku membukanya di sini? Bukannya kau tidak suka ada yang memakai pakaianmu." Rose melangkah perlahan ke arah Alex membuat lelaki itu refleks memundurkan langkahnya. Alex seperti sedang ketakutan. Dan Rose tidak mengerti. Alex ketakutan karena apa? Kemeja putih itu terjatuh ke lantai ketika Rose melepaskannya. Mempertontonkan tubuh telanjang Rose di depan mata Alex. "Jangan mendekat!" peringatan pertama. "Kenapa?" Dan Rose adalah jenis wanita yang tidak takut akan peringatan dari lawan jenisnya. "Kuperingatkan sekali lagi. Jangan mendekat!" Sebenarnya ada apa dengan lelaki itu. Kenapa dia terlihat ketakutan dengan ketelanjangannya. Bukankah seharusnya Alex tergoda? Rose tidak memedulikan apapun lagi. Ia sudah terlanjur maju tidak mungkin ia mundur kembali. Jadi yang Rose lakukan sekarang adalah mencium Alex. Laki-laki itu sempat tercengang dengan apa yang di lakukan Rose. Alex sendiri mencoba menyingkirkan Rose namun yang ia dapati rasa manis yang tersalurkan dari bibir Rose. Dan itu membuat mulutnya tidak bisa menampik bahwa Alex mulai kecanduan akan rasa manis dari bibir Rose. Mereka masih berciuman, menyalurkan keintiman yang bahkan tidak pernah mereka pikirkan. Alex bahkan lebih agresif. Laki-laki itu seolah terhanyut dengan permainan Rose. Dan Alex cukup menyukai permainan ini mungkin. Rose melepaskan ciumannya, permainannya mulai merambat mengecupi leher Alex, dan bermain brutal di sana. Rose sudah lupa akan harga dirinya saat ini. Ia hanya ingin Alex menyukainya. Alex menggeram tertahan. Sial! Mungkin ia tidak akan kuat menahan gairahnya jika Rose terus menggodanya seperti ini. Ketika gairah itu benar-benar sudah tidak bisa di tahan lagi. Rose malah menjenda permainannya, meneguk liur tanpa sadar. Haruskah Rose melakukan ini? Tetapi Alex sudah terlanjur diam. Seolah lelaki itu menikmati apa yang Rose lakukan terhadap tubuhnya. Dan ini kesempatan bagus untuk membuat laki-laki itu berpaling dan melupakan kekasihnya. Rose sudah bersiap ingin melakukan hal lebih pada tubuh Alex. Namun tiba-tiba Rose tersungkur ke lantai dengan keras. Laki-laki itu yang melakukanya. Mendorong tubuh Rose dengan wajah yang mulai terlihat memerah. Entah memerah karena nafsu atau amarah. Rose mendongkak menatap Alex tak terima. Ia ingin menyerbu Alex dengan makian yang sudah tak tertampung di ujung tenggorokannya. Tetapi ucapan Alex berhasil membuat mulut Rose bungkam tanpa suara. "Jangan pernah melakukan ini lagi sialan!" Alex langsung mengambil handuknya dan memakainya kembali. Laki-laki itu lalu keluar sambil membanting pintu dengan cukup keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD