9

2892 Words
"Loe tau cafe G&G?" Falisha memandangi kedua sahabatnya yang masing-masing masih berkutat dengan kwitansi p********n. Mereka sedang berada di kampus untuk menyelesaikan biaya administrasi sidang dan wisuda. "Tahu." Jawab Intan tanpa mengalihkan perhatiannya dari staff administrasi. Sementara Meylan tampak mengangguk. "Kenapa? Mau nongki disana?" Tanya Meylan yang tengah melipat nota dan menyelipkannya di salah satu saku dompetnya. "Jauh?" Lagi-lagi Falisha bertanya. "Gak juga. Kalo mau, balik dari sini kita bisa kesana." Meylan melirik jam tangannya. "Masih jam sebelas kurang. Masih keburu buat makan siang." Tawarnya. Falisha memandang Intan. Gadis itu masih terdiam, tampak berpikir. "Loe kenapa? Diajakin malah bengong. Ayok!" Ajak Meylan. Menarik kedua tangan sahabatnya, Meylan berdiri di tengah, berjalan meninggalkan ruang administrasi menuju lobby kampus dan berjalan terus menuju pelataran parkir. "Gue gak ikut deh." Tolak Intan halus saat mereka sudah di parkiran. "Kenapa, sih? Biasanya oke aja kalau nongkrong. Malah tumben si Fali yang mau, loe yang enggak." Meylan merogoh tas nya. Mencari kunci mobilnya yang lupa ia simpan dimana. "Enggak ah, gue..." "Loe mau kemana?" Pertanyaan itu muncul begitu saja dari pria berkaca mata yang kehadirannya tak terdeteksi. "Loe pasang GPS di tubuh gue?" Falisha memandang sepupunya dengan wajah cemberut. "Enggak, Pali." Ilker meletakkan tangan besarnya di atas kepala Falisha dengan santai. "Kebetulan aja gue ada perlu sama anak Himafekon (Himpunan Mahasiswa Fakultas Ekonomi), jadi kesini. Jangan berprasangka buruk mulu, gak baik." Ilker mencubit pipi Falisha gemas. Ya siapa yang gak berprasangka. Orang setiap kali Falisha berniat pergi meninggalkan kampus, dua bodyguard tak resminya selalu tiba-tiba muncul layaknya jelangkung. "Ya udah, pergi sono ke ruang Hima. Kenapa malah kesini?" Usirnya, menepis tangan Ilker yang ada di kepalanya dengan kasar. "Ya kan gue mau tahu loe mau kemana." Jawab Ilker lagi. Sementara Ilker dan Falisha adu mulut. Kedua sahabatnya itu terdiam. Intan memilih mengalihkan pandangannya sementara Meylan tampak memandangi Ilker dengan terang-terangan. "Gue mau makan siang sama mereka." Jawab Falisha pada akhirnya. "Kemana? Hp loe aktif kan? Udah full baterainya? Bawa power bank kan?" Cerocos Ilker lagi. "Ke G&G Cafe. Hp gue On. Baterai gue.." Falisha merogoh ponselnya, menyalakannya dan menunjukkannya pada Ilker. "Masih 72%. Power bank ada, si Santan kemaren udah isiin daya full." Jawabnya. Ilker mengangguk. "Ya udah, kalo ada apa-apa telepon." Perintahnya sebelum mengacak rambut Falisha dan melangkah pergi ke area fakultas ekonomi. "Sadar, woy. Jangan ileran cuma lihat si Iler." Falisha menoyor bahu Meylan dengan cukup kuat sampai tubuh sahabatnya itu oleng. "Ilker, Fali." Ralat Meylan. Sahabatnya itu memang suka memanggil adik dan sepupunya dengan seenaknya. Ilker jadi Iler. Sementara adik kembarnya Akara, ia rubah panggilannga jadi 'si Santan' cuma karena namanya mirip dengan merek santan instans terkenal. "Fal, loe sadar gak sih pesona kakak sepupu loe?" Tanya Meylan. Mereka kini sudah berada dalam mobil. Intan duduk di samping kemudi dan Falisha di belakang. "Kenapa? Jangan bilang sama gue kalo dia tampan, cool dan semakin keren karena kacamata minusnya." Jawab Falisha santai. Meylan terkikik geli namun Intan tak menanggapi. "Tau banget loe. Tapi beneran, dia emang kayak gitu. Betewe, dia dah punya cewek belum?" "Eh, Mey-Mey. Loe jangan ketipu sama tampangnya. Dia sama si santan Kara itu gak ada bedanya. Kelihatannya aja sok cool didepan cewek. Aslinya cemen abis. Otak aja m***m di duluin, pedekate sama cewek gak bisa." Gerutu Falisha lagi. "Beneran? Mereka gak bisa pedekate sama cewek?" Tanya Meylan, menatapnya dari spion tengah. Falisha nyengir. "Menurut loe? Kalo dia bisa pedekate sama cewek, tuh dua anak manusia gak bakalan jomblo." Dengusnya. "Mereka tuh terlalu sibuk mantau gue, jadi lupa sama diri mereka sendiri." "Tapi kan yang ngejar mereka banyak, Fal." "Banyak sih, emang. Dari jaman seragam merah putih juga tuh dua cowok banyak yang ngintai. Belakangan juga tuh dua makhluk di deketin sama emak-emak. Tapi ya gitu. Mereka diterima cuma buat jadi bahan percobaan." Jawab Falisha santai. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sampai kepalanya berada di tengah kuris depan. "Padahal ya, kalo misalkan si Iler sama si santan Kara punya pacar, maksud gue, beneran jadiin cewek yang mereka suka sebagai pacar, gue juga bakalan diijinin pacaran. Iya, kan?" Ia menoleh bergantian pada kedua sahabatnya. "Ya udah, jodohin aja mereka sama kita. Ilker buat gue, Akara buat Intan. Gimana?" Tawar Meylan lagi. Falisha menoyor kepala Meylan. "Mau loe." Ujarnya dan kembali duduk di kursinya. Meylan tertawa. "Iyalah, Fal. Perbaikan keturunan. Ntar anak-anak kita jadi multinasional. Siapa tahu anak gue entar jadi artis kalo wajahnya ada indo-indo an gitu. Lagian, sodara-sodara loe itu bibirnya pada cipok-able trus body nya raba-able banget." "Loe tuh, otaknya ngeres." Jawab Falisha lagi. Tanpa sadar mereka sudah sampai di pelataran parkir G&G. Falisha menatap Intan. Sahabatnya yang tadi enggan ikut ke G&G kini tengah mematung. "Tan, loe oke?" Tanyanya sebelum turun dan membuka pintu mobil. Intan hanya mengangguk samar. Intan turut turun. Tapi matanya tampak was-was memandang berkeliling. Postur tubuhnya pun tampak gelisah, tak seperti biasanya. "Loe yakin mau maksi disini?" Akhirnya gadis berkulit putih itu bertanya. "Kenapa emang?" Tanya Meylan. "Disini tuh makanannya mahal-mahal, Mey." Ujarnya memperingatkan. "Gue traktir." Jawab Falisha. Gadis paling mungil diantara ketiga orang itu menuntun kedua sahabatnya di sisi kiri dan kanannya. Mereka memasuki pintu kaca yang berdenting secara beriringan. Salah satu karyawan perempuan yang mengenakan seragam dengan label G&G di saku dadanya menyapa mereka dengan ramah. "Siang kakak, sudah ada janji atau mah cari spot baru?" Sapanya ramah. "Spot baru aja, kakak." Meylan menjawab mewakili. "Silahkan kakak." Pramuniaga itu mempersilahkan Falisha dan teman-temannya memilih tempat. Sementara dirinya mengekori di belakang. Meylan memilih meja yang dekat dengan jendela besar yang mengarah ke taman buatan cafe yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Setelah duduk, pramuniaga itu menyerahkan menu. "Saya kembali dalam lima menit ya, kakak. Silahkan dilihat-lihat menu nya." Ucapnya ramah lalu berlalu meninggalkan ketiga orang itu. Sementara Meylan dan Falisha antusias memandangi menu. Intan masih tampak celingukan. "Loe kenapa sih? Kayak buronan aja dari tadi. Gelisah amat." Tegur Meylan setelah selesai memilih menu. "Gak kenapa-kenapa." Jawab Intan seraya membuka menu yang disodorkan Meylan padanya. Lima menit kemudian, pramuniaga itu benar-benar kembali dengan tiga gelas air putih dan satu teko air bening. Bersiap mencatat pesanan mereka. Falisha, Meylan dan Intan menyebutkan menu pesanan mereka satu persatu. "Kak?" Falisha bersuara. "Iya Kakak, ada yang lainnya?" "Anu, kalo Mas Galih nya ada?" Pertanyaan Falisha yang mengejutkan membuat Intan menyemburkan minumannya. "Intan, loe kenapa sih?" Pekik Meylan yang memang duduk berhadapan dengan gadis itu. Dengan cepat Meylan mengelap meja yang kena semburan air sementara Intan tampak memohon maaf "Pak Galih nya kebetulan sedang meeting diluar. Mungkin gak lama lagi baru kesini. Ada pesan untuk beliau?" Tanya pramuniaga itu ramah. "Mm.. bilang aja adiknya nyari." Jawab Falisha santai. Pramuniaga itu mengangguk dan berlalu dengan pesanan mereka. Intan dan Meylan tampak melotot ke arahnya. "Sejak kapan loe punya kakak yang punya cafe?" Tanya Meylan heran. Semua orang di kampus tahu kalau Falisha itu anak sulung, dan Akara adik kembarnya. Falisha nyengir. "Sejak beberapa hari yang lalu." "Loe kenal sama Bang Galih, Fal?" Kini Intan yang bertanya. Falisha memandangnya heran. "Loe kenal juga emang sama Mas Galih?" Sebelah alisnya terangkat. Menatap Intan tajam. Gadis itu tampak gelagapan. "Loe berdua kok bisa tahu yang namanya Galih, kok gue enggak?" Tanya Meylan dengan tak suka. "Gue malah gak tau dia bisa kenal dimana." Jawab Falisha lagi. "Kalo gue sih kenal dia kemarin. Pas ke apartemen Abang Uncle. Gue pernah cerita gak? Kalo ternyata Mas Dokterku itu tinggal di apartemen yang sama kayak si Abang Uncle?" Falisha memandang Melyan dan Intan bergantian. Keduanya menggeleng pelan. "Nah, ceritanya kemarin-kemarin itu gue ke apartemen. Trus gue kenalan sama nih Mas Galih." "Trus loe suka sama dia? Pengen pedekate?" Meylan memotong. Falisha mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Bukan." Jawabnya. "Disana gue kenalan sama Mas Galih. Dan ternyata, Mas Galih itu lagi berkunjung ke apartemen temennya. Dan kalian tahu, temennya itu ya Mas Dokterku." Jawab Falisha dengan menggebu-gebu. "Trus, apa hubungannya si Mas-Bang ini sama Mas Dokterku?" "Ih, Mey-Mey. Mas Dokterku. Bukan Mas Dokternya Mey-Mey." Tegur Falisha. "Iya. Kan tadi gue juga bilangnya gitu. Mas Dokterku. gue kan gak ngakuin dia jadi Mas Dokter Gue, Fali." "Ih, gak boleh. Buat Mey-Mey panggilnya Mas Dokter aja. Jangan pake 'Ku'." "Udah napa sih, gitu doang ribut." Intan menengahi. Meylan dan Falisha nyengir. "Trus kenapa sama si Mas-Bang ini?" Meylan balik ke topik utama. "Kok Mas-Bang? Mas Galih Mey-Mey, namanya Galih bukan Bambang." Falisha lagi-lagi meralat. "Tapi kan tadi si Intan bilangnya Bang Galih. Biar gue gak bingung nyebut Fali. Udah Mas-Bang aja. Kenapa sih gitu aja diribetin?" Meylan protes, Falisha kembali nyengir. "Cerita gak?" "Iya-iya." Falisha mendengus. "Jadi si Mas-Bang ini kan temennya Mas Dokterku. Trus dia janji mau kenalin gue, ralat, dia mau bantuin gue buat mepet Mas Dokterku. Begitu." "Jadi, dia mau jadi mak comblang, gitu?" Tanya Meylan yang dijawab anggukan Falisha. "Nah, loe Tan. Kenal dimana sama Mas-Bang? Apa dia ganteng? Jomblo?" Tanya Meylan antusias. Intan memandang Meylan, menghindari tatapan Falisha yang menatapnya curiga. "Jangan-jangan loe gak mau kesini karena takut ketemu dia trus gak mau ngenalin dia sama kita ya? Dia gebetan loe ya?" Tuduh Falisha. Muka Intan memerah sementara Meylan terbelalak. "Tan? Loe punya gebetan gak bilang-bilang kita?" Pekik Meylan tajam. "Kenapa gak kasih tau sih. Kalo semisal gue gak tau dia gebetan loe terus gue gebet dia gimana? Gue gak mau ya berantem gara-gara rebutan cowok. Gak etis." Dengusnya. Intan menggeleng seraya mengibaskan tangannya di depan wajah. "Bu-Bukan. Dia bukan gebetan gue. Sumpah. Dia itu..." "Loh, Kei. Kamu nyariin abang?" Sapaan itu terlontar dari pria betubuh tinggi , berkulit sawo matang dan memiliki senyum ramah. Meylan, Falisha dan Intan mendongak bersamaan. "Loh, ada Fali?" Pria itu menatap Falisha dengan terkejut. "Kei? Siapa Kei, Mas?" Falisha menatap Galih dan Intan bergantian. "Yang nyariin Mas itu, Fali. Bukannya Intan." Ralat Falisha. Galih tampak mengusap tengkuknya. "Sorry, Mas kirain Keiko. Anak buah Mas tadi bilang adik Mas yang nyariin." Jawabnya dengan mimik bingung. "Keiko?" Meylan menatap Intan. "Keiko Intannissa Wisnu." Falisha memberikan jawaban pada Meylan. Meylan menatapnya dengan dahi berkerut. "Jadi kepanjangan huruf K didepan nama Loe itu Keiko?" Intan mengangguk. "Emang loe kagak tahu?" Falisha mengerutkan dahi? Meylan menggeleng. "Beuh, sohib macem apa loe. Nama temen sendiri aja kagak tahu." Ledek Falisha. "Jadi, Mas-Bang ini sodaraan sama Intan? Tapi kok beda?" Falisha memandang Galih dan Intan bergantian. Galih terkekeh. "Enggak, Mas sama Kei gak sodaraan. Dia itu adiknya temen Mas." Jawabnya jujur. "Jadi udah kayak adik mas sendiri." Lanjutnya. Falisha mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, itu baru masuk akal." "Emang apanya yang gak masuk akal?" Tanya Galih heran. "Ya, Mas sama Intan itu kayak kopi sama s**u. Jelas dari tampilannya aja beda." Jawab Falisha santai, tak sadar tengah mengejek kulit Galih yang kecoklatan. Galih yang dikatai malah tertawa terbahak. "Dia emang gak mirip sama Mas. Tapi agak-agak mirip sama kakaknya. Emang kamu gak nyadar gitu?" Galih balik bertanya. Falisha mengerutkan dahinya semakin dalam. Begitupun dengan kedua temannya. Lantas Intan membekap mulutnya. Falisha menoleh. "Kenapa loe?" Meylan mewakili bertanya. "Fali, Loe?" Bukannya menjawab Meylan. Intan malah memandang Falisha dengan tatapan shock. Saat Falisha balik memandang, Intan sedang menatap Galih, bertanya tanpa suara. "Bang Arkhan?" Cicitnya pada Galih. Galih tersenyum miring. "Sumpah. Gue gak paham." Meylan memandang ketiga orang itu bergantian. Somebody please, tell me what happen?"  Pintanya dengan nada kesal. Falisha membalas Meylan dengan kedikan bahu dan kernyitan di dahi. Dia sendiri tidak mengerti. Pramuniaga datang dengan pesanan mereka. Galih bergerak ke samping. Membiarkan karyawannya menata makanan. Meylan menggeser duduknya dan menepuk kursi kosong di sampingnya, memerintahkan Galih duduk tanpa suara. Galih menurut dan duduk di samping gadis berparas ayu tersebut. Setelah selesai, mereka serempak mengucapkan terima kasih sebelum pramuniaga itu pergi. "Jadi? Mas-Bang ini kenalannya Falisha. Trus Mas-Bang ini juga temen kakaknya Intan?" Meylan membuka suara. Intan dan Galih mengangguk sebagai respon dari Meylan. "Trus yang bikin loe shock apa, Tan? Siapa pula itu Bang Arkhan? Tokoh baru?" Meylan memandang Intan sementara Falisha asyik dengan makanan di depannya tanpa peduli diskusi mereka. Makan. Kata itu yang ada di kepala sang gadis. "Loe tahu kan kalo gue punya kakak tiri?" Intan menatap Meylan. Meylan mengangguk. Sahabatnya itu memang pernah menceritakan tentang keluarganya, tentang perceraian ibunya dan juga saudara-saudara tirinya meskipun hanya sekilas. "Trus?" "Kakak gue, dokter." Jawab Intan lagi. "Lalu, hubungannya..." Meylan kemudian membekap mulutnya sendiri. "Loe?" Meylan menunjuk Intan dan Falisha bergantian dengan jari lentiknya. Intan mengangguk, Galih berdeham, sementara Falisha masih asyik makan. "Hey, Pali. Loe sadar gak sih kita lagi ngomongin Loe?" Bentak Meylan. Membuat kunyahan Falisha terhenti. "Iya, gue dengerin. Si Intan punya kakak tiri dokter, namanya Arkhan. Kenapa sih, ribut amat?" Jawabnya kesal. "Loe gak sadar?" Meylan mengangkat sebelah alis, menatap Falisha tajam. "Perhatiin si Intan. Coba lirik dia kayak siapa?" Falisha menurut. Melirik Intan dan memperhatikan wajahnya dengan seksama. "Dia kayak.." Falisha mengerutkan dahi, sementara Galih dan Meylan menatapnya intens. "Dia kayak Intan yang biasa. Gak kelihatan anehnya." Jawabnya santai. Intan menoyor kepala Falisha dengan pelan. "Intan, apaan sih. Gak sopan banget." Gerutu Falisha lagi. "Loe pernah gak lihat gue atau kembaran gue dimana gitu?" Tanya Intan lagi. Falisha kembali berpikir. Selama ini ia tidak pernah bertemu secara langsung dengan orangtua Intan. Keduanya sibuk. Ibunya dokter, apa kepala rumah sakit gitu, Falisha kurang ngeuh, yang jelas ibunya jarang ada di rumah karena sibuk di RS. Sementara ayahnya pilot, yah yang namanya pilot pastinya banyak terbang kesana kemari, jadi dia pun tidak pernah melihatnya. Wajah kedua orangtua Intan yang Falisha tahu adalah foto ketika ayah dan ibunya sedang mencium pipi Intan, jadi hanya bagian sampingnya saja yang terlihat. Adik Intan juga tidak mirip Intan. Jadi, Intan itu anak emaknya apa anak bapaknya? Tanyanya dalam hati. Namun ketika Falisha memperhatikan lebih dalam, Falisha melihat kemiripan Intan dengan sosok seseorang. "Gimana?" Meylan membuyarkan lamunannya. "Ada yang mirip sama dia?" Falisha mengangguk. "Siapa? Dokter?" Tanya Meylan lagi, dan Falisha lagi-lagi mengangguk. "Jadi, dia mirip..." Meylan menggantung ucapannya. "Loe mirip Dokter Harumi." Pekik Falisha saat yakin dengan jawabannya. Intan dan Galih tersenyum, meskipun sebenarnya bukan itu jawaban yang mereka harapkan. Sementara Meylan mengusap wajahnya kesal. "Siapa lagi dokter Harumi?" Tanyanya kesal. "Dokter." Jawab Falisha datar. Ia kemudian memandang Intan. "Loe, ada mirip-miripnya sama dokter Harumi. Loe pasti gak kenal, dia kan..." Lalu mata Falisha terbelalak lebar. "Loe...?!" "Hai, calok kakak ipar tiri." Intan melabaikan tangannya di depan Falisha dengan senyum geli. Meylan terkejut, begitu juga dengan Falisha. Sementara Intan tersenyum dan Galih terkekeh. "Jadi, Fali. Kamu gak butuh bantuan Mas kalo kamu sendiri udah deket sama adiknya Gibran, kan?" Galih masih tersenyum geli. Falisha masih tak mengerti, begitu juga Meylan. "Arkhan?" Ucapnya ragu. "Dokter Arkhansyah Gibran Hudson Jr, Sp.BA." Galih melengkapi. "Mas Dokterku. Mas Gibran. Bang Arkhan." Lanjutnya. Mata Falisha semakin terbelalak lebar. Ia memandang Intan dengan Intens, memekik lalu memeluk leher gadis itu erat. "Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan. Takdir memang semenyenangkan ini. Untung selama ini gue baik sama loe. Jadi loe gak bakalan nolak gue jadi kakak ipar kan?" Cerosos Falisha kemudian. Ia mengibaskan tangan di depan Intan. "Udah, gak usah nolak. Gue ini calon kakak ipar yang baik. Udah gitu cantik. Jangan bilang tajir karena itu punya bokap. Tapi sumpah, gue gak bakalan pelit minjemin loe novel sama dvd koleksi gue. Gue janji. Bukan janji pilcakapa, yang setelah berhasil trus dilupain begitu aja. Tapi beneran janji. Toh selama ini juga gue udah sering minjemin semua itu sama loe kan." "Fali, nafas." Tegur Meylan lagi. Falisha menarik nafas panjang sebelum kembali berujar. "Kalo perlu, sebagai balasan jasa loe. Gue jodohin loe deh sama salah satu bogar (singkatan bodyguard) gue. Mau yang mana? Si Iler apa si santan Kara?" Tawarnya lagi. "Fali, ih. Ilker buat gue." Tolak Meylan. Falisha menoleh lalu mengibaskan tangan. "Oke, si Iler buat loe. Kalo gitu loe sama si santan Kara deh. Jadi gak rancu nanti. Loe beneran manggil gue kakak ipar tanpa kagok." Tawarnya lagi. Intan masih termangu sementara Galih hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyum di wajahnya. "Intan, jawab dong. Jangan bikin hati Fali yang cuma satu ini deg-degan gak karuan." Bujuknya. Bukannya menjawab, Intan malah menggelengkan kepala. Falisha cemberut. Matanya mendelik. "Ya udah, gue juga gak butuh restu loe. Lagian Mamanya Dokter juga udah restuin gue jadi menantu." Rutuknya kesal. "Bukan gitu, Fali." Intan mencoba membujuk. "Loe kan tahu kalo hubungan gue sama Bang Arkhan gak sedeket itu." Falisha mengerjap. Kemudian menggigit bibir bawahnya. Ia kembali menatap Intan, memberinya cengiran malu. Ya, sahabatnya itu sering bercerita tentang 'Bang Arkhan'nya yang dingin dan kaku. "Sorry, gue lupa." Ujarnya. Ia kemudian merangkul bahu Intan dan mengusapnya perlahan. "Tenang, Fali tahu kok Mas Dokterku itu emang kayak gitu. Dingin, kasar. Tapi sayang, cakepnya kebangetan, jadi Fali juga susah berpaling. Dek Intan tenang aja. Nanti kalo Kak Fali jadi nikah sama Mas Dokterku, Kak Fali bantuin kalian deket. Lagian Fali juga dapet bantuan dari Mas Galih kok. Dek Intan tenang ya." Falisha meraih kepala Intan dan meletakkan kepala gadis itu di bahu kirinya. Membuat Intan sedikit mengernyit ngilu karena tubuh Falisha yang lebih pendek dari tubuhnya. Meylan menatap Falisha jijik. Sementara Galih tak tahan menatap tawa. Falisha memandang Galih tak suka. "Tapi Fal, 'pilkacapa' itu apa?" Intan kembali duduk tegak. Sejenak saja dalam posisi seperti itu membuat pinggangnya pegal. Apalagi kalo lama. "Pilkacapa?" Falisha balas mengerutkan dahi. "Iya, tadi lo nyebutin 'janji pilkacapa', gitu. Bukannya mestinya pilkada atau pilkades gitu?" Tegur Intan lagi. "Ih, Intan. Kalo orang ngomong tuh dengerin." Falisha menepuk paha Intan. "Bukan pil-ka-ca-pa. Tapi pil-ca-ka-pa." "Apaan tuh?" Tanya Meylan dan Intan bersamaan. "Pilihan-Calon-Kakak-iPar." Jawabnya dengan senyum mengembang. Intan menghadiahinya dengan toyoran sementara Meylan melemparinya tisu kotor bekas ia mengelap semburan Intan tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD