Pintu kamar tertutup pelan di belakang kami. Tak ada kata. Tak ada senyum basa-basi. Hanya tarikan napas yang sedikit berat— dan dalam sepersekian detik, bibir kami sudah saling bertemu. Ciumannya datang tanpa aba-aba, namun sarat makna. Mahendra menarik pinggangku erat, seolah enggan membiarkan sedikit pun ruang memisahkan kami. Tubuhku melekat pada dadanya, dan aku membalas ciumannya dengan sepenuh rasa—dalam, menghangat, dan dipenuhi gejolak yang sejak tadi tak lagi bisa kubendung. Punggungku membentur dinding kamar, tapi aku tak peduli. Jemariku menyusup ke rambutnya, sementara tangan Mahendra mengusap sisi wajahku, turun ke leher, dan berakhir di punggungku. Kami tenggelam dalam ciuman, seakan dunia menyusut hanya menjadi ruang sempit ini—dengan napas yang memburu, dan perasaan ya

