Hans dan Jen sudah berada di dalam ruang CCTV lagi. Kali ini bukan di hotel Imperial, melainkan di gedung di sebelah hotel yang menjadi tempat kejadian perkara itu. Sejak tiba tadi, Jen sudah meminta izin petugas hotel untuk memeriksa ruangan yang berseberangan dengan kamar 1324 hotel Imperial. Mencari letak kamera pengawas yang paling pas, kemudian bergegas menuju ruang CCTV. Melihat kemudian meminta file rekaman CCTV ruangan yang dimaksud pada sekitar jam hilangnya Rangga.
“Stop!” Hans berseru. Badannya sedikit membungkuk. Memerhatikan dengan seksama layar di hadapannya. “Bisa ditingkatkan kecerahan videonya?”
“Bisa, Pak.” Petugas ruang CCTV gegas menekan keyboard. Layar monitor yang tadinya gelap tampak semakin cerah. “Ini sudah maksimal, Pak.”
“Oke… sebentar.”
“Kenapa, Pak?” Jen penasaran.
Hans tak segera menjawab. Ia masih memperhatikan. “Oke, cukup. Jalankan videonya.” Tubuhnya kembali tegak.
Jen mengangkat bahu. Tak mengerti alasan atasannya memperhatikan dengan seksama rekaman CCTV yang menurutnya tak ada hal yang mencurigakan itu.
Beberapa menit berlalu, Hans dan Jen masih belum menemukan titik terang dari hasil rekaman CCTV itu. Mereka meminta salinannya dan kembali ke hotel Imperial.
“Saya nggak menyangka bakal menemukan banyak jalan buntu begini, Pak.” Jen mengeluh ketika mereka berjalan beriringan menuju hotel Imperial.
“Pasti ada titik terang. Tidak ada kejahatan yang sempurna, Jen.” Hans tersenyum.
“Yah, saya setuju, Pak.” Jen mengangguk-angguk. “Lalu, apa yang selanjutnya kita lakukan, Pak?”
“Kumpulkan semua orang yang terkait dengan Rangga. Minta mereka tidak meninggalkan TKP sampai proses interogasi selesai.”
“Kita mulai proses interogasinya di hotel, Pak?” Mata Jen membulat.
Hans mengangguk mantap. “Kecuali si sekretaris. Kita minta dia diinterogasi di kantor.”
“Siap, Pak.”
Sejak awal bergabung dengan tim khusus, Jen selalu ingin menjadi anak buah Hans. Hansel Fulbright, detektif senior yang dikenal sangat teliti sehingga mampu memecahkan kasus rumit sekalipun. Hans selalu menjadi andalan kepolisian saat menemukan kasus yang penuh teka-teki. Seperti kasus pembunuhan sebuah keluarga kaya raya beberapa waktu silam. Tak ada yang menyangka bahwa dalang di balik kejadian pembunuhan yang sangat mengerikan itu adalah putri tunggal keluarga tersebut. Hans menemukan kejanggalan saat menginterogasi putri tunggal keluarga tersebut sebagai saksi.
Awalnya, interogasi berlangsung lancar. Gadis itu juga sangat kooperatif. Semua pertanyaan dijawab dengan sangat baik. Hingga akhirnya, Hans yang baru datang dari TKP meminta untuk menginterogasi langsung gadis itu. Hans tak menemukan satupun tanda-tanda pembobolan di TKP. Pintu, jendela, hingga atap rumah semua dalam keadaan baik. Maka perampokan, tidak lagi bisa dicurigai sebagai motif pelaku mendatangi rumah tersebut.
“Selamat pagi.” Hans tersenyum, duduk dengan kaki menyilang di hadapan gadis itu. Saat itu memang pagi hari, matahari baru menyingsing sekitar tiga puluh menit lalu. Kejadian pembunuhan itu terjadi di malam hari. Proses interogasi tidak menunggu waktu, segera dilakukan.
“Pagi.” Gadis itu ikut tersenyum. Matanya lekat menatap Hans. Yah, tak ada yang memungkiri bahwa wajah ‘bule’ Hans memang sangat memikat.
“Sudah berapa lama kamu berada di ruangan ini?”
“Hm?” Gadis itu mengangkat alis. “Entahlah. Sejak dibawa dari rumah saya sudah dimasukkan ke ruangan ini.”
Hans mengangguk-angguk. Ia membolak-balik berkas di hadapannya. Hening. Entah berapa menit berlalu. Hans tak bertanya apapun. Tangannya hanya terus membolak-balik kertas. Sedangkan gadis di hadapannya sudah mulai tak sabar. Gadis itu berdecak, kemudian mulai membuka mulut.
“Anda datang ke sini untuk apa? Jadi teman mengobrol saya? Atau saya belum selesai diinterogasi?”
Hans mengangkat kepala. Menatap gadis itu lekat. Wajah gadis awal dua puluhan itu terlihat geram. Hans tersenyum, menutup semua berkas di hadapannya. Memangku dagunya dengan kedua tangan. Sorot matanya lurus ke depan.
“Bagaimana caramu mengetahui bahwa ada penyusup masuk ke rumahmu sedangkan tidak ada satupun tanda pembobolan? Lalu, bagaimana caramu menelepon 112 sedangkan saat kejadian kedua tanganmu terikat?”
Dingin. Suara Hans memenuhi ruangan. Menusuk masuk ke gendang telinga gadis itu.
“A-apa?” Suara gadis itu terbata. Sorot mata geram tadi mulai melemah. Tubuhnya mundur.
Ia tak bisa menjelaskan bagaimana awalnya ia mengetahui bahwa ada orang asing yang masuk ke rumahnya. Padahal tidak ada tanda-tanda pembobolan di rumah mereka. Seolah para pembunuh bayaran itu sengaja diundang untuk datang. Gadis itu juga tak bisa menjelaskan dengan baik bagaimana cara ia menggunakan ponselnya dengan kedua tangan terikat dan berhasil menelepon 112. Kejanggalan-kejanggalan itu membuat proses interogasi terus diulang dan diulang hingg gadis itu kelelahan dan terdesak. Saat itulah, ia mengakui semua kejahatannya.
Otak Hans yang brilian, sifatnya yang detail dan teliti, sikapnya yang tegas dan tak pandang bulu, gerakannya yang tangkas dan terampil menjadi paket lengkap profesinya sebagai detektif. Bagi para kriminal, Hans adalah salah satu orang yang sangat sulit dihadapi. Mereka akan sangat kesulitan menyembunyikan bukti dan diri mereka dari penyelidikan Hans.
***
“Kenapa hanya saya sendiri yang harus dibawa ke sini?” Adit bertanya kesal. Ia sedang duduk di ruang interogasi. Hans dan Jen duduk di hadapannya.
“Tenang saja, status Anda saat ini masih sebagai saksi.” Jen berkelakar.
“Masih?” Adit terlihat tak senang.
“Jangan menggodanya, Jen.” Kali Hans yang bicara. “Saat ini, pihak kepolisian sedang bersiap untuk merilis berita orang hilang untuk atas Anda. Tapi, kalau proses interogasi ditunda sampai berita itu rilis, bisa saja pelaku sudah menyembunyikan bukti-bukti. Karena itu kami mengambil tindakan secepat mungkin.”
“Tetap saja. Dengan membawa saya ke sini, seolah-olah saya jadi tersangka hilangnya Pak Rangga.” Adit masih kesal rupanya.
“Kami tidak menemukan petunjuk apapun dari orang-orang yang kenal dengan atasan Anda di hotel. Satu-satunya orang yang terlibat langsung dengan hilangnya Pak Rangga hanya Anda.” Hans menatap tajam ke arah Adit. “Proses ini tidak akan memakan waktu lama jika Anda mau bekerja sama dengan kami.”
Adit tak menjawab. Sorot matanya masih tersisa kekesalan.
“Baiklah.” Jawabnya kemudian.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam interogasi kepada saksi tentu berbeda dengan yang diajukan pada tersangka. Namun, meski status Adit sebagai saksi, posisinya sedikit rumit. Para tamu undangan yang sebelumnya sudah diinterogasi lebih dulu sebagai saksi, sebagian besar dari mereka menaruh kecurigaan besar pada Adit. Bukan hanya karena Adit adalah orang pertama yang menemukan Rangga menghilang, juga karena Adit memiliki motif yang cukup untuk membuatnya mencelakai atasannya itu.
Aditya Maheswara adalah anak sulung dari pemegang saham terbesar ketiga Aryuda Food. Ia bahkan telah bekerja jauh lebih dulu daripada kemunculan Rangga sebagai penerus CEO Aryuda Food. Tentu saja semua orang bisa menduga bahwa Adit memiliki kecemburuan karena pada akhirnya Ranggalah yang maju sebagai CEO. Namun, pernyataan itu dibantah mentah-mentah oleh Adit.
“Omong kosong!” Adit mendesis. Matanya berkilat.
“Tidak ada yang tidak mungkin.” Hans mengangkat bahu. “Itu motif yang cukup untukmu berbuat jahat pada atasanmu sendiri.”
Jen menelan ludah di samping Hans. Ia tak tahu, di luar ruangan, beberapa petugas kepolisian yang juga sedang memperhatikan mereka terlihat menyeka dahi. Situasi ini sangat sulit. Atmosfer di ruangan interogasi pun terasa semakin memanas. Dua laki-laki di ruangan itu terlihat tetap menjaga intonasi suara mereka untuk tetap tenang, namun sorot mata mereka seolah saling menusuk. Berkilat tajam. Mereka sudah hampir dua jam berada di ruangan tersebut. Meski Adit cukup kooperatif dalam proses penyelidikan, Adit tetap terlihat tak bercelah. Statusnya tidak bisa dinaikkan menjadi tersangka. Ia saksi utama.
Adit menghela nafas. Sudah lebih dari satu menit mereka saling berdiam diri. Memandang tajam. Tak ada yang mau mengalah.
“Baiklah…” Adit bersuara. Intonasinya terdengar lebih tenang. “Aku paham kalian mencurigaiku. Tapi, aku sungguh tak punya motif seperti itu.” Suaranya mantap. Tatapannya penuh kesungguhan.
“Kenapa?” Jen bertanya. Kedua tangannya menyilang di atas meja.
“Kau, kenapa kamu menjadi detektif? Kenapa kamu tidak berkarir sebagai pengacara, misalnya?” Adit mengajukan pertanyaan tiba-tiba pada Jen.
“Eh?” Jen yang tak menyangka akan ditanya soal pilihan pribadinya jadi kebingungan. “Kenapa tanya begitu?”
“Jawab saja.”
Jen melirik Hans. Laki-laki itu mengangguk pelan.
“Karena ini minatku. Passion-ku. Sejak dulu, aku… memang ingin menjadi detektif. Aku belajar banyak hal, menempuh banyak hal untuk sampai di posisi ini.” Jen menjawab dengan sedikit ragu. Tak yakin apakah jawabannya sesuai dengan jawaban yang diinginkan Adit.
“Kalau kamu tiba-tiba diangkat menjadi pengacara, kamu mau?” Rupanya Adit belum selesai bertanya.
“Tentu tidak!” Jawab Jen cepat.
“Begitulah.” Adit tersenyum puas. Duduk bersandar di kursi.
“Maksudmu?” Jen mengernyit.
“Aku juga begitu. Minatku ya menjadi sekretaris. Bukan CEO. Aku berjuang, belajar banyak hal, dan melewati banyak hal untuk mencapai posisi sekretaris tertinggi di perusahaan. Sekretaris pribadi CEO Aryuda Food.” Adit memberi penekanan yang berarti kalimat terkahirnya. “Bagaimana kalau aku tiba-tiba diangkat jadi CEO perusahaan? Tentu saja aku tidak mau. Itu bukan tujuanku.” Laki-laki itu menggeleng tegas.
Jen kembali menelan ludah. Ia tak menyangka laki-laki di hadapannya punya pemikiran sederhana begitu.
“Bukankah manusia selalu serakah? Selalu merasa kurang? Selalu merasa ingin lebih dari yang ia miliki saat ini.” Hans menatap tajam. Ia terlihat tidak puas dengan jawaban Adit.
Adit tertawa pelan. “Pak…” Mereka saling tatap. “Anda harus mencoba berteman dengan lebih banyak orang. Di dunia ini, masih banyak manusia yang tidak serakah. Yang tahu di mana posisi mereka. Yang tahu ke mana tujuan mereka. Tidak melirik posisi orang lain, tidak sibuk ingin mencapai tujuan orang lain. Dan aku, salah satu dari mereka.” Nada suara Adit terdengar mengejek.
Hans menggeram. Tentu saja ia kesal. Tapi tidak ada yang memungkiri, Hans adalah salah satu orang yang paling pandai mengendalikan emosi.
Hening. Tak ada yang mengajukan pertanyaan. Hans dan Adit masih saling tatap. Jen merasa serba salah, bernafas pun rasanya tetap salah.
“Pak, haruskah kita sudahi proses interogasi ini?” Jen akhirnya bertindak. Ia benci sekali situasi seperti ini. Ia merasa tak lagi bisa menahan Adit lebih lama lagi.
Hans menghela nafas. Memperbaiki posisi duduknya. “Baiklah. Kita sudahi sampai di sini. Terima kasih atas kerja sama Anda, Pak Adit.” Hans mengulurkan tangan.
“Sama-sama.” Adit menyambut uluran tangan itu. Menggenggam erat.
Sedetik kemudian, tiga orang itu keluar dari ruang interogasi. Berkas-berkas yang dibawa Jen diserahkan kepada salah seorang petugas polisi. Adit menuju sisi lain, mengambil barang-barangnya yang tadi disita.
“Terima kasih.” Ucapnya pelan.
Klik.
Adit menyalakan ponselnya.
Ting.
Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Notifikasi dari email perusahaan. Adit menghela nafas, malas membuka notifikasi itu. Ini bukan saat yang tepat untuk mengurus pekerjaan. Tapi, tidak ada pilihan lain. Atasannya sedang tak ada di tempat. Berita kehilangan Rangga juga belum diumumkan secara resmi. Maka ia harus mengurus pekerjaan dengan baik agar para mitra kerja tidak merasa dirugikan.
“Eh?” Adit terbelalak begitu pesan masuk surat elektronik di ponselnya terbuka.