BAB 2

1180 Words
Bayu menarik nafas kesal. Ia harus berpura-pura mulai dari sekarang. Hari ini adalah hari pertemuan pertamanya dengan calon istrinya. Yang ayahnya tak sengaja meninggal karena menolong dirinya.   Ah, sudahlah lupakan itu. Bayu tidak mau mengingat malam mengerikan itu lagi. Ia bersiap dengan kemeja dan celana biru navy.   Cukup sopanlah untuk acara pertemuan yang tidak terlalu penting. Bayu melihat sekali lagi ke arah cermin. Memastikan dirinya nampak rapih dan baik. Lalu ia keluar dari kamar dan bergabung dengan keluarganya yang sudah siap di bawah.   Mereka pun memasuki mobil dengan membawa beberapa buah tangan. Lalu menjalankan mobil dan pergi ke rumah calon istrinya yang lumayan jauh itu.   Bayu sedari tadi hanya diam. Tak berminat mengobrol atau bahkan membuka ponsel. Ia hanya diam. Hingga sampai di rumah calon istri nya.   Rumah sederhana khas kampung. Saat mobil berhenti di halaman rumah itu, beberapa orang keluar dari dalam rumah. Mungkin saudaranya.   Bayu dan keluarga keluar dengan membawa buah tangan tadi. Mereka tersenyum dengan sambutan yang di berikan keluarga calon istri.   Nampak Bu Royati berdiri paling depan dan menyapa mereka. Bayu tersenyum manis ke arah sang calon mertua. Ibu Royati berpenampilan sangat kampung sekali menurut Bayu. Pakai gamis hitam kusam dengan hijab panjang warna abu-abu tua.   Wirya dan Asti yang seumuran dengan Royati nampak terlihat jauh lebih muda. Uang memang menang dalam segala hal.   Mereka pun masuk ke dalam rumah. Bayu tercengang melihat ruang tamu yang kosong. Maksudnya tidak kosong karena tidak ada orang atau perabot. Di sana hanya ada karpet dan sajian makanan khas daerah.   Bayu dan keluarga harus duduk di lantai dengan alas karpet seadanya. Astaga.   Lama Royati dan sahabatnya berbincang. Sementara Bayu melihat sekeliling ruangan. Tidak ada foto sama sekali. Hanya tulisan kaligrafi Arab dan sejenisnya.   "Jadi, nak Bayu, sekarang sudah jadi sarjana ya?" Tanya Royati tiba-tiba. Bayu langsung mengangguk seadanya. "Hebat, ya, dan lebih hebat lagi karena kamu mau menikahi anak ibu." Bayu tak menjawab hanya senyum saja sebagai balasannya.   "Bagaimana kalau acaranya di mulai saja," ujar Wirya. Mereka semua pun mengangguk. Acara pun dimulai. Bayu agak tersentak karena ternyata acara ini langsung lamaran dan penetapan tanggal menikah. Kenapa Bayu tidak tau mengenai ini.   Bayu bahkan tidak menyiapkan cincin. Atau apa pun yang biasanya pihak pria lakukan. Bayu melirik sang papa yang tersenyum ke arahnya. Seakan memberitahu jika semua sudah di siapkan.   "Tunggu, Pah. Apakah calonku bersedia menerima aku jadi suaminya?" Tanya Bayu. Mencoba mencegah lamaran ini. Royati tersenyum mendengar pertanyaan dari Bayu. Ia merasa bahwa Bayu begitu perhatian dengan keputusan Aisyah.   "Kamu mau mendengar sendiri jawaban dari calon mu?" Tanya Royati. Dengan agak ragu Bayu mengangguk. "Baiklah, tunggu sebentar, ibu panggilkan." Royati berdiri dan masuk ke dalam sebuah kamar. Bayu mendadak jadi gugup dan penasaran. Seperti apa calonnya itu.     Inara yang bisa mendengar setiap pembicaraan di ruang tamu merasa gugup saat suara sang calon suami meminta ia untuk hadir di sana dan menjawab sendiri keputusannya.   Jemari Inara saling bertautan, rasa gugup semakin menggelayuti nya. Ia membenarkan niqabnya dan melirik pintu yang perlahan terbuka.   "Inara, keluar lah nak." Inara mengangguk dengan cepat dan langsung mengikuti sang ibu.   Bayu menatap ke arah kamar calon istrinya. Inara nampak berdiri canggung di sana.   Dengan hijab warna merah maroon dengan gamis putih. Bayu tercengang dengan penampilan calon istrinya.   "Calonku pakai cadar?" Bayu bertanya tanpa sadar. Semua orang langsung menatap Bayu dengan heran. Karena nada suaranya seakan tak suka dengan penampilan Inara.   Inara semakin minder mendengar pertanyaan dari calon suaminya. Wirya langsung berdehem. Bayu sadar akan kesalahannya. Ia langsung minta maaf. "Maaf, saya... Saya tidak biasa melihat perempuan ber-cadar. Maaf sekali lagi."   "Ibu paham kok, karena memang wanita ber-cadar itu di anggap aneh. Tapi, insha Allah, Inara adalah wanita yang baik, berbeda dari apa yang kamu sangka." Mak Royati mencoba menjelaskan.   Bayu terlanjur malu. Ia hanya diam dan mengangguk. Sebenarnya ia kesal. Karena Bayu yang terkenal di gilai wanita ini harus menikah dengan perempuan ber-cadar. Bayu kan jadi tidak tau, wajah aslinya. Cantik atau jelek?   Ini seperti membeli kucing di dalam karung namanya. Sudah lebih tua dua tahun darinya. Sekarang Bayu juga harus menerima apa pun rupanya nanti?   Ini nggak adilkan?   Inara tau betul bentuk wajah dan tubuhnya. Tapi, Bayu? Harus menunggu sah dulu baru bisa melihat wajahnya?   Apa kalau nanti tidak sesuai kriteria Bayu. Ia bisa menceraikan Inara sesuka hatinya? Tidak mungkin kan? Sudah terlanjur begini, sekarang harus apa? Terima sajalah. Toh, Inara hanya gadis kampung kan? Mudah untuk di bohongi nanti.     Setelah mendengar jawaban dari Inara. Bayu memberikan cincin pada Inara. Namun, Inara menolak mengenakannya. Ia berujar jika Bayu masih belum sah menjadi suaminya.   Bayu pun hanya mengikuti saja kemauan sang calon istri yang bawel ini. Bayu kembali meletakkan cincin yang dibeli oleh ayahnya untuk Inara.   "Simpan ya, nak. Bulan depan. Kalian sudah resmi menjadi suami istri." Inara mengangguk dan mengambil kotak cincin itu.   Setelah penetapan tanggal dan tetek-bengek lainnya. Keluarga Wirya hendak pergi. Namun, sialnya di luar hujan deras. Hingga terdengar petir menyambar.   Royati pun meminta mereka untuk menginap. Pagi-pagi baru pulang ke kota. Awalnya Bayu ingin menolak namun Wirya dan Asti sudah lebih dulu mengiyakan.   Di rumah Royati ada tiga kamar. Kamar Royati, kamar Inara dan bekas kamar adik Royati yang sudah meninggal karena sakit dulu.   Kamar itu suka di pakai untuk tamu jauh.   Wirya dan Asti menempati kamar tamu. Sementara Bayu menempati kamar Inara. Lalu Royati dan Inara tidur di kamar Royati.   Inara diminta Royati untuk mengantar Bayu ke kamarnya. Dengan malas Bayu masuk ke dalam kamar Inara nampak sederhana. Hanya ada ranjang kecil dan lemari. Satu meja kecil di sudut kamarnya untuk menaruh Al-Qur'an dan peralatan sholatnya.   "Silahkan istirahat, di sini kalau malam dingin. Ini selimut untuk mas tidur." Inara memberikan selimut tebal dari dalam lemari Inara yang hanya ada beberapa pakaian saja.   Biasanya lemari perempuan akan penuh dengan pakaian warna-warni dan aksesoris nya. Namun, tidak dengan Inara. Ia begitu sederhana dan apa adanya. Kalau di fikir. Uang yang diberikan keluarga Bayu lebih dari cukup untuk foya-foya.   Sedikit ada simpati pada Bayu kali ini. "Ada yang mau di tanya? Kalau tidak ada saya permisi." "Tunggu." Inara berhenti. "Ya?" "Boleh saya lihat wajah kamu?" Inara langsung menunduk. "Oh... Ya sudah. Tidak apa. Terima kasih selimutnya." Inara mengangguk dan keluar dari kamarnya.   Bayu duduk di ranjang yang keras. Ia menghela nafas. Lalu membuka kemejanya. Baru terlepas kemejanya. Pintu sudah ada yang mengetuk saja. Dengan santainya Bayu membuka pintu dan terlihat Inara yang langsung membuang muka saat melihat dada bidang Bayu.   Namun, Bayu tak merasa bersalah. Toh, Bayu bukan perempuan yang harus malu memperlihatkan tubuh telanjangnya. "Ada apa?" Tanya Bayu. "Maaf, saya mau ambil Al-Qur'an dan peralatan sholat. Tadi saya lupa." Bayu hanya ber-oh-ria.   Lalu mempersilahkan Inara masuk ke dalam kamarnya. Dengan masih menunduk, Inara masuk dan dengan cepat mengambil apa yang ia butuhkan. Lalu keluar setelah mengucap salam.   Bayu terkekeh melihat Inara yang begitu menjaga matanya agar tidak melihat tubuh Bayu. "Dasar lucu! Jarang-jarang aku memperlihatkan tubuh atletis ku pada gadis." Bayu kembali duduk dan melihat sekeliling.   Ia merasa panas dan sesak. Ia mulai gerah. Bayu melihat kipas angin di dinding. Ia pun menyalakannya.   Katanya kalau malam dingin. Dingin apaan? Panas gini.   Bayu melepas celana panjangnya dan hanya pakai bokser barulah ia tidur.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD