Chapter 9 -Senandung

1179 Words
“Tak ada yang istimewa.” “Dia hanya seorang nenek tua yang mungkin mengalami gangguan jiwa.” “Tak ada yang perlu aku takutkan darinya.” Dina terus menerus berusaha untuk meyakinkan dirinya agar tak merasa takut kepada seorang nenek tua yang berdiri beberapa meter darinya. Si nenek tua itu seolah-olah sama sekali tak menyadari kehadiran Dina dan tetap berdiri di tempatnya. Tubuhnya berputar perlahan-lahan dan pandangan matanya tak beralih dari gendongan yang ada di tangannya. Mulut si nenek tua berkomat-komat dan sesekali diiringi oleh anggukan kepala dan ekspresi wajah yang terlihat ceria. Senandung sebuah lagu terdengar dari bibirnya yang renta dan mengeluarkan suara parau yang kurang enak di telinga. Tapi si nenek tak peduli dan tetap saja menyanyikan senandung itu bait demi bait sepenuh hati. Tak lelo, lelo, lelo ledung Cep meneng, ojo pijer nangis Anakku sing ayu rupane Yen nangis ndak ilang ayune Tak gadhang biso urip mulyo Dadiyo wanito utomo Ngluhurke asmane wong tuwo Dadiyo pandhekaring bongso Entah kenapa, bulu kuduk Dina merinding ketika mendengarkan nada dan syair lagu yang keluar dari mulut si nenek tua. Padahal jujur saja, Dina sama sekali tak mengerti arti dari syair lagu itu. Dina merasakan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kebencian dari senandung si nenek yang sedang menghibur bayi dalam gendongannya itu. Seolah-olah, nyanyian itu sedang dia nyanyikan untuk dirinya sendiri, untuk menghibur dirinya sendiri, bukan si bayi dalam gendongan. Dina larut dalam semua rasa negatif yang tersampaikan dari senandung lagu anak-anak yang dilantunkan dengan suara parau si nenek tua. Dina bahkan memejamkan matanya dan meringis nyilu karena rasa sakit itu. Hingga akhirnya, suara senandung itu tak lagi terdengar di telinga Dina dan membuatnya membuka mata. “Nduk, kowe ngerti bojoku ning ngendi? Anakku nangis wae.” Wajah si nenek tua yang sedang menidurkan bayinya tadi, tiba-tiba berada di depan wajahnya. Dina bisa merasakan hembusan nafas si nenek mengenai wajahnya. Dia juga bisa dengan jelas rambut putih si nenek yang melambai tertiup angin dan kerut di wajah si nenek dengan jelas sekali. Wajah Dina hanya berjarak 10 cm saja dari wajah si nenek tua. Jantung Dina serasa berhenti berdetak. Dia dicekam ketakutan. Dia ingin berteriak sekuatnya dan berlari meninggalkan tempat ini secepatnya,tapi dia tak bisa. Dina hanya bisa terpaku di tempatnya dengan tubuh kaku. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya, selain suara tertahan seperti saat seeorang dicekik lehernya. Dina menjadi sebuah patung yang bernyawa. “Iki lho, anakku nangis wae,” kata si nenek tua lagi sambil memperlihatkan isi gendongannya. Saat itulah Dina tersadar. Dina pernah mengalami ini sebelumnya. Dia juga pernah bertemu nenek ini sebelumnya. Saat itu si Nenek mengatakan hal yang sama. Sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar di dalam kepala Dina, apa pun yang terjadi, jangan melihat ke dalam gendongan itu!! “Ahh ahh ahh.” Dina mencoba berteriak sekuat tenaga, tapi hanya suara itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Sekalipun tubuhnya kaku, sekalipun suaranya membeku, tapi Dina tak menyerah. Dia tetap berusaha untuk tidak memalingkan wajahnya ke arah gendongan si nenek tua. Rentetan kejadian ini memang terasa panjang saat diceritakan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Sejak Dina membuka mata dan menemukan wajah si nenek tua beberapa centimeter saja darinya, hingga saat ini ketika Dina berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke dalam gendongan si nenek tua, semuanya terjadi dalam sekejapan mata. Tapi… Sama seperti kejadian sebelumnya yang pernah dialami Dina, dia seolah merasakan dua buah tangan yang memegang kepalanya lalu memaksa Dina untuk melihat gendongan bayi yang berada di tangan si nenek tua. Dina berusaha melawannya. Dia juga berusaha memejamkan mata, tapi tubuhnya lepas kendali. Matanya tetap terbuka, lehernya berputar mengikuti paksaan kedua tangan tak kasat mata yang memegangi kepalanya dan dia melihatnya. Sesuatu yang paling mengerikan dan menakukan yang pernah Dina lihat dalam hidupnya balas menatapnya dari dalam gendongan bayi si nenek tua. “Arrrghhhhhh!!!” Dina menjerit sekuat tenaga dengan menggunakan semua kekuatan paru-parunya. “Din!! Dina!! Bangun Sayang!! Dina membuka matanya dan melihat wajah Mama yang menatapnya penuh rasa kuatir. Dengan kebingungan, Dina melihat ke sekelilingnya dan menemukan kalau dirinya sedang tertidur di kursi malas yang ada di pinggir kolam renang belakang rumahnya. “Kamu kenapa teriak-teriak Sayang?” tanya Mama. “Dina… Dina…” Dina masih kebingungan dan memutar kepalanya ke sana ke mari, seolah sedang mencari sesuatu. Mama mengikuti arah kepala Dina dan melihat ke arah sekitarnya, mencoba mencari apa pun itu yang sedang dicari oleh putri semata wayangnya. “Kamu mimpi buruk?” tanya Mama lagi setelah tak menemukan apa pun yang di luar kewajaran. Dina menganggukkan kepalanya lalu sesaat kemudian, air matanya pun tak tertahankan. Mama membiarkan Dina menangis sambil memeluknya. Dia tahu ini belum saatnya memaksa Dina untuk bercerita. Dia ingin agar emosi yang melanda putrinya reda terlebih dahulu. “Sekar, tolong buatkan coklat panas untuk Dina, ya?” pinta Mama ke arah Sekar yang berdiri di pintu belakang rumah. ====== “Ada seorang nenek tua Ma. Dia…” Dina menarik napas panjang dan meminum coklat panas yang ada di tangannya. Retno mendengarkan cerita putrinya tanpa menyela. “Dia memakai… Apa itu namanya? Kain batik jawa yang panjang?” tanya Dina. “Jarik?” tanya Lina. “Iya. Jarik. Dia memakai Jarik sebagai gendongan bayi. Jarik itu diselempangkan begini…” jawab Dina sambil menggerakkan tangannya dari arah pundak kanan atas ke pinggang kiri bawah. “Dia menggendongnya seperti ini…” lanjut Dina sambil memperagakan cara si nenek tua yang dilihatnya saat menggendong bayi di sebelah d**a kirinya. “Mmm. Jarik itu diikat dengan simpul yang diselisipkan di bagian pundak kanan atas. Dina ndak merhatiin motifnya, tapi keknya kayak Jarik yang sering dipakai untuk kemben itu lho, Ma,” lanjut Dina. “Terus?” tanya Lina. “Dina pertama kali ngelihat nenek tua itu beberapa hari lalu pas Dina sepedaan sampe ujung desa. Dina pikir, dia orang biasa… Maksud Dina, dia orang biasa yang sedang mengasuh cucunya, gitu,” jawab Dina. “Dina nyapa dia?” tanya Lina. Dina menggelengkan kepalanya, “Dina ndak nyapa dia. Tapi justru dia yang nanya ke Dina. Dia nanya… Dia nanya, apakah Dina ngelihat suaminya? Kayaknya dia lagi nyari suaminya karena anaknya ndak berhenti nangis.” “Jadi dia menggendong anaknya? Bukan cucunya?” dahi Lina sedikit mengrenyit saat menanyakan itu. “Dina ndak tahu Ma, tapi yang pasti dia nanyain itu ke Dina,” jawab Dina. “Oke. Terus?” tanya Lina. “Dina diem aja, Ma. Kan ndak mungkin Dina tahu kemana suaminya,” jawab Dina. “Terus?” kejar Lina. “Terus… Terus… Itu…” kali ini, wajah Dina yang tadinya sudah sedikit lebih baik, kini kembali berubah pucat pasi. Seolah-olah dia sedang dipaksa untuk mengingat sebuah kenangan buruk, sebuah kenangan menakutkan yang ingin dia hapus dari kepalanya. “Terus?” ulang Lina sambil mendekat ke arah Dina dan meremas tangannya untuk memberikan rasa aman kepada putrinya. “Dina… Dina… Dina melihat… Dina melihat ke dalam gendongan nenek tua itu…” jawab Dina dengan tatapan kosong dan raut wajah ketakutan, tubuhnya juga bergetar keras menandakan kalau ingatan itu adalah sesuatu yang benar-benar mengganggu jiwanya. “Apa yang Dina lihat?” tanya Lina dengan raut muka penasaran luar biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD