Bibir Marcello menyentuh Balqis seperti angin yang merayu senja—lembut, membakar perlahan. Gadis itu sempat terkejut, tapi menyerah pada desir yang menggelegak. Ciuman mereka membangkitkan kenangan ranjang dan napas yang saling berburu. Jemari mengusap pipi, lidah mereka menari dalam ritme gairah yang kembali menyala. Marcello tidak ada niat berhenti lebih cepat. Ia melumat bibir Balqis, membiarkan rasa panas mengalir dari bibir mereka. Tangannya berada di pundak gadis itu lalu turun ke pinggang dan meremasnya lembut. “Pak” desah Balqis. “Ya?” “Itu, dijalan.” “Nggak apa-apa. Hanya sebentar saja.” Tak ada lagi waktu yang bisa disebut sebentar ketika kulit mereka bersentuhan. Hasrat meledak seperti api membakar sekam. Marcello mencumbu bibir Balqis, menggigit pelan dengan rasa yang lia