13. Curi-curi Pandang

1268 Words
“Makasih, Rum,” ucap Zalima saat Arumi memberikan handuk dan es batu yang didapatnya dari Abimana. Jujur saja, dia sempat lupa pada sahabatnya itu karena panik, tapi untungnya Arumi cukup peka memahami situasi. “Sama-sama, Za. Kalau gitu, gue tunggu di bawah sambil minum-minum, ya.” “Sendirian? Jangan! Nanti lo digangguin kayak gue.” Zalima menahan tangan Arumi yang hendak berbalik pergi, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Maaf, gue nggak bertanggung jawab banget padahal gue yang ngajak lo ke sini. Harusnya sekarang kita seru-seruan, bukanny—” “Jangan lebay, deh. Ada temennya Kak Praja, kok. Dia bakal nemenin gue sampai lo berdua turun.” Bersamaan itu senyum tipis Arumi muncul, berusaha menenangkan Zalima. “Cepet gih, kompres tangannya Kak Praja. Dia udah kesakitan tuh.” Spontan dia menoleh ke arah yang ditunjuk, tapi tak melihat ekspresi sakit di wajah Prajaka. Pria itu malah tampak tenang, seolah sengaja memberi ruang untuk mereka berbicara. Dia lalu menghela napas singkat dan kembali menatap Arumi. Baiklah, dia akan membiarkan sahabatnya itu pergi—menahannya di sini hanya akan membuat suasana canggung. Lagi pula, fokusnya nanti pasti tertuju pada Prajaka, dan Arumi akan terabaikan. “Ya udah, tunggu aku di bawah, ya. Aku nggak akan lama. Tapi ingat, kalau ada cowok nggak bener yang ngedeketin lo, langsung lapor ke Kak Abimana. Biar dia yang urus.” “Siap, Nyonya Dirgantara.” Arumi membungkuk sedikit pura-pura hormat, lalu pergi dengan tawa kecil yang terdengar geli. Setelah Arumi menghilang dari pandangannya, keheningan sempat menyelimuti rooftop. Perhatian Zalima pun kini beralih sepenuhnya pada Prajaka. Wadah berisi es batu dan handuk yang tadi diletakkan di antara mereka diambilnya, lalu ditempelkan pada punggung tangan pria itu yang memar. “Seberapa kuat sih kamu mukul orang itu sampai merah kayak gini?” tanyanya dengan kening berkerut. “Cukup kuat sampai membuat giginya berdarah dan meninggalkan lebam di pipi besok pagi,” jawab Prajaka santai. “Bodoh nggak sih kalau aku bilang kamu kelewatan? Harusnya dorong aja sampai jatuh, jangan pakai tinju. Sekarang tangan kamu malah sakit juga.” “Iya, bodoh sekali. Tapi dia sudah lancang menyentuhmu. Sekali pukul saja rasanya masih kurang, Za.” Gerakan tangan Zalima terhenti. Dia mendongak menatap Prajaka—mata pria itu terlihat serius, tanpa ada candaan sedikit pun. “Kupikir kamu nggak bakal nolongin ... maksudku, nggak akan peduli kalau aku diganggu.” “Saat kau dan Arumi meninggalkan meja, tatapanku tidak pernah lepas dari kalian. Sekalipun lantai dansa remang-remang dan ramai, aku tetap bisa menemukanmu di sana.” Kenapa bisa? Zalima ingin sekali mendengar alasan di balik ucapan itu. Ada bagian kecil di hatinya yang berharap Prajaka benar-benar khawatir padanya—bukan sekadar karena kontrak. Tapi logika cepat memotong harapan itu. Kalau bukan karena keinginan membalas sekaligus menguji mantan istrinya, Prajaka pasti tak akan pernah menghubunginya lagi. Begitu pun sebaliknya. Kisah mereka sudah selesai, terkubur bersama masa lalu. “Pasti kamu khawatir aku bikin kesalahan, kan?” Tawa kecil Zalima mengudara, berusaha mencairkan suasana. “Walaupun akhirnya kekacauan tetap terjadi, tapi aku lega—setidaknya bukan aku yang mulai. Jadi, ya ... nggak akan ngaruh ke hubungan kontrak kita.” “Salah satunya. Tapi lebih dari itu, sepertinya ak—” Tiba-tiba Zalima mengangkat tangan Prajaka, memperhatikannya lekat-lekat. “Bengkaknya udah berkurang, nih. Turun, yuk? Kasihan Arumi kelamaan nungguin.” Menghindar—begitu pikir Prajaka. Tapi entah kenapa, di balik rasa kesalnya, ada bagian kecil dari dirinya yang justru lega karena Zalima memilih diam. Setelah mengembuskan napas pelan, Prajaka mengangguk. Dia ikut berdiri saat Zalima bangkit. Ketika wanita itu hendak mengambil mangkuk berisi handuk dan es yang sudah mencair, dia segera mengambil alih. “Biar aku yang bawa. Makasih sudah bantu kompres,” ujarnya pelan—suaranya datar, tapi matanya seolah menyimpan sesuatu yang belum sempat diucap. “Oke, sama-sama,” balas Zalima, mencoba terdengar biasa padahal dadanya terasa berat entah kenapa. Mereka meninggalkan rooftop tanpa banyak kata. Meski berjalan berdampingan, ada jarak di antara langkah mereka—jarak yang menegaskan satu hal: Zalima masih bersikap profesional, dan Prajaka kembali pada tujuan awal kenapa dia menikahi Zalima. *** Zalima menerima bathrobe yang Emily berikan setelah naik dari kolam renang. Dia lalu berjalan menuju kursi panjang, karena sarapan sudah disiapkan di sana. “Apa jadwalku hari ini?” tanyanya sambil menyibak pelan rambut basahnya. “Treatment, Bu. Tapi Anda tidak pergi sendiri, melainkan bersama mertua Anda.” “Mami? Apa beliau yang menghubungimu?” Emily mengangguk. Langkahnya ikut terhenti saat Zalima berhenti. Ketika Zalima duduk, perempuan itu tetap berdiri di sampingnya dengan punggung tegak. “Ya. Beliau meminta saya memasukkannya ke dalam jadwal hari ini. Pukul sepuluh nanti beliau akan menjemput.” “Baiklah. Makasih sudah memberitahuku.” “Sama-sama, Bu.” Zalima kemudian mulai menikmati sarapannya—dua potong sandwich dan jus jeruk. Rasanya, seperti biasa, tak pernah mengecewakan. Setiap masakan buatan Bi Asih tak ada yang gagal. Padahal dia bukan lulusan sekolah kuliner, tapi kemampuannya setara dengan chef restoran bintang lima. Ah, Zalima harus ingat untuk membelikan Bi Asih dan Bi Ina sesuatu nanti—bentuk kecil apresiasi karena selama ini mereka sudah melayaninya dengan baik, memanjakan lidah dan perutnya. Dia terinspirasi dari Prajaka, yang selalu memberi hadiah pada orang-orang yang telah melakukan hal luar biasa untuknya. Fokusnya pada sandwich tiba-tiba buyar oleh kedatangan Prajaka dan ... Stevani. Zalima tak tahu alasan mereka ke sini, tapi perasaannya langsung tidak nyaman—terutama karena di balik bathrobe-nya, dia hanya mengenakan two piece swimsuit. Bukannya menuduh atau besar kepala, tapi dia khawatir Prajaka melihat sesuatu yang tidak seharusnya, dan Stevani salah paham menganggapnya penggoda. “Ada apa?” tanyanya lebih dulu sebelum salah satu dari pasangan yang sedang “proses” rujuk itu membuka suara. Kedua tangannya terlipat di d**a, kakinya menyilang—berusaha memastikan bathrobe-nya tak terbuka. “Aku dan Stevani akan pergi hari ini, pulangnya sore atau malam. Karena kudengar kau akan bertemu hami, kuharap kau tidak memberitahukan hal ini. Katakan saja kalau aku bermain golf dengan teman-temanku.” “Oke, akan kusampaikan sesuai permintaanmu.” Stevani ikut menambahkan, “Kalau sampai Mami tahu Praja berbohong, berarti kau yang tidak pandai menjelaskan.” Tatapannya menajam, seolah ingin melubangi wajah Zalima. Apalagi melihat Zalima dalam keadaan “tidak pantas” di depan Prajaka, dia jadi semakin kesal—meski sebenarnya merekalah yang mendatangi Zalima lebih dulu. “Ingat, kau dibayar bukan untuk menikmati peranmu.” “Percayakan saja pada saya, jangan buru-buru menghakimi, Stev.” Ucapan Zalima yang santai—bahkan terdengar meremehkan—membuat Stevani makin kesal. Tapi ketika Prajaka menahan tangannya dengan isyarat agar tak menanggapi lagi, dia mendengkus kasar dan mengetatkan rahangnya demi menahan emosi. “Itu saja yang ingin kusampaikan. Ingat, Za, aku mengandalkanmu.” Prajaka mengangguk sekali tanda mengakhiri. Tapi sebelum pergi, tatapannya yang sejak tadi teguh menatap wajah Zalima akhirnya goyah juga. Pandangannya turun secepat kilat pada paha Zalima yang setengah terbuka, menampilkan kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa noda. Mungkin selama mengenalnya, baru kali ini Prajaka melihat Zalima begitu terbuka. Sebagai wanita, Zalima memang punya pesona yang dengan mudah menarik perhatian lawan jenis. Jika dulu versi remajanya cantik dan manis, maka Zalima dewasa adalah definisi lain dari seksi dan menggoda. Namun begitu kesadarannya kembali—pada posisi, situasi, dan keberadaan Stevani di sampingnya—Prajaka cepat-cepat menegakkan diri. Dia memalingkan wajah, lalu menarik tangan Stevani agar segera pergi dari sana. Terlalu berbahaya kalau bertahan lama. Kejadian tadi dia anggap kesalahan. Tidak ada niat lain di baliknya. Lagipula, pria mana pun mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya. Jadi bukan karena alasan pribadi yang mendorongnya bersikap seperti itu terhadap Zalima, tapi karena naluri yang tanpa sadar menuntunnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD