BAB 9

1364 Words
Sebagai seorang istri yang dibesarkan dengan nilai kesopanan dan kehormatan, Natalia tahu betul batas dirinya. Ia diajarkan untuk menjaga harga diri, menjaga kesetiaan, dan tidak pernah sekalipun membiarkan ada noda yang mencoreng nama baik keluarga. Bercinta dengan laki-laki lain yang bukan suami adalah hal yang paling hina dalam pandangannya. Namun, ironinya justru datang dari suaminya sendiri. Pria yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga, malah ingin menjerumuskannya ke dalam kubangan dosa. Hatinya perih—bagaimana mungkin ia diminta mengkhianati diri sendiri demi ambisi orang lain? Natalia merasa seakan seluruh dunianya runtuh. “Natalia, apa kamu mendengarku?” Natalia meneguk ludah dengan sulit, seolah ada gumpalan besar menyumbat kerongkongannya. Tenggorokannya kering, sementara keinginan untuk menangis semakin kuat. Air matanya nyaris pecah, namun ia menahan dengan sekuat tenaga. Suara Victor yang memanggil namanya terdengar begitu jauh, sayup-sayup dan asing. Dadanya sesak, dipenuhi rasa malu bercampur marah dan terhina. Natalia hanya bisa berdiri kaku, mencoba menahan diri agar tidak runtuh di hadapan suaminya sendiri. “Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku, Victor. Aku istrimu dan kamu memperalatku untuk mendapatkan tujuanmu.” Victor menggeleng, mengusap bahu istrinya. Natalia meronta dan ia mencengkeram dengan sedikit kuat, tidak peduli kalau istrinya mengernyit kesakitan. “Kamu dengar Natalia? Semua yang aku lakukan demi papamu. Semua orang tahu, yang berambisi untuk menjadikan aku menteri adalah papamu. Dia juga yang sangat ingin menimang cucu. Apa kamu tega merusak harapannya?” Natalia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia membuka mata perlahan, menatap suaminya dengan sorot tajam penuh kekecewaan. Tatapan itu lebih menusuk daripada seribu kata yang tak terucap, seakan ingin menyampaikan luka yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Dengan gerakan tenang namun tegas, Natalia melepaskan cengkeraman Victor dari tangannya. Ia meraih tas yang sejak tadi tergeletak di kursi, lalu berdiri tanpa ragu. Tanpa menoleh sedikit pun, langkahnya mantap menuju pintu keluar. “Aku menganggap kamu nggak pernah bicara soal ini, Victor.” “Tunggu, Natalia. Aku belum selesai bicara!” Natalia tidak mengindahkan panggilan suaminya, keluar dari pintu dengan tergesa. Saat melihat Alejandro, ia menggeleng dan menunjuk satu pengawal lain. “Kamu antar aku pulang. Alejandro tetap di sini.” Pengawal itu mengangguk. “Baik, Nyonya.” Alejandro menatap punggung Natalia yang menjauh dengan tatapan nanar. Hatinya terasa berat, meski sejak awal ia sudah menduga, Natalia pasti marah dengan ide gila suaminya. Wajar saja, siapa pun yang berada di posisi Natalia akan bereaksi serupa. Namun, melihat perempuan itu berteriak, kecewa, lalu meninggalkannya begitu saja, membuat d**a Alejandro terasa sesak. Malam itu, ia sulit memejamkan mata. Bukan karena takut pada Victor, melainkan karena ia benar-benar tidak suka menyaksikan Natalia larut dalam kemarahan. Hari-hari berikutnya menjadi lebih dingin. Natalia menolak keberadaan Alejandro di sekitarnya. Jika sebelumnya ia tidak pernah mempermasalahkan siapa yang bertugas mengawalnya, kini sikapnya berubah total. Ia menjaga jarak, berbicara seperlunya, dan berusaha untuk tidak terlibat dalam percakapan panjang. Semua dilakukan dengan alasan sederhana: ia tidak ingin Alejandro menjadi bagian dari masalah yang diciptakan oleh suaminya sendiri. Akhirnya, Natalia meminta Marco mengganti Alejandro dengan pengawal lain. Permintaan itu langsung dikabulkan, tanpa banyak tanya. Alejandro hanya bisa menerima keputusan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena ia tak lagi harus berhadapan dengan situasi rumit, tapi juga ada kekosongan. Kehilangan kesempatan untuk berada di dekat Natalia membuat hatinya semakin gelisah. “Apakah kamu melakukan sesuatu yang membuat Nyonya marah?” tanya Marco pada Alejandro saat mengatakan keinginan Natalia. Alejandro dengan muram mengangkat bahu. “Entahlah, seingatku tidak.” “Hati-hati. Bro. Jangan membuat masalah.” Ingin rasanya Alejandro berteriak keras di hadapan Marco, mengatakan kalau bukan dirinya yang membuat masalah, tapi Victor. Namun, semua umpatan itu ditelannya kembali. la menghargai keputusan Natalia dan akan menghormati apa pun yang diputuskan perempuan itu. Dua minggu berlalu sejak Alejandro tidak lagi bertugas sebagai pengawal Natalia. Waktu terasa berjalan cepat, karena kesibukannya justru bertambah. Victor, yang kini tengah disibukkan bukan hanya dengan tanggung jawab sebagai gubernur, tetapi juga kampanye untuk pencalonan menteri, membuat jadwal Alejandro semakin padat. Hampir setiap hari ia harus mendampingi, menghadiri rapat hingga larut malam, bahkan menginap di asrama pekerja yang terletak di bagian belakang rumah sang gubernur. Kehidupannya menjadi rutin dan melelahkan. Untung saja urusan klub bola sudah diambil alih oleh pelatih lain, sehingga setidaknya satu beban pikirannya berkurang. Namun, kesibukan itu menimbulkan masalah baru. Sofia, sang kekasih, menjadi orang yang paling cerewet. Gadis itu merasa Alejandro semakin menjauh dan mengabaikannya. Teleponnya sering tak dijawab, pesan-pesannya hanya dibaca singkat, dan kehadiran Alejandro di rumah nyaris tak pernah terlihat. Kesabaran Sofia akhirnya habis. Ia dengan nada kesal mengancam akan menyegel rumah Alejandro jika lelaki itu tidak pulang dalam waktu dekat. Ancaman itu, meski terdengar sepele, cukup untuk membuat Alejandro sadar bahwa ia tak bisa terus-menerus mengabaikan kehidupan pribadinya. Dengan berat hati, ia akhirnya meminta izin kepada komandannya untuk mengambil satu hari libur. Sehari penuh, hanya untuk kembali ke rumahnya—dan menenangkan Sofia, sebelum hubungan mereka benar-benar hancur karena jarak dan kesibukan. Bagian Bawah Formulir “Mana ada orang kerja tanpa Iibur? Bilang aja kamu yang nggak mau pulang.” Sofia marah saat melihatnya. Gadis itu mengomel sambil memasak dan seperti biasanya, membuat juga makanan untuk anak-anak. “Sofia, aku benar-benar sibuk. Maaf, kalau jadi kurang waktu untukmu.” Alejandro meraih jemari kekasihnya dan meremas perlahan. “Akhir bulan aku mendapatkan cuti dua hari, semoga kita bisa kencan nanti.” Kemarahan menghilang dari dalam diri Sofia. Ia tersenyum pada Alejandro. “Benarkah? Bisakah kita nonton dan makan?” Alejandro mengangguk. “Tentu saja, aku janji.” Tidak ada yang lebih diinginkan oleh seorang gadis, selain berkencan dengan kekasihnya. Setelah mendengar janji Alejandro, Sofia tidak lagi merasa kesal. Memasak dengan lebih ceria dan tidak lagi mengomel. Sayangnya, kebahagiaan kekasihnya tidak berpengaruh pada kebahagiaan Alejandro. Masalah lapangan yang tidak kunjung selesai dan kini, anak asuh di klubnya tidak lagi punya tempat untuk latihan. “Sudah beberapa hari nggak latihan,” ucap Damian dengan raut wajah sedih. Damian adalah pelatih anak-anak yang dibayar Alejandro. “Lapangan disegel, dan tidak ada tempat lain, selain taman. Kami mencoba latihan di sana dan diusir penjaga karena terlalu berisik dan mengganggu ketenangan.” Alejandro hanya menghela napas panjang, berkata pada Damian akan berusaha mendapatkan tempat latihan secepatnya. Sayangnya, masalah seolah tidak berhenti menyapa Alejandro. Belum selesai soal tempat latihan, kini ada masalah baru. Tempat tinggal orang tua angkatnya dilahap api. Mereka tidak tahu dari mana datangnya api, menduga dari konsleting listrik. Seluruh rumah hangus terbakar, termasuk toko roti mereka. Kedua orang tua angkatnya hanya bisa menangis, menatap rumah dan tempat usaha mereka yang luluh lantak. “Bagaimana kita membayar hutang-hutang kalau nggak punya tempat usaha. Kita tinggal di mana nanti?” Alejandro, dengan terpaksa mengijinkan kedua orang tua angkatnya menepati rumahnya. Ia bukannya tidak suka dengan mereka, hanya saja tidak ingin privacy-nya terganggu. Karena itu memilih tempat tinggal sendiri. Karena orang tua angkatnya tidak lagi punya tempat tinggal, maka jalan satu-satunya adalah tinggal bersamanya. Menunggu pemeriksaan dari pihak asuransi, kedua orang tuanya setuju untuk tinggal di rumah Alejandro. Kepindahan itu menimbulkan masalah baru. Para rentenir datang silih berganti ke rumah Alejandro untuk menagih. Mereka adalah orang-orang kasar dan tidak ada sopan santun. Mereka menagih saat Alejandro tidak ada di rumah. Karena pembayaran yang telat, membuat mereka marah. Dari mulai memecahkan jendela, merusak perabot, bahkan terakhir memukuli ayah angkatnya hingga berdarah-darah dan tak sadarkan diri. Masalah demi masalah datang tanpa henti, membuat Alejandro merasa gamang. Rumah kecil yang ia tinggali bersama keluarga angkatnya sudah terlalu sesak. Kedua orang tua angkatnya semakin terhimpit oleh hutang, sementara kebutuhan membangun rumah baru tak bisa ditunda. Di sisi lain, klub bola yang selama ini menjadi kebanggaannya pun terancam bubar karena tidak lagi memiliki tempat latihan yang layak. Semua beban itu menumpuk, menekan pikirannya hingga sulit bernapas. Untuk pertama kalinya, Alejandro benar-benar mempertimbangkan tawaran Victor. Ia tahu, keputusan itu bisa menyeretnya ke dalam masalah yang lebih besar, tetapi keadaan membuatnya goyah. Dengan napas panjang, pandangannya jatuh pada sosok Natalia yang berdiri di balkon, tengah berbicara dengan Camila. Ada sesuatu pada perempuan itu yang membuat hatinya semakin ragu—antara keinginan menolong keluarganya, dan bahaya yang mungkin menjerat jika menerima tawaran Victor. Setelah memikirkan selama beberapa hari, ia memutuskan akan menemui Victor dan bicara tentang tawaran laki-laki itu. “Maafkan, aku, Nyonya,” gumam Alejandro muram, dengan pandangan tertuju pada Natalia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD